KONSEP TEOLOGI
PEMBEBASAN
Sebagai konsekwensi dalam
memahami Teologi Pembebasan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi
dari Teologi Pembebasan itu sendiri. Stanley J. Grenz menjelaskan bahwa istilah
ini merujuk kepada sebuah pencarian dari hakikat ajaran Kristen dalam Injil
tentang bagaimana mengaktualisasikan ajaran tersebut dalam tindakan.[1] Definisi
ini secara tidak langsung mengantarkan kepada dasar dari elemen Teologi
Pembebasan. Namun bila merujuk kepada tokohnya, Gustavo Gutierrez, maka akan
terjadi pengembangan wilayah teologi itu sendiri. Menurutnya Teologi Pembebasan
adalah sebuah refleksi pengalaman dan arti iman berdasarkan komitmen untuk
menghapuskan ketidakadilan dan untuk membangun sebuah masyarakat baru dengan
aktif berpartisipasi dalam perjuangan bersama kelas-kelas sosial yang telah
diekspolitasi (yang ditindas) untuk melawan para penindasnya.[2] Oleh sebab
itu bisa dikatakan cakupan Teologi Pembebasan lebih kepada gerakan sosial
pembebasan dari penindasan yang terstruktur. Sedangkan inti dari Teologi
Pembebasan terkandung dalam pemaparan Miguel A. De La Tore yang menjelaskan
bahwa inti dari Teologi Pembebasan adalah …the search for and revival of the
liberative principles that place human beings at the center of religious
discourse, and the struggle associated with these…[3]
yang berarti tujuan utama dari Teologi Pembebasan tidak lain adalah mencari
sebuah kebebasan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Teologi Pembebasan
adalah sebuah gerakan yang muncul sebagai sebuah protes terhadap penindasan
dengan didasari ajaran keagamaan bertujuan untuk mencari sebuah kebebasan.
Teologi Pembebasan yang
dimunculkan oleh para teolognya menekankan pada nilai pembebasan yang bersumber
dari dua ajaran Kristen itu sendiri. Pertama, konsep salvation[4] yang
berarti pembebasan sudah dicontohkan sedari awal kemunculan ajaran agama
Kristen.[5] Kedua, ajaran
yang terdapat dalam al kitab yang menyebut “Yesus ada di pihak orang miskin
dan menentang pemerasan oleh orang kaya” (Lukas 16: 19-31) dan ”Orang-orang
Kristen pertama membebaskan diri mereka dari ketidaksamaan kesejahteraan yang
ada (kis. 2: 32).[6] Oleh sebab
itu Teologi Pembebasan sangat identik dengan ajaran Kristen dan kata The
Oppressed menjadi kata yang paling berpengaruh dalam Teologi Pembebasan.
Dalam konsep Teologi
Pembebasan pengertian yang tertindas memiliki definisi sendiri. Jika merujuk
kepada awal kemunculannya di Amerika Latin, maka yang dimaksud yang tertindas
tidak lain adalah rakyat miskin.[7] Namun
faktanya kemuculan Teologi Pembebasan di berbagai tempat, tidak mengerucut
hanya kepada usaha pembebasan rakyat miskin. David Turner menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan yang tertindas adalah catch-all term indicating “any”
practice, belief, sistem, etc., that burdens, causes harm, de-humanizez, or
restrict people fram the obtaining basic needs of life.[8] Artinya,
Teologi Pembebasan akan muncul setiap ada unsur penindasan dalam berbagai hal.
Oleh sebab itu jika Teologi Pembebasan selalu berangkat dari adanya penindasan,
maka awal dari Teologi Pembebasan itu sendiri adalah pembacaan kondisi sosial
yang ada di sekelilingnya.
Meskipun demikian, cara
pembacaan kondisi sosial dalam Teologi Pembebasan justru menimbulkan implikasi
khusus. Teologi Pembebasan secara tidak langsung tidak menjadi pembentuk sebuah
masyarakat, atau susunan kehidupan, namun sebagai sebuah respon dari kondisi
tersebut. Hal ini juga berakibat kepada doktrin dalam Teologi Pembebasan yang
selalu terbentuk dari sudut pandang penindasan. Sehingga bentuk Teologi
Pembebasan tidak akan terlepas dari keadaan sosio cultural di sekelilingnya
yang mengartikan keberadaannya di setiap tempat tidak sama. Boff bersaudara
juga tidak bisa mengelak dari pendapat ini, ia menyebutkan bahwa liberation
theology has to begin by informing itself about the actual conditions in which
the oppressed live.[9]
Hal inilah salah satu yang menimbulkan kerancuan karena tidak menutup
kemungkinan bentuk Teologi Pembebasan di satu tempat dengan yang lain sangat
berbeda, boleh dikatakan relevansinya hanya berdasarkan pada tempat kemunculan.
Yang
patut menjadi perhatian utama dalam konsep Teologi Pembebasan adalah salah satu
karakternya. Yaitu menggeser agama dari yang bersifat Ortodox beralih
kepada Ortopraxis. Dari sebuah ajaran ke arah perwujudan. Dan adanya
Teologi Pembebasan adalah sebuah praxis yang berusaha untuk berada di
pihak rakyat miskin sehingga melihat sebuah dunia dari sudut mata kemiskinan.[10] Oleh
sebab itu ajaran agama seolah menjadi the second religion sedangkan praxis
menjadi the first religion
[1] Stanley j. grenz, Roger
E. olson, 20th century theology: god & the world in a transitional
age, (USA: InterVarsity Press, 1992) Hal. 211
[2] The
theology of liberation attempts to reflect on the experience and meaning of the
faith based on the commitment to abolish injustice and to build a new society;
this theology must be verified by the practice of that commitment, by active,
effective participation in the struggle which the exploited social classes have
undertaken against their oppressors. Liberation from every from of
exploitation, the possibility of a more human and dignified life, the creation
of a new humankind- all pass through this struggle Dikutip oleh Hamid
Dabashi dalam Islamic Liberation Theology (USA: Routledge, 2008) hal.
254
[3] Opcit,
Miguel A. De La Torre, The Hope of Liberation in World Religions, hal.
93
[4]
Paradigma pembebasan adalah penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya
adalah bahwa manusia diciptakan dengan citra Allah yang kudus, artinya bebas
dari segala bentuk dosa, namun karena kesombongan dan keserakahannya ia
kehilangan kebebasannya, terkungkung dalam penjara dosa dan kegelapan. Karena
kemurahan Alah maka diutuslah Yesus dari Nazareth
yang berasal ari Ruh Allah yang bekerja sama dengan Daging Maria yang tidak
ternoda Dosa mewartakan kebenaran dan keadilan bagi semua orang, ia tidak
disukai oleh para penguasa politik dan adapt agama. Ia pun dihukum mati, namun
dibangkitkan oleh Allah. Oleh karena itu, ia disebut kristus yang diurapi untuk
menjadi panutan dan jembatan putihnya kebebasan anak-anak bangsa pilihan Allah.
[5] J. David
Turner, An Introduction to Liberation Theology (USA: University Press of
America, 1994) hal. 4
[6] W.R.F.
Browning, Kamus Al Kitab, diterj Dr. Liem Khiem Yang et. Al (Jakarta: PT BPK Gunung
Agung Mulia, 2008) hal. 444
[7] Marian
Hillar, dalam Liberation Theology, Anthology of essays menyebut salah
satu definisi bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu kritik akan aktivitas
gereja dari sudut pandang kaum miskin.
[8] Opcit,
J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology, hal. 2
[9]
Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology (Chicago: The
University of Chicago Press, 1991) hal. 241
[10] J.
David Turner, An Introduction to Liberation Theology. hal. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar