Senin, 17 Oktober 2016

KEADILAN DALAM HUKUM MAWARITS ISLAM



KEADILAN DALAM HUKUM MAWARITS ISLAM

 Syari'at Islam meletakkan hukum kewarisan dengan sebaik-baik aturan adalah dalam upaya mengatur harta benda manusia agar tercapai keadilan yang merata, baik bagi laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa. Al-Qur'an secara gamblang telah menerangkan hukum-hukum waris tanpa menyisakan seorangpun dari ahli waris dan tanpa membedakan hak masing-masing dari mereka. Al-Qur'an merupakan sumber utama hukum waris karena persoalan-persoalan kewarisan dijelaskan di dalamnya secara terperinci. Sedikit sekali masalah-masalah kewarisan di jelaskan oleh sunnah Nabi SAW atau melalui proses ijtihad. Ini menunjukkan bahwa Syari'at Islam sangat memperhatikan persoalan kewarisan yang menjadi penyebab kepemilikan harta, dimana harta adalah bagian dari dinamika hidup, baik bagi individu maupun kelompok. Dengan harta manusia dapat bertahan dan karena harta sendi-sendi kehidupan akan selalu berputar. Anggapan sebagian orang, bahwa hukum kewarisan Islam yang terdapat di dalam Al-Qur'an tidak sejalan dengan asas keadilan adalah tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Keadilan dalam Islam bukan berarti persamaan atau penyesuaian terhadap keadaan dan realitas zaman. Keadilan di dalam Islam bersifat universal untuk kelangsungan hidup seluruh manusia..
Pada masa pra Islam, perempuan tidak mewarisi harta pusaka orang yang meninggal, dengan alasan mereka tidak ikut berperang dan bukan tulang punggung keluarga. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah membagi harta pusaka mereka oleh karena dua hal, yaitu nasab dan sebab. Pembagian dengan nasab (keturunan) hanya memberikan harta kepada laki-laki dewasa yang memanggul senjata (berperang) dan sebagai tulang punggung keluarga. Kaum perempuan dan anak-anak diabaikan dan tidak memperoleh bagian sedikitpun dari harta warisan. Sedangkan pembagian warisan dengan sebab melalui dua bentuk : sebab sumpah dan sebab adopsi. Sebab sumpah misalnya seorang berkata kepada temannya : "darahku adalah darahmu, binasaku adalah binasamu, engkau mewarisi aku dan aku mewarisimu, engkau meminta kepadaku dan aku meminta kepadamu" lalu temannya menyetujui ucapannya. Setelah perjanjian sumpah itu, salah seorang dari mereka meninggal dunia, maka yang masih hidup mewarisi harta yang telah meninggal . Sumpah itu hanya berlaku bagi para lelaki yang telah dewasa dan mampu berperang. Sedangkan pewarisan dengan cara adopsi, ialah apabila seorang laki-laki mengangkat anak dan dinisbahkan kepadanya bukan kepada ayah kandungnya, maka setelah anak itu dewasa, ia berhak mewarisi harta ayah angkatnya. Sedangkan anak kandungnya sendiri belum tentu dapat mewarisinya kecuali setelah usia dewasa.
Pada masa awal Islam, ketika kaum muslimin Makkah berhijrah ke kota Madinah, tampaklah persaudaraan antara kaum Anshor dan Muhajirin sangat kuat. Kuatnya persaudaraan itu sampai  pula pada masalah pewarisan. Apabila seorang muhajirin meninggal dan dia tidak mempunyai kerabat, maka hartanya diwarisi oleh salah satu dari kaum Anshor bukan dari kaum muhajirin.[1]
Ketika aqidah kaum muslimin telah kokoh, Islam menghapus sistem kewarisan karena sebab hijrah dan persaudaraan. Islam juga menghapus sistem kewarisan bangsa Arab yang mengabaikan perempuan dan anak-anak, sebagaimana firman Allah:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
"bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
Islam menghapus sistem kewarisan dengan perjanjian dan sumpah dengan firman-Nya :
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu"[2]
Adapun sistem kewarisan karena adopsi di hapus dengan firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan" [3]
"dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu"[4]
Timbul pertanyaan, mengapa bagian warisan laki-laki lebih besar dua kali lipat bagian perempuan? Kenapa tidak mendapat bagian yang sama dengan laki-laki? Dimana letak keadilan Islam ?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, yang patut dicermati adalah bahwa pewarisan perempuan setengah dari laki-laki bukanlah ketetapan mutlak atau kaidah yang pasti. Bahkan filsafat waris Islam menyebutkan, pembedaan bagian si pewaris, laki-laki atau perempuan, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Dalam pembedaan ini tersimpan hikmah-hikmah ketuhanan yang tidak bisa dijangkau oleh mereka yang menjadikan pembedaan tersebut sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab, pembedaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan bertumpu pada tiga hal.
Pertama, tingkat kekerabatan antara warits dan muarrits. Semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin besar bagian warisannya.
Kedua, waktu kehidupan bagi keturunan si muarrits. Keturunan si muarrist yang diperkirakan akan menjalani kehidupan lebih lama dan menanggung hidup lebih besar, biasanya akan mendapat bagian warisan lebih besar daripada keturunan yang menjalani kehidupan lebih sedikit.
Ketiga, beban harta yang diwajibkan syara' bagi si warits untuk menuntaskannya dengan pihak lain yang bersangkutan dengan si mayit. Kretirea ketiga ini adalah satu-satunya kreteria yang bisa membedakan bagian waris laki-laki dan perempuan. meskipun demikian, pembedaan ini tidak serta merta berbuah kedzaliman dan ketidakadilan pada perempuan bahkan - yang benar - sebaliknya.[5]
Adapun Anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat dari pada anak perempuan adalah karena beberapa hal :
1.      Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
2.      Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
3.      Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
4.      laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
5.      Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).[6]
Disamping alasan diatas, pertimbangan lain seperti pengendalian emosi antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Secara umum, laki-laki lebih mampu mengendalikan emosinya dibandingkan perempuan. Ini menunjukkan pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan daripada pengendaliannya atas dasar emosi. Bahkan, kalau ditinjau dari kepemihakan, sejatinya Al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan daripada laki-laki. Laki-laki membutuhkan Istri sebagaimana perempuan juga membutuhkan suami. Namun laki-laki berkewajiban membelanjai istrinya, sedangkan perempuan justru dicukupi segala kebutuhannya oleh sang suami.[7]
Jika demikian, bagaimana mungkin Islam mempersamakan bagian warisan anak laki-laki dan anak perempuan, bukankah sebaliknya, Menunjukkan betapa adil dan sempurnanya ajaran Islam? Sebab, pembagian warisan dalam Islam terkait dengan hak dan kewajiban, dimana laki-laki mempunyai tanggung-jawab menafkahi keluarganya. Apabila tanggung jawab itu hilang, maka sistem pembagian warisanpun akan berubah. Sebagai contoh, bila seorang meninggal dunia dan ahli warisnya terdiri dari bapak dan ibu kandung, maka masing-masing (bapak dan ibu) mendapat bagian seperenam.[8] Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 11 :
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam".

Pandangan feminis muslim, seperti Aminah Wadud sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa'at dan keadilan. Kalau dianalisis, pandangan seperti ini bertentangan dengan firman Allah surat An-Nisa' ayat 7, dimana telah ditentukan bagian laki-laki dan perempuan, sedikit ataupun banyak, Ini merupakan ketentuan dari Allah. Penggunaan kalimat "nashiiban mafruudhaa" menunjukkan berlaku asas ijbaari, artinya ketentuan warisan itu mutlak dan tidak ada hak bagi pewaris untuk mengurangi atau menambah. Disamping itu, pembagian warisan secara fleksibel membuka kesempatan terjadinya perselisihan, terutama dalam menilai manfa'at dan keadilan itu sendiri. Setiap ahli waris tentu mempunyai pandangan yang berbeda, apalagi bila dimasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Maka dari itulah Al-Qur'an menentukan secara pasti (qoth'i) bagian tiap-tiap ahli waris.

Adapun pandangan Munawir Sjadzali yang menilai konsep kewarisan anak perempuan menerima separuh bagian anak laki-laki tidak memenuhi unsur keadilan dan tidak sesuai dengan realitas zaman tidak dapat dijadikan argumen karena bersifat kasaustik dan tanpa landasan yang kuat. Tidak ada landasan yang mengatur bagi anak laki-laki agar menghabiskan biaya lebih banyak untuk keperluan pendidikan atau keperluan-keperluan lain dibandingkan anak-anak perempuan. Selain itu, Munawir juga menganggap bahwa keadilan berarti pembagian sama rata, padahal keadilan juga mempunyai pengertian pembagian atas dasar keseimbangan. Dalam hal kewarisan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, atau penerimaan dan pengeluaran.



[1]. Dr. Abdul Wadud Muhammad  Syaraity, al-Washaya wa al-Awqaaf wa al-Mawaarits fi as-
     Syari'ah al-Islamiyah, (Beirut : Daar an-Nahdloh al-Arabiyah, 1997), hal. 219-220  
[2]. Surat Al-Anfaal, ayat : 75
[3]. Surat An-Nisa', ayat : 7
[4]. Surat Al-Ahzaab, ayat : 3-4
[5]. Muhammad 'Imarah, Meluruskan Salah Faham Barat Atas Islam, terj. Tim "Sanggar Cililitan" 
     (Jakarta : Sajadah_Press, 2007), hal. 247-248  
[6]. Muhammad Ali as-Shaubuny, Al-Mawarits fi Asyari'ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitab wa al-
     Sunnah, (Damaskus: Daar al-Qolam, 1993) hal. 18-19
[7]. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, Kata Pengantar dalam Bangunan Wacana  Gender,
     (Ponorogo : CIOS, 2008), hal. xiii
[8]. Al-Imam al-Shodiq al-Mahdi, Al-Huquuq al-Islaamiyah wa al-insaaniyah li al-mar'ah, (Kairo:
    Maktabah al-Syuruuq al-Duwaliyah, 2006), hal. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar