Senin, 17 Oktober 2016

KONSEP KEPEMIMPINAN FEMINIS



KONSEP KEPEMIMPINAN FEMINIS

Konsep kepemimpinan suami atas istri dalam Islam menjadi sebuah keharusan seperti pendapat beberapa ulama diatas karena dalam hal penciptaan manusia, perempuan memang lebih lemah fisiknya dari laki-laki. Bagaimana jadinya jika rakyat dipimpin orang yang lemah fisiknya? Pertanyaan diatas tidak memerlukan jawaban karena bagaimanapun juga seorang pemimpin diharuskan mempunyai kelebihan khusus untuk menjalankan amanah yang besar ini. Hal ini ditegaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi “arrijalu qawwamuuna ‘alan nisa bimaa fadholallahu ba’dhuhum ‘alaa ba’dhin” Artinya, laki-laki itu menjadi pelindung wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
Dari surat an-Nisa’ diatas menurut Riffat Hassan perlu diadakan kajian kritis dan reinterpretasi kembali. Begitu juga dengan surat al-Baqoroh ayat 288 dan hadits yang bersumber dari Abi Bakrah yang berbunyi : “lan yufliha qoumun wallau amrohum imro’atan”. Karena menurut dia ayat-ayat dan hadits tersebut hanya ditafsirkan oleh laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias pathriarki.[1] Seperti pada kalimat qowwamun yang diartikan pemimpin, pelindung atau penguasa akan menhasilkan implikasi bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki dan hal ini menurut Riffat Hassan tidak sesuai dengan surat al-Baqoroh ayat 187, Ali Imron 195, an-Nisa 124 dan ayat-ayat lain yang mengisyaratkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Riffat menolak penafsiran tersebut dan menurutnya secara linguistic Qowwamun berarti pencari nafkah.[2]
Kemudian yang berkaitan dengan kelebihan  laki-laki atas perempuan menurut Asghar Ali Enginer bukanlah keunggulan jenis kelamin melainkan keunggulan fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk keperluan istri dan keluarga. Namun bila dilihat dari peran domestic yang mereka lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang serupa sesuai dengan surat al-Baqoroh ayat 21, maka kepemimpinan laki-laki tidak bisa lagi dianggap sebagai keunggulan berdasarkan jinis kelamin. Karena itu semua merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban laki-laki atas perempuan. Sehingga Asghar Ali menyatakan bahwa surat an-Nisa ayat 34 bukanlah pernyataan normative namun hanya kontekstual saja.[3]
Berbeda dengan Asghar, Amina Wadud Muhsin secara eksplisit mengakui bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan. Akan tetapi harus disertai dengan dua syarat yaitu: mampu atau sanggup membuktikan kelebihannya mampu memberi nafkah. Tanpa kedua syarat tersebut laki-laki tidak berhak menjadi pemimpin bagi perempuan.[4] Sedangkan penafsiran atas surat an-Nisa ayat 34 dijadijakan legalitas untuk kelebihan laki-laki atas perempuan menurut Amina Wadud adalah tidak benar karena tidak sesuai dengan ajaran Islam lainnya.[5] Di samping itu juga ayat tersebut bukan berarti menunjukkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan disegala aspek kehidupan. Dengan merujuk kepada Sayyid Qutub dia mengatakan qowwamun hanya berkaitan dengan keluarga sajayang berupa sokongan berupa materiil dan lebih cenderung pada hubungan fungsional untuk kebaikan kolektif atara keduanya dan merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan.[6]
Demikinalah uraian dari pandangan beberapa tokoh feminisme yang bisa kita simpulkan menurut masing-masing pendapat yaitu yang pertama adalah Riffat Hassan, menurut dia ayat-ayat dan hadits yang dianggap missogini perlu di kaji dan direinpretasi kembali secara kontekstual. Yang kedua Asghar Ali Engineer, meskipun mengakui keunggulan laki-laki namun menurut dia itu hanya bersifat kontekstual saja dan tidak bisa dijadikan alasan normative. Sedangkan Amina Wadud mengakui kepemimpinan  laki-laki atas perempuan asalkan dapat membuktikan kelebihannya untuk melindungi dan mampu untuk memberi nafkah.



[1] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Qur’an, sebuah percakapan dalam jurnal ulumul Qur’an, vol II, 1990. Hal. 86
[2] Riffat Hassan dan Fatiama Mernissi, setara dihadapan Allah : Relasi  laki-laki dan perempuan dalam tradisi Islam pasca patriarki (Yogyakarta, Yayasan Prakarsa, 1995) hal. 91
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (penerj.) (Yogyakarta, LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994) hal 63
[4] Amina Wadud Muhsin, Wanita didalam al-Qur’an, Yazir Radianti (penerj.)(Bandung, Pustaka 1994) hal. 93-94
[5] Ibid, hal. 94
[6] Ibid, hal. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar