TATA CARA MEMAHAMI MAQASID AS SYARI’AH
Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam memahami maqasid as syari’ah menurut asy syatibi. Car cara
tersebut adalah sebagai berikut:[1]
1. Melakukan Analisis Terhadap Lafal Perintah Dan Larangan.
Cara ini menitikberatkan pada penelaahan pada
lafal al amr (perintah) dan na nahyu (larangan) yang terdapat dalam al qur’an
dan sunnah secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan permasalahan yang
lain. Artinya, makna makna yang terkandung dalam lafal perintah dan larangan
itu dikembalikan pada arti yang hakiki. Dalam konteks ini seuatu perintah harus
difahami menghendaki suatu yang diperintahkan itu dapat diwujudkan atau
dilakukan. Perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang dikehandaki oleh
asy syari’. Demikian pula halnya larangan, juga dapat difahami menghendaki
suartu perbuatan yang dilarang itu harus ditinggalkan. Kaharusan meninggalkan
perbuatan yang dilarang itu merupakan tujuan yang diinginkan oleh asy-syari’.
Pembatasan dengan lafal perintah dan larangan yang
tidak terkait dengan permasalahn permasalahan yang lain adalah untuk menjaga
dan membedakan dari perintah dan larangan yang mengandung tujuan yang lain,
seperti dalam firman Allah surat al jumu’ah ayat 9:
فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”[2]
Larangan jual
beli pada ayat tersebut bukanlah larangan yang berdiri sendiri, akan tetapi
larangan tersebut hanya bertujuan menguatkan perintah untuk melakukan
penyegeraan mengingat Allah yaitu dengan melakukan sholat jumu’at. Karena hokum
jual beli pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan, bukan suatu yang
dilarang. Sehingga dalam pelarangan jual beli pada ayat tersebut tidak terdapat
aspek maqasid asy syari’ah yang hakiki.
Penekanan dengan
bentuk perintah dan larangan yang tegas di atas, merupakan sikap kehati hatian
yang perlu dimengerti dalam upaya
melakukan pemahaman maqasid as syari’ah yang lebih tepat. Sehingga maqasid asy
syari’ah benar benar dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan dan pengembangan
hukum islam.
2. Penelaahan ‘Illah Al Amr
(Perintah) Dan An Nahy (Larangan).
Cara ini
dilakukan dengan cara menganalisis ‘illat hokum yang terdapat dalam ayat ayat
al qur’an dan hadits. Illat hokum ini adakalanya tertulis secara jelas dan
adakalanya tidak tertulis dengan jelas. Apabila illat itu tertulis secara jelas
dalam ayat atau hadits, maka harus mengikuti apa yang tertulis dalam ayat dan
hadits itu. Kerena dengan mengikuti yang tertulis itu, tujuan hokum dalam
perintah dan larangan itu dapat dicapai.
Apabila illat
hokum tidak dapat diketahui dengan jelas, maka kita harus melakukan tawaquf
(menyerahkan hal itu kepada as syari’ yang lebih mengetahui tujuan tujuan dari
pensyariatan hokum). Sikap tawaquf itu menurut as syatibi didasarkan atas dua
pertimbangan, yaitu: pertama, tidak boleh melakukan ta’addi (perluasan cakupan)
terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Karena upaya perluasan cakupan
terhadap apa yang ada dalam nash tanpa mengetahui illat hukumnya, sama saja
dengan menetapkan suatu hokum tanpa dalil, yang akhirnya bertentangan dengan
asy syari’ah.
Kedua, pada
dasarnya tidak dibenarkan melakukan perluasan cakupan atau kandungan terhadap
apa yang telah ditetapkan dalam nash. Namun hal itu dimungkinkan bias
dilakukan, apabila tujuan hokum dapat diketahui.
Sebagai contoh
adalah pemahaman terhadap sebuah hadits yang berkaitan dengan masalah
peradilan: Rasulullah saw bersabda, “seorang hakim tidak boleh mengambil suatu
keputusan hokum dalam keadaan marah.”[3]
Keadaan ghodhob
(marah) dalam hadits tersebut adalah merupakan sebab. Sedangkan illatnya adalah
timbulnya kewaswasan atau keraguan dalam meletakan dasar dan alasan alasan
hokum.
3. Analisis Terhadap Sikap Diam
As Syari’ Dan Pensyari’atan Sesuatu.
Cara yang ketiga
dalam memahami maqasid asy syari’ah dalam pengembanganhukum islam adalah
analisis terhadap sikap diam asy syari’ dan pensyariatan sesuatu ( as sukut ‘an
syar’iyyah al amal ma’a qiyam al makna almuqtadalah), yaitu melakukan pemahaman
terhadap permasalahan permasalahan yang tidak disebut oleh syari’. Permasalahan
hokum tersebut pada hakikatnya sangat berdampak positif dalam kehidupan.
As sukut ‘an
syariyyah al amal ada dua macam, yaitu: as sukut karena tidak ada motif dan as
sukut walaupun ada motif. As sukut atau sikap diam as syari’ dalam bagian yang
pertama, dalam kaitan inidisebabkan oleh tidak adanya motif atau tidak adanya
factor yang dapat mendoronga asy syari’ untuk memberikan ketetapan hokum. Akan
tetapi pada rentang berikutnya dapat dirasakan manusia bahwa ketetapan hokum
tersebut membawa dampak yang positif. Contohnya, penerapan hokum islam terhadap
masalah masalah yang muncul setelah nabi Muhamad saw wafat, seperti pengumpulan
mushaf alqur’an, jaminan upah mengupah dalam pertukangan dan sebagainya.
As sukut dalam
bagian yang kedua yaitu as sukut
walaupun ada motif; adalah sikap diam asy syari’ terhadap suatu persoalan
hokum, walaupun pada dasarnya terdapat factor atau motif yang mengharuskan asy
syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu munculnya persoalan hokum tersebut.
Sikap ini harus difahami bahwa keberlakuan suatu hokum harus seperti adanya,
tanpa melakukan penambahan dan pengurangan. Apa yang ditetapkan itulah yang
dikehandaki oleh asy syari’.
Contohnya, tidak
disyari’atkannya sujud syukur dalam madzhab malik. Asy syatibi menjalaskan
bahwa tidak disyari’atkannya sujud sukur ini, karena sujud itu tidak dilakukan
oleh Nabi Muhamad saw pada masanya di satu sisi, sedangkan di sisi lain motif
atau factor untuk melakukan hal itu seperti realisasi rasa syukur terhadap
nikmat senantiasa tak terpisahkan dari kehidupan manusia, kapan dan di manapun
ia berada. Dengan demikian sikap diam atau tidak melakukan sujud syukur oleh
Nabi pada masanya mengandung maqasid as syari’ah bahwa sujud syukur itu memang
tidak dianjurkan. Konsekuensinya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh asy
sytibi diatas bahwa pensyariatan yang dilakukan dapat disebut sebagai tambahan
yang cenderung dianggap sebagai bid’ah.
As sukut dalam
corak yang kedua ini, tampak lebih tegas bila dibandingkan dengan as sukut
dalam corak yang pertama. Sebab, bila bertolak dari contoh yang dikemukakan as
syatibi berkaitan dengan persoalan ibadah. Di mana dalam persoalan ibadah tidak
dibolehkan adanya penambahan dan pengurangan. Bahkan dalam masalah ibadah telah
diatur dan dibentuk dengan pola pola tertentu yang tidak ada keikut sertaan
manusia sedikitpun. Penyimpangan dari pola pola tersebut di atas dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang bukan ibadah.
Dari uraian
diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa metode pertama; analisis lafal
perintah dan larangan lebih banyak ditujukan pada masalah masalah ibadah, cara
kedua: penelaahan illah amr dan an nahy ditujukan pada masalah masalah
nu’amalah, dan cara ketiga; as sukut asy syari’ah al amal yang memeliki objek
ganda, mua’amalah dan ibadah. Cara cara ini dikembangkan oleh asy syatibi
bertolak dari kesimpulannya terhadap kandungan nash nash yang mengandung
prinsip prinsip umum tentang hakikat dan tujuan disyari’atkannya hokum.[4]
Tiga cara
tersebut (analisis lafal perintah dan larangan, analisis illah perintah dan
larangan, dan sikap diam asy syari’ terhadap pensyariatan hokum), yang
merupakan perwujudan dari pemahaman gabungan antara mereka yang memberi
penekanan pemahaman zhahir nash dan mereka yang memberi penekanan pada makna
kandungan nash yang dikemukakan asu syatibi, ada kemungkinan lebih tepat dalam
kerangka pemahaman alqur’an dan sunnah sebagai sumber dalam agama yang
diwahyukan oleh Tuhan. Karena, apabila pemahaman terhadap nash nash yang
terdapat dalam dua sumber itu hanya berpedoman pada tunjukan zahir nash zhahir
lafal, maka dimungkinkan akan melahirkan kekakuan pemahaman, yang pada
gikirannya menjadikan alqur’an dan sunnah sebagai sumber hokum, tidak mampu
memberikan jawaban terhadap persoalan persoalan yang muncul dalam kehidupan
manusia. Hal ini jelas merupakan reduksi arti diturunkannya alqur’an dan
diutuskannya Rasul, sebagai rahmah li al alamin.
Sebaliknya,
apabila pemahaman suatu nash yang terdapat dalam alqur’an maupun sunnah tidak
terikat sama sekali dengan tunjukan zhahir lafal dan memberikan kebebasan penuh
pada manusia untuk melakukan interpretasi, maka jaran agama hanya akan berwujud
dalam bentuk nilai nilai dan kehilangan identitas formalnya. Interpretasi atau
penafsiran ajaran akan melahirkan banyak perbedaan, yang timbul dari perbedaan
kondisi, kamampuan dan latarbelakang masing masing.
Oleh karena itu
pendekatan gabungan dirasa sangat penting untuk mempertahankan identitas ajaran
agama sekaligus menjawab perkembangan hokum yang muncul akibat perubahan
perubahan social. Identitas formal ajaran ini lebih banyak tampak dalam masalah
masalah ibadah. Sedangkan dinamika ajaran tampak dalam masalah masalah
mua’amalah, di mana illah merupakan bagian dari maqasid asy syari’ah yang
sangat menentukan dalam dinamika dan penajaman analisis pengembangan hokum
islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar