Sabtu, 29 Oktober 2016

EKONOMI PEMBANGUNAN DALAM ISLAM

EKONOMI PEMBANGUNAN DALAM ISLAM

Oleh : Yuwan Ebit Saputro 

Ekonomi pembangunan merupakan cabang dari ilmu ekonomi yang bersifat terapan (applied economics). Cabang ilmu Ekonomi ini lahir setelah terjadinya perang dunia kedua atau dua abad setelah lahirnya ilmu ekonomi pada tahun 1776 Masehi. Ilmu ini diperlukan dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Negara-negara yang baru merdeka. Pada umumnya negara-negara ini adalah negara yang sedang berkembang dan menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, keterbelakangan, dan ketertinggalan dalam semua aspek kehidupan. Oleh karenanya mereka bermaksud mengatasi masalah-masalah tersebut hingga cepat, tepat, dan tuntas.
Berlandaskan kepada kedua-dua sifat dasar ini, maka analisa ekonomi pembangunan dapatlah didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang bertujuan untuk menganalisa masalah-masalah yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahmasalah itu supaya Negara-negara tersebut dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi. [1]
Dalam perkembangannya, para ahli memberikan pengertian atau batasan tentang ekonomi pembangunan berdasarkan latar belakang tersebut. Ekonomi pembangunan adalah suatu studi yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, dengan memecahkan masalah-masalah utamanya, yakni kemiskinan, pengangguran dan pemerataan. [2]
Pembangunan dinegara-negara berkembang pada pelaksanaann ya telah memunculkan pola, metode, atau model yang berbeda-beda diantara mereka. Perbedaan ini telah menjadi paradigma atau pandangan yang mendunia dalam melaksanakan pembangunan (world view). Diantara paradigma pembangunan di negara-negara berkembang tersebut adalah :[3]

1.        Paradigma dengan Pertumbuhan Maksimal (Maximal Growth Paradigm)

Pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya adalah orientasi dari paradigma ini. Dengan memanfaatkan investasi dan teknologi, paradigma ini berharap dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan produksi, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ukuran yang digunakan untuk merencanakan atau menghitung pertumbuhan adalah produk nasional bruto (Gross National Product /GNP). Sedangkan asumsi yang dipakai adalah tetesan kebawah (Trickle Down Effect), yakni pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan diikuti oleh pemerataan.
Pada perkembanganya, konsep tetesan kebawah yang diharapkan oleh negara-negara yang menggunakan paradigma ini tidak terjadi. Paradigma ini justru meningkatkan ketimpangan (inequality) yang makin mendalam antara kelompok yang kaya dengan kelompok yang miskin. Dengan kata lain, paradigma ini dapat memaksimalkan pertumbuhan ekonomi tetapi gagal dalam pemerataan. Padahal yang diharapkan tidak sekedar memaksimalkan produktivitas, tetapi juga mengatasi masalah ketimpangan antar kelompok.

2.        Paradigma Pertumbuhan dengan Pemerataan (Distribution with Growth Paradigm)

Paradigma ini muncul untuk merespon kegagalan paradigma yang pertama dengan memasukkan unsur pemerataan di dalamnya agar tidak terjadi kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Dengan memanfaatkan investasi, teknologi, dan pengukuran yang sama, paradigma ini juga telah dilaksanakan oleh Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada masa pemerintahan orde baru, paradigma ini dikenal dengan delapan jalur pemerataan.
Pada pelaksanaannya, paradigma ini juga tidak berhasil menyelesaikan masalah-masalah pembangunan di negara-negara berkembang. Hal ini diduga diakibatkan oleh pendekatan makro dan ketidaksiapan sumber daya manusianya yang tidak sungguh-sungguh berorientasi pada kelompok sasaran (penduduk miskin). Budaya korupsi menjadi salah satu faktor dominan penyebab bocornya anggaran pembangunan yang diperuntukkan rakyat kecil atau miskin. Disisi lain masyarakat miskin juga belum siap memperbaiki sikap mentalnya, sehingga berapapun modal yang diberikan, akan habis dan tidak merubah nasib mereka. Oleh karenanya pendekatan makro yang bertujuan memperbaiki ekonomi rakyat kecil tanpa mempersiapkan SDMnya, maka akan menemui kegagalan juga.

3.        Paradigma dengan Pendekatan Kebutuhan Pokok (Basic Needs Approach)

Paradigma dengan kebutuhan pokok sebagai pendekatannya merupakan upaya untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan kelompok sosial. Paradigma ini berharap bahwa semua semua kelompok target dapat terpenuhi kebutuhannya, seperti pangan, papan (rumah), dan pendidikan, dan kesehatan. Anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah dapat mengatasi kebutuhan masyarakat dengan baik.
Pada saat anggaran terbatas, pemerintah tidak lagi memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Akibatnya masyarakat kembali tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Akhirnya pardigma ini gagal sebagaimana pada paradigma sebelumnya. Hal ini terjadi karena penduduk miskin tidak bisa merubah nasibnya, kecuali dengan mengharap bantuan dari pemerintah.

4.        Paradigma dengan Fokus Pembangunan Sumber Daya Manusia (Human Development Paradigm)

Belajar dari paradigma pembangunan yang mengalami kegagalan sebelumnya, para ahli ekonomi pembangunan, ahli kependudukan, dan ahli sumber daya manusia merumuskan pembangunan yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Paradigma ini menganggap bahwa pembangunan harus berorientasi pada manusia sebagai obyek dan subyek sekaligus. Paradigma ini menghilangkan dikotomi antara manusia sebagai pelaksana pembangunan dan manusia sebagai target yang harus ditingkatkan kesejahteraanya.
Paradigma ini membangun manusia secara utuh dan totalitas. Hal ini disebabkan sumber daya manusianya dibangun sesuai dengan kebutuhan fisik (materi) dan kebutuhan psikis (sikap mental). Oleh karenanya SDM menjadi penentu keberhasilan pembangunan. Mulai dari perencanaan. monitoring, dan evaluasi hasil pembangunan, yakni: jumlah penduduk, struktur umur, komposisi, penyebaran penduduk, pendapatan dan distribusinya, tingkat pendidikan, mobilitas, dan kesempatan kerja dan kesehatan melibatkan sumber daya manusia.

5.        Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Suistainable Development Paradigm)

Paradigma ini muncul pada tahun 1970 ketika Club of Rome mengangkat studi tentang keterbatasan pertumbuhan (The Limit of Growth). Studi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan yang diharapkan dalam pembangunan selama ini akan berakhir kurang dari 100 tahun. Hal ini disebabkan sumber daya alam yang ada akan terkuras habis.
Pemecahan atas persoalan ini memperkuat argument politik diatas. Karena jelas bahwa kekuatan-kekuatan pasar yang bebas – sepanjang dibenarkan berkembang menurut garis-garis kapitalisme tradisional akan segera menuju pada kebuntuan ekologi. Karena itu perkembangan Negaranegara terbelakang sekali momentum pertama telah dicapai harus menemukan cara untuk penghematan bahan dan produksi sampai pada tingkat yang belum dikenal di Barat sekarang. Pemborosan-pemborosan sumber-sumber seperti pemakaian mesin cuci, televisi, dan alat-alat rumah tangga yang meniru gaya penghidupan Barat tidak mungkin untuk ditiru oleh seluruh dunia. [4]
Gagasan yang ada dalam paradigma ini belum terbukti, tetapi menyadarkan bahwa betapa pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang lestari. Jika umat manusia menginginkan hidup sejahtera, maka harus memperhatikan keseimbangan ekologi dan ekosistem. Pardigma ini berharap masa depan bumi tidak akan terguncang hanya karena kesewenangan manusia dalam mendapatkan fasilitas yang terkandung didalamnya. Jika efisiensi merupakan konsep ekonomi dan keadilan ekonomi merupakan konsep ekonomi yang didasarkan pada etika, maka konsep berkelanjutan (sustainable) adalah gabungan antara faktor-faktor ekonomi, fisik, sosial, dan politik. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memberi manfaat pada semua (warga masyarakat) termasuk generasi mendatang secara adil dan merata. [5]

6.        Paradigma dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (General Public Participation Paradigm)

Paradigma ini muncul dalam rangka kritik terhadap pembangunan yang direncanakan secara terpusat (central planning).Paradigma ini berharap bahwa seluruh masyarakat turut serta berpartisipasi dalam pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya. Partisipasi yang besar dalam pembangunan dapat diperankan masyarakat sesuai dengan kebutuhan kebutuhannya. Partisipasi masyarakat dapat berupa partisipasi politik, partisipasi ekonomi, pendidikan, hukum, dan sosial.
Tanpa adanya keterbukaan terhadap kritik, sebenarnya pembangunan sedang berjalan menuju pada proses pembusukan yang semakin dalam. Satu-satunya jalan untuk mempertahankannya adalah dengan memberi kesempatan bagi setiap kepentingan dari semua golongan untuk mendapatkan pemenuhannya. Untuk itu, menguatnya kesadaran poltik masyarakat luas yang muncul dalam kritik-kritik terhadap ideologi pembangunan perlu menjadi bahan pertimbangan dalam membuat desain pembangunan di masa datang. Menguatnya isu pemberdayaan (empowerment) dalam pembangunan semakin terasa desakannya, sehingga tanpa adanya perhatian terhadap kenyataan ini, keberlangsungan (sustainable) pembangunan justru sedang berada pada posisi terancam.[6]

      7.       Paradigma Pembangunan Mandiri (Self Reliant Paradigm)

Paradigma ini berangkat dari upaya untuk menghilangkan ketergantungan dalam melaksanakan pembangunan (dependensia). Paradigma ini mengembangkan teknologi sendiri tanpa mengambil (impor) dari luar. Negara-negara yang menggunakan paradigma ini adalah India pada masa Mahatmagandhi, Cina pada masa Maozedong, Tanzania pada masa Julius Nyerere, dan Indonesia pada masa Bung Karno yang terkenal dengan istilah berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Namun dalam kenyataannya paradigma ini juga gagal dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Bahkan paradigma ini juga tidak sesuai dengan kondisi yang melilit negara berkembang itu sendiri.
Dengan meninggalkan pengaruh Barat yang kapitalistis, Indonesia mulai berputar haluan berpaling ke kiri untuk menerima tawaran konsep dari Uni Soviet dan RRC, yakni revolusi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman pangaruh Barat, yaitu imperialisme baru dalam bentuk penguasaan perdagangan dan penciptaan interdependensi yang mengakibatkan banyak Negara berkembang tergantung pada Negara maju, yang bukan merupakan hubungan timbal balik. Maka dengan lantang Sukarno mengumandangkan gema revolusi Indonesia dan mengangkat dirinya sebagai Panglima Besar Revolusi. Kemudian muncullah konsep-konsep berikutnya, dibidang politik luar negeri menganut konsep konfrontasi, untuk merangsang dinamika rakyat, dibidang ekonomi ditelurkan konsep berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. [7]

      8.       Paradigma Syari’ah (Syari’ah Paradigm)

Paradigma ini muncul seiring dengan semangat umat Islam untuk berusaha menerapkan ajaran syari’ah dalam perekonomian. Paradigma ini menjelaskan bahwa kesejahteraan masyarakat akan dapat tercapai bila seluruh aktivitas manusia berlandaskan syari’ah atau hukumhukum Tuhan. Meskipun belum semua meyakini akan keampuhannya dalam menyelesaikan masalah-masalah perekonomian, sosial, politik, hukum, budaya, dan berbagai masalah alam, namun paradigma ini memberikan pemahaman yang sempurna tentang alam semesta, yakni : langit, bumi, dan segala isinya termasuk manusia sebagai khalifah didalamnya.



[1] Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan (Jakarta: Bima Grafika dan LP FE UI, 1985), 11-12.
[2] Hasan Aedy, Teori dan Aplikasi Ekonomi Pembangunan Perspektif Islam, Sebuah Studi Komparasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 8-13.
[3] Ibid., 39-48.
[4] Robert L. Heilbroner, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, terj. Sutan Dianjung (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 308.
[5] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2000), 217.
[6] A. Prasetyantoko, Arsitektur Baru Ekonomi Global, Belajar dari Keruntuhan Ekonomi Asia Tenggara (Jakarta: PT. Elex Komputindo, 2001), 111.
[7] Doddy Rudianto, Pembangunan Ekonomi dan Perkembangan Bisnis Di Indoensia (Jakarta: Golden Terayon, 1985), 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar