KONSEP KEPEMIMPINAN
FEMINIS
Konsep kepemimpinan
suami atas istri dalam Islam menjadi sebuah keharusan seperti pendapat beberapa
ulama diatas karena dalam hal penciptaan manusia, perempuan memang lebih lemah
fisiknya dari laki-laki. Bagaimana jadinya jika rakyat dipimpin orang yang lemah
fisiknya? Pertanyaan diatas tidak memerlukan jawaban karena bagaimanapun juga
seorang pemimpin diharuskan mempunyai kelebihan khusus untuk menjalankan amanah
yang besar ini. Hal ini ditegaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi “arrijalu
qawwamuuna ‘alan nisa bimaa fadholallahu ba’dhuhum ‘alaa ba’dhin” Artinya,
laki-laki itu menjadi pelindung wanita oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
Dari surat an-Nisa’
diatas menurut Riffat Hassan perlu diadakan kajian kritis dan reinterpretasi
kembali. Begitu juga dengan surat al-Baqoroh ayat 288 dan hadits yang bersumber
dari Abi Bakrah yang berbunyi : “lan yufliha qoumun wallau amrohum imro’atan”.
Karena menurut dia ayat-ayat dan hadits tersebut hanya ditafsirkan oleh
laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias pathriarki.[1]
Seperti pada kalimat qowwamun yang diartikan pemimpin, pelindung atau
penguasa akan menhasilkan implikasi bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki
dan hal ini menurut Riffat Hassan tidak sesuai dengan surat al-Baqoroh ayat
187, Ali Imron 195, an-Nisa 124 dan ayat-ayat lain yang mengisyaratkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Riffat menolak
penafsiran tersebut dan menurutnya secara linguistic Qowwamun berarti
pencari nafkah.[2]
Kemudian yang berkaitan
dengan kelebihan laki-laki atas
perempuan menurut Asghar Ali Enginer bukanlah keunggulan jenis kelamin
melainkan keunggulan fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan
membelanjakan hartanya untuk keperluan istri dan keluarga. Namun bila dilihat
dari peran domestic yang mereka lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang
serupa sesuai dengan surat al-Baqoroh ayat 21, maka kepemimpinan laki-laki
tidak bisa lagi dianggap sebagai keunggulan berdasarkan jinis kelamin. Karena
itu semua merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban laki-laki atas
perempuan. Sehingga Asghar Ali menyatakan bahwa surat an-Nisa ayat 34 bukanlah
pernyataan normative namun hanya kontekstual saja.[3]
Berbeda dengan Asghar,
Amina Wadud Muhsin secara eksplisit mengakui bahwa laki-laki menjadi pemimpin
bagi perempuan. Akan tetapi harus disertai dengan dua syarat yaitu: mampu atau
sanggup membuktikan kelebihannya mampu memberi nafkah. Tanpa kedua syarat
tersebut laki-laki tidak berhak menjadi pemimpin bagi perempuan.[4]
Sedangkan penafsiran atas surat an-Nisa ayat 34 dijadijakan legalitas untuk
kelebihan laki-laki atas perempuan menurut Amina Wadud adalah tidak benar
karena tidak sesuai dengan ajaran Islam lainnya.[5] Di
samping itu juga ayat tersebut bukan berarti menunjukkan kepemimpinan laki-laki
terhadap perempuan disegala aspek kehidupan. Dengan merujuk kepada Sayyid Qutub
dia mengatakan qowwamun hanya berkaitan dengan keluarga sajayang berupa
sokongan berupa materiil dan lebih cenderung pada hubungan fungsional untuk
kebaikan kolektif atara keduanya dan merupakan bagian dari masyarakat secara
keseluruhan.[6]
Demikinalah uraian dari
pandangan beberapa tokoh feminisme yang bisa kita simpulkan menurut
masing-masing pendapat yaitu yang pertama adalah Riffat Hassan, menurut dia
ayat-ayat dan hadits yang dianggap missogini perlu di kaji dan direinpretasi
kembali secara kontekstual. Yang kedua Asghar Ali Engineer, meskipun mengakui
keunggulan laki-laki namun menurut dia itu hanya bersifat kontekstual saja dan
tidak bisa dijadikan alasan normative. Sedangkan Amina Wadud mengakui
kepemimpinan laki-laki atas perempuan
asalkan dapat membuktikan kelebihannya untuk melindungi dan mampu untuk memberi
nafkah.
[1] Riffat Hassan, Feminisme dan
al-Qur’an, sebuah percakapan dalam jurnal ulumul Qur’an, vol II,
1990. Hal. 86
[2] Riffat Hassan dan Fatiama
Mernissi, setara dihadapan Allah : Relasi
laki-laki dan perempuan dalam tradisi Islam pasca patriarki (Yogyakarta,
Yayasan Prakarsa, 1995) hal. 91
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak
perempuan dalam Islam, Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (penerj.)
(Yogyakarta, LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994) hal 63
[4] Amina Wadud Muhsin, Wanita
didalam al-Qur’an, Yazir Radianti (penerj.)(Bandung, Pustaka 1994) hal.
93-94
[5] Ibid, hal. 94
[6] Ibid, hal. 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar