MOTIF DAN TUJUAN
KODIFIKASI
Motif utama kodifikasi Utsman Bin Affan mempunyai kaitan erat dengan
pemberian dispensasi dalam membaca Al-Qur`an dengan berbagai dialek oleh
Nabi-Nya. Nabi sendiri meminta dispensasi ini kepada Allah karena melihat
ketidakmampuan para sahabat yang untuk membacanya dengan satu huruf.[1] Para sahabat
tersebut adalah orang-orang dari luar suku Quraish yang baru masuk Islam, orang
yang sudah lanjut usia, dan anak-anak.[2] Dispensasi ini
terus berlanjut pada dekade kekhalifahan Abu Bakr dan Umar bin Khattab di
berbagai daerah kekuasaan Islam. Para Qurra` mengajarkan berbagai bacaan
kepada komunitas masyarakat pada masing-masing daerah. Namun, 6 tahun setelah pemerintahan ustman,
pembacaan al-Qur`an dengan berbagai huruf ini menyebabkan disintregasi
umat karena mereka merasa Qira`ahnya adalah yang terbaik, paling sesuai dengan
sunnah; mendapatkan lisensi Nabi.[3] Hudzaifah Bin
Yaman yang menyaksikan fenomena tidak sedap ini segera mengusulkan kepada
Khalifah Utsman Bin Affan untuk segera mengambil tindakan preventif dengan menuliskan Mushaf
Imam.[4]
Namun, para orientalis mempnyai
pandangan lain tentang motif kodifikasi ini. Leo Caetani (m.1935) dan Arthur
Jeffery mengungkapkan bahwa motif kodifikasi Ustman bukan karena motifasi
keagamaan (religious motives), tetapi hanya karena didasari syahwat
politik (undertaken for political). Leo mengungkapkan kodifikasi ini
disebabkan karena terjadi pemberontakan kelompok separatis dan para qurra`
(reciters) di berbagai daerah terhadap pemerintah yang tidak dianggap mengerti
tentang al-Qur`an. Karena alasan inilah Utsman segera membuat Mushaf standar
untuk mematahkan pemberontakan para Qurra’.[5] Sedangkan alasan
yang dikemukakan Jeferri karena Utsman Bin Affan menjadikan Mushaf hasil
kodifikasi sebagai Mushaf induk pada masing-masing daerah Islam, padahal pada
waktu itu beberapa Mushaf Sahabat telah tersebar ke berbagai pusat-pusat
metropolitan dan menjadi rujukan masyarakat.[6]
Sebagaimana diketahui dalam
paragraph sebelumnya, kodifikasi ini berawal dari usul seorang sahabat
terkemuka Hudzaifah bin Yaman. Namun, laporan Hudzaifah ini mendapat kritikan
Khalil Abdul Karim, ia mengatakan”…Adapun kaitanya dengan Ustman, konon yang
memotivasinya untuk melaksanakan proyek tersebut adalah seorang sahabat, yaitu
Hudzaifah Bin Yaman…meski demikian, Abu Bakar, selanjutnya `Umar, hingga tokoh Utsman
dan tokoh-tokoh terkemuka sahabat tidak sadar akan hal tersebut, dan Hudzaifah
Bin Yaman - yang tentunya sahabat ingusan - malah mencerdasinya, ini merupakan
suatu hal yang sulit diterima apalagi di landaskan”.[7] Dengan demikian,
selain meragukan kesaksian Hudzaifah, Khalil juga menyatakan ketiga khalifah
sebagi orang yang bodoh.
Kesimpulan adanya motif politik
karena adanya Mushaf para sahabat oleh Jefrri tidak bisa dijadikan indikasi. Mushaf
sahabat bersifat koleksi pribadi sehingga isinya sangat tergantung kepada
pemiliknya. Para pemilik Mushaf tersebut memasukan catatan selain Al-Qur`an
seperti tafsir dan takwil. Selain itu mereka juga menuliskan bacaan yang telah rafa`oleh
Allah; bukan bacaan talaqqy terakhir Rasulullah dengan jibril.[8]Dalam
data sejarah mereka juga senang hati menerima Mushaf utsman.[9]
Beberapa argumen yang dihadirkan orientalis
dan liberal di atas juga tidak sesuai dengan fakta yang ada. Dalam lembaran
sejarah, benih-benih perbedaan ini telah tercium oleh Khalifah kedua; Umar bin
Khattab namun belum sempat mengkodifikasi al-Qur`an sebagaimana Utsman.[10] Fakta lain yang
disebutkan Ibn Abi Daud menyebutkan perbedaan tersebut telah melebihi batasan
dispensasi yang telah diberikan oleh Nabi.[11] Bahkan,
disintregasi ini mancapai puncak ketika terjadi saling ‘takfir’ diantara
para sahabat.[12] Beberapa fakta
perpecahan tentang al-Qur`an yang cukup menghawatirkan ini dapat mengancam
keotentikan Al-Qur`an, maka agar tidak bernasib sama dengan Taurat dan Injil
yang telah didistorsi oleh Yahudi dan Nasrani, Khalifah segara mengambil
tindakan sebagai bentuk pengabdian pada Al-Qur`an.
Keraguan Khalil atas kredibilitas
Hudzaifah bin Yaman adalah sebuah kesalahan fatal. Hudzaifah Bin Yaman adalah
seorang sahabat intelejen Rasulullah Saw.
Selain ia bertugas berekspedisi jihad di Armenia dan Azerbaijan - titik
awal laporannya ke khalifah Ustman- Ia juga sering mengikuti ekspedisi di beberapa daerah lain seperti kota Nahwand,
Hamdan, Ray, Dainur dan beberapa kota lainya.[13] Dengan demikian
kritikanya terhadap Hudzaifah secara tidak langsung telah mengkritik Rasulullah
yang telah menunjuknya sebagai intelejennya.
Fakta lain yang dilupakan Khalil adalah berita terpecahnya umat ini di
berbagai tempat bukan hanya diterima dari Hudzaifah saja tetapi juga mendengar
langsung. Pada masa pemerintahannya para siswa al-Qur`an belajar pada guru yang
berbeda tentunya bacaannya juga berbeda. Siswa dari sekolah satu menyalahkan
siswa yang lain, bahkan Abu ayyub mengungkapkan bahwa perbedaan cara baca ini
sampai pada tahap fanatisme dan saling mengkafirkan. Fakta ini sampai pada
khalifah kemudian menasehati mereka” kalian berselisih pendapat tentang
bacaan dalam al-Qur`an, lalu saling menyalahkan, bagaimana dengan penduduk yang
jauh di sana, pasti mereka lebih tercerai berai. Bersatulah kalian wahai
sahabat Muhammad, dan hendaklah kalian menulis satu –Mushaf- induk (faktubu
linnasi imaman ).[14]
Apa yang dilakukan kalifah Utsman bukanlah
suatu kesalahan, tetapi kuputusan benar dan dengan pertimbangan yang matang.
Bahkan, Al-Thabari seorang pakar hukum madzhab Maliki mengungkapkan
bahwa standarisasi itu adalah wajib karena masa depan Islam akan lebih
terjamin, seandainya hal itu tidak dilakukan maka akan terjadi pertumpahan
darah dalam tubuh umat Islam. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa alasan utama
kodifikasi dan membuat Mushaf al-Imam adalah sebagai bentuk kasih
sayang. Khalifah khawatir akan terjadi pemurtadan kolektif karena ada indikasi
ke arah tersebut, dimana banyak terjadi pendustaan terhadap huruf-huruf
al-Qur`an.[15] Jadi, seandainya
tidak dibukukan maka mafsadah dan madlarrat yang akan terjadi
lebih besar dibanding manfaat nya.
Dengan melihat beberapa argumen di
atas, jelas bahwa pendapat orientalis dan liberal tidak bisa dibuktikan secara
ilmiah. Motif Utsman Bin Affan bukanlah
untuk memaksa umat Islam tunduk kepada Quraish atau untuk kepentingan politis, tetapi
murni untuk menjaga keutuhan umat Islam dan keotentikan Al-Qur`an.
[1] Al-Bukhari, al-Jami` al-Shahih, Kitab; Fadhail
al-Qur`an, bab: Unzila al-Qur`an `Ala Sab`ati Ahruf, Cet:1(Kairo:
Maktabah Salafiyyah, 1400 H ),339-340. Al-Zarqani,
Manâhilul 'Irfân Fî 'Ulûmi al-Qur'ân, Tahqîq Fawwâz Ahmad Zamarlî,
Cet I, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-'arabi, 1995/1415), 118-123.
[3] Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh: Min Sanah 30 Lighayati
Sanah 67 Lil Hijrah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah, 1987) Cet: 1,
Tahqiq; Abu Al-Fida`Abdullah Al-Qadli, 3:8. Ibn `Asakir, Tarikh Dimasyq,
(Damaskus: Majlis al-`Ilmy, 1984),240-241. Al-Maliqi, Tamhid Wa Al-Bayan Fi
Maqtal al-Syahid al-`Utsman,(Beirut: Dar Al-Tsaqafah, 1967), 50. Ibn
`Asakir, Tarikh Dimasyq, (Damaskus: Majlis al-`Ilmy, 1984),240-241
[4] Ibn abi Daud, Al-Mashaif,
1: 206
[6] Jeferry mengatakan:”Apparently there were wide
divergences between the collections that had been digested into codices in the
great metropolitan center of medina, mecca, basra, kufa, and damascus and for
political reasons if for no other it was imperative to have one standar codex
accepted all over the empire”. lihat: Arthur Jeffery, “Materials.., 118.
[7] Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan
Masyarakat Suku Arab, Cet:1,(Yogyakarta: LKIS, 2005), vii, 101
[9]
Ibnu Abi Daud, Al-Mashahif,
175.
[10] Umar mendengar
Sahabat Ibn Mas`ud membacanya dengan
dialek Hudzail, karena khawatir terjadinya fitnah maka Umar menyuruh Ibn mas`ud
untuk membacanya dengan dialek Quraish.
[11] Ibn abi Daud, Al-Mashahif,
(Beirut; Dar al-Basyai`r al-Islamiyyah, 2002) Cet:2, Tahqiq: Muhibuddin Abu
Sabban Wa`idz),
[14] Ibn abi Daud, Al-Mashahif, (Beirut; Dar al-Basyai`r
al-Islamiyyah, 2002) Cet:2, Tahqiq: Muhibuddin Abu Sabban Wa`idz)1: 204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar