Senin, 17 Oktober 2016

TATA CARA MEMAHAMI MAQASID AS SYARI’AH



TATA CARA MEMAHAMI MAQASID AS SYARI’AH


Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam memahami maqasid as syari’ah menurut asy syatibi. Car cara tersebut adalah sebagai berikut:[1]
1. Melakukan Analisis Terhadap Lafal Perintah Dan Larangan.
Cara ini menitikberatkan pada penelaahan pada lafal al amr (perintah) dan na nahyu (larangan) yang terdapat dalam al qur’an dan sunnah secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan permasalahan yang lain. Artinya, makna makna yang terkandung dalam lafal perintah dan larangan itu dikembalikan pada arti yang hakiki. Dalam konteks ini seuatu perintah harus difahami menghendaki suatu yang diperintahkan itu dapat diwujudkan atau dilakukan. Perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang dikehandaki oleh asy syari’. Demikian pula halnya larangan, juga dapat difahami menghendaki suartu perbuatan yang dilarang itu harus ditinggalkan. Kaharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang itu merupakan tujuan yang diinginkan oleh asy-syari’.
Pembatasan dengan lafal perintah dan larangan yang tidak terkait dengan permasalahn permasalahan yang lain adalah untuk menjaga dan membedakan dari perintah dan larangan yang mengandung tujuan yang lain, seperti dalam firman Allah surat al jumu’ah ayat 9:
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”[2]
Larangan jual beli pada ayat tersebut bukanlah larangan yang berdiri sendiri, akan tetapi larangan tersebut hanya bertujuan menguatkan perintah untuk melakukan penyegeraan mengingat Allah yaitu dengan melakukan sholat jumu’at. Karena hokum jual beli pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan, bukan suatu yang dilarang. Sehingga dalam pelarangan jual beli pada ayat tersebut tidak terdapat aspek maqasid asy syari’ah yang hakiki.
Penekanan dengan bentuk perintah dan larangan yang tegas di atas, merupakan sikap kehati hatian yang perlu dimengerti  dalam upaya melakukan pemahaman maqasid as syari’ah yang lebih tepat. Sehingga maqasid asy syari’ah benar benar dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan dan pengembangan hukum islam.
2. Penelaahan ‘Illah Al Amr (Perintah) Dan An Nahy (Larangan).
Cara ini dilakukan dengan cara menganalisis ‘illat hokum yang terdapat dalam ayat ayat al qur’an dan hadits. Illat hokum ini adakalanya tertulis secara jelas dan adakalanya tidak tertulis dengan jelas. Apabila illat itu tertulis secara jelas dalam ayat atau hadits, maka harus mengikuti apa yang tertulis dalam ayat dan hadits itu. Kerena dengan mengikuti yang tertulis itu, tujuan hokum dalam perintah dan larangan itu dapat dicapai.
Apabila illat hokum tidak dapat diketahui dengan jelas, maka kita harus melakukan tawaquf (menyerahkan hal itu kepada as syari’ yang lebih mengetahui tujuan tujuan dari pensyariatan hokum). Sikap tawaquf itu menurut as syatibi didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu: pertama, tidak boleh melakukan ta’addi (perluasan cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Karena upaya perluasan cakupan terhadap apa yang ada dalam nash tanpa mengetahui illat hukumnya, sama saja dengan menetapkan suatu hokum tanpa dalil, yang akhirnya bertentangan dengan asy syari’ah.
Kedua, pada dasarnya tidak dibenarkan melakukan perluasan cakupan atau kandungan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Namun hal itu dimungkinkan bias dilakukan, apabila tujuan hokum dapat diketahui.
Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap sebuah hadits yang berkaitan dengan masalah peradilan: Rasulullah saw bersabda, “seorang hakim tidak boleh mengambil suatu keputusan hokum dalam keadaan marah.”[3]
Keadaan ghodhob (marah) dalam hadits tersebut adalah merupakan sebab. Sedangkan illatnya adalah timbulnya kewaswasan atau keraguan dalam meletakan dasar dan alasan alasan hokum.
3. Analisis Terhadap Sikap Diam As Syari’ Dan Pensyari’atan Sesuatu.
Cara yang ketiga dalam memahami maqasid asy syari’ah dalam pengembanganhukum islam adalah analisis terhadap sikap diam asy syari’ dan pensyariatan sesuatu ( as sukut ‘an syar’iyyah al amal ma’a qiyam al makna almuqtadalah), yaitu melakukan pemahaman terhadap permasalahan permasalahan yang tidak disebut oleh syari’. Permasalahan hokum tersebut pada hakikatnya sangat berdampak positif dalam kehidupan.
As sukut ‘an syariyyah al amal ada dua macam, yaitu: as sukut karena tidak ada motif dan as sukut walaupun ada motif. As sukut atau sikap diam as syari’ dalam bagian yang pertama, dalam kaitan inidisebabkan oleh tidak adanya motif atau tidak adanya factor yang dapat mendoronga asy syari’ untuk memberikan ketetapan hokum. Akan tetapi pada rentang berikutnya dapat dirasakan manusia bahwa ketetapan hokum tersebut membawa dampak yang positif. Contohnya, penerapan hokum islam terhadap masalah masalah yang muncul setelah nabi Muhamad saw wafat, seperti pengumpulan mushaf alqur’an, jaminan upah mengupah dalam pertukangan dan sebagainya.
As sukut dalam bagian yang kedua  yaitu as sukut walaupun ada motif; adalah sikap diam asy syari’ terhadap suatu persoalan hokum, walaupun pada dasarnya terdapat factor atau motif yang mengharuskan asy syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu munculnya persoalan hokum tersebut. Sikap ini harus difahami bahwa keberlakuan suatu hokum harus seperti adanya, tanpa melakukan penambahan dan pengurangan. Apa yang ditetapkan itulah yang dikehandaki oleh asy syari’.
Contohnya, tidak disyari’atkannya sujud syukur dalam madzhab malik. Asy syatibi menjalaskan bahwa tidak disyari’atkannya sujud sukur ini, karena sujud itu tidak dilakukan oleh Nabi Muhamad saw pada masanya di satu sisi, sedangkan di sisi lain motif atau factor untuk melakukan hal itu seperti realisasi rasa syukur terhadap nikmat senantiasa tak terpisahkan dari kehidupan manusia, kapan dan di manapun ia berada. Dengan demikian sikap diam atau tidak melakukan sujud syukur oleh Nabi pada masanya mengandung maqasid as syari’ah bahwa sujud syukur itu memang tidak dianjurkan. Konsekuensinya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh asy sytibi diatas bahwa pensyariatan yang dilakukan dapat disebut sebagai tambahan yang cenderung dianggap sebagai bid’ah.
As sukut dalam corak yang kedua ini, tampak lebih tegas bila dibandingkan dengan as sukut dalam corak yang pertama. Sebab, bila bertolak dari contoh yang dikemukakan as syatibi berkaitan dengan persoalan ibadah. Di mana dalam persoalan ibadah tidak dibolehkan adanya penambahan dan pengurangan. Bahkan dalam masalah ibadah telah diatur dan dibentuk dengan pola pola tertentu yang tidak ada keikut sertaan manusia sedikitpun. Penyimpangan dari pola pola tersebut di atas dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bukan ibadah.
Dari uraian diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa metode pertama; analisis lafal perintah dan larangan lebih banyak ditujukan pada masalah masalah ibadah, cara kedua: penelaahan illah amr dan an nahy ditujukan pada masalah masalah nu’amalah, dan cara ketiga; as sukut asy syari’ah al amal yang memeliki objek ganda, mua’amalah dan ibadah. Cara cara ini dikembangkan oleh asy syatibi bertolak dari kesimpulannya terhadap kandungan nash nash yang mengandung prinsip prinsip umum tentang hakikat dan tujuan disyari’atkannya hokum.[4]
Tiga cara tersebut (analisis lafal perintah dan larangan, analisis illah perintah dan larangan, dan sikap diam asy syari’ terhadap pensyariatan hokum), yang merupakan perwujudan dari pemahaman gabungan antara mereka yang memberi penekanan pemahaman zhahir nash dan mereka yang memberi penekanan pada makna kandungan nash yang dikemukakan asu syatibi, ada kemungkinan lebih tepat dalam kerangka pemahaman alqur’an dan sunnah sebagai sumber dalam agama yang diwahyukan oleh Tuhan. Karena, apabila pemahaman terhadap nash nash yang terdapat dalam dua sumber itu hanya berpedoman pada tunjukan zahir nash zhahir lafal, maka dimungkinkan akan melahirkan kekakuan pemahaman, yang pada gikirannya menjadikan alqur’an dan sunnah sebagai sumber hokum, tidak mampu memberikan jawaban terhadap persoalan persoalan yang muncul dalam kehidupan manusia. Hal ini jelas merupakan reduksi arti diturunkannya alqur’an dan diutuskannya Rasul, sebagai rahmah li al alamin.
Sebaliknya, apabila pemahaman suatu nash yang terdapat dalam alqur’an maupun sunnah tidak terikat sama sekali dengan tunjukan zhahir lafal dan memberikan kebebasan penuh pada manusia untuk melakukan interpretasi, maka jaran agama hanya akan berwujud dalam bentuk nilai nilai dan kehilangan identitas formalnya. Interpretasi atau penafsiran ajaran akan melahirkan banyak perbedaan, yang timbul dari perbedaan kondisi, kamampuan dan latarbelakang masing masing.
Oleh karena itu pendekatan gabungan dirasa sangat penting untuk mempertahankan identitas ajaran agama sekaligus menjawab perkembangan hokum yang muncul akibat perubahan perubahan social. Identitas formal ajaran ini lebih banyak tampak dalam masalah masalah ibadah. Sedangkan dinamika ajaran tampak dalam masalah masalah mua’amalah, di mana illah merupakan bagian dari maqasid asy syari’ah yang sangat menentukan dalam dinamika dan penajaman analisis pengembangan hokum islam. 



[1] Asy syatibi, al muwafaqat, II, hal.273-290.
[2] Departemen Agama RI, Al qur’an, hal. 933.
[3] Imam Muslim, shohih muslim, II, hal.123. abu daud, sunan, II, hal. 167 dengan lafal ‘la yaqdhi’.
[4] Kutbuddin Aibak, metodologi pembaruan hokum islam. Pustaka pelajar, 2008. hal. 76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar