KEADILAN DALAM HUKUM
MAWARITS ISLAM
Syari'at Islam meletakkan hukum kewarisan dengan
sebaik-baik aturan adalah dalam upaya mengatur harta benda manusia agar
tercapai keadilan yang merata, baik bagi laki-laki maupun perempuan, anak-anak
maupun orang dewasa. Al-Qur'an secara gamblang telah menerangkan hukum-hukum
waris tanpa menyisakan seorangpun dari ahli waris dan tanpa membedakan hak
masing-masing dari mereka. Al-Qur'an merupakan sumber utama hukum waris karena
persoalan-persoalan kewarisan dijelaskan di dalamnya secara terperinci. Sedikit
sekali masalah-masalah kewarisan di jelaskan oleh sunnah Nabi SAW atau melalui
proses ijtihad. Ini menunjukkan bahwa Syari'at Islam sangat memperhatikan
persoalan kewarisan yang menjadi penyebab kepemilikan harta, dimana harta
adalah bagian dari dinamika hidup, baik bagi individu maupun kelompok. Dengan harta
manusia dapat bertahan dan karena harta sendi-sendi kehidupan akan selalu
berputar. Anggapan sebagian orang, bahwa hukum kewarisan Islam yang terdapat di
dalam Al-Qur'an tidak sejalan dengan asas keadilan adalah tuduhan yang tidak
berdasar sama sekali. Keadilan dalam Islam bukan berarti persamaan atau
penyesuaian terhadap keadaan dan realitas zaman. Keadilan di dalam Islam
bersifat universal untuk kelangsungan hidup seluruh manusia..
Pada masa pra Islam, perempuan tidak mewarisi harta pusaka
orang yang meninggal, dengan alasan mereka tidak ikut berperang dan bukan
tulang punggung keluarga. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah membagi
harta pusaka mereka oleh karena dua hal, yaitu nasab dan sebab.
Pembagian dengan nasab (keturunan) hanya memberikan harta kepada laki-laki
dewasa yang memanggul senjata (berperang) dan sebagai tulang punggung keluarga.
Kaum perempuan dan anak-anak diabaikan dan tidak memperoleh bagian sedikitpun
dari harta warisan. Sedangkan pembagian warisan dengan sebab melalui dua
bentuk : sebab sumpah dan sebab adopsi. Sebab sumpah misalnya seorang berkata
kepada temannya : "darahku adalah darahmu, binasaku adalah binasamu,
engkau mewarisi aku dan aku mewarisimu, engkau meminta kepadaku dan aku meminta
kepadamu" lalu temannya menyetujui ucapannya. Setelah perjanjian
sumpah itu, salah seorang dari mereka meninggal dunia, maka yang masih hidup
mewarisi harta yang telah meninggal . Sumpah itu hanya berlaku bagi para lelaki
yang telah dewasa dan mampu berperang. Sedangkan pewarisan dengan cara adopsi,
ialah apabila seorang laki-laki mengangkat anak dan dinisbahkan kepadanya bukan
kepada ayah kandungnya, maka setelah anak itu dewasa, ia berhak mewarisi harta
ayah angkatnya. Sedangkan anak kandungnya sendiri belum tentu dapat mewarisinya
kecuali setelah usia dewasa.
Pada masa awal Islam, ketika kaum muslimin Makkah berhijrah
ke kota
Madinah, tampaklah persaudaraan antara kaum Anshor dan Muhajirin sangat kuat.
Kuatnya persaudaraan itu sampai pula
pada masalah pewarisan. Apabila seorang muhajirin meninggal dan dia tidak
mempunyai kerabat, maka hartanya diwarisi oleh salah satu dari kaum Anshor
bukan dari kaum muhajirin.[1]
Ketika aqidah kaum muslimin telah kokoh, Islam menghapus
sistem kewarisan karena sebab hijrah dan persaudaraan. Islam juga menghapus
sistem kewarisan bangsa Arab yang mengabaikan perempuan dan anak-anak,
sebagaimana firman Allah:
لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
نَصِيبًا مَفْرُوضًا
"bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik
Islam menghapus
sistem kewarisan dengan perjanjian dan sumpah dengan firman-Nya :
وَأُولُو
الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu"[2]
Adapun sistem
kewarisan karena adopsi di hapus dengan firman-Nya :
وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan" [3]
"dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu"[4]
Timbul pertanyaan, mengapa bagian warisan
laki-laki lebih besar dua kali lipat bagian perempuan? Kenapa tidak mendapat
bagian yang sama dengan laki-laki? Dimana letak keadilan Islam ?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, yang
patut dicermati adalah bahwa pewarisan perempuan setengah dari laki-laki
bukanlah ketetapan mutlak atau kaidah yang pasti. Bahkan filsafat waris Islam
menyebutkan, pembedaan bagian si pewaris, laki-laki atau perempuan, bukan
ditentukan oleh jenis kelamin. Dalam pembedaan ini tersimpan hikmah-hikmah
ketuhanan yang tidak bisa dijangkau oleh mereka yang menjadikan pembedaan
tersebut sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab,
pembedaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan bertumpu pada tiga hal.
Pertama, tingkat kekerabatan antara warits dan muarrits. Semakin
dekat tingkat kekerabatan, semakin besar bagian warisannya.
Kedua, waktu kehidupan bagi keturunan si muarrits.
Keturunan si muarrist yang diperkirakan akan menjalani kehidupan lebih lama dan
menanggung hidup lebih besar, biasanya akan mendapat bagian warisan lebih besar
daripada keturunan yang menjalani kehidupan lebih sedikit.
Ketiga, beban harta yang diwajibkan syara' bagi si
warits untuk menuntaskannya dengan pihak lain yang bersangkutan dengan si
mayit. Kretirea ketiga ini adalah satu-satunya kreteria yang bisa membedakan
bagian waris laki-laki dan perempuan. meskipun demikian, pembedaan ini tidak
serta merta berbuah kedzaliman dan ketidakadilan pada perempuan bahkan - yang
benar - sebaliknya.[5]
Adapun
Anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat dari pada anak perempuan
adalah karena beberapa hal :
1.
Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya,
karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara
laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
2.
Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk
orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan
kerabatnya.
3.
Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih
besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
4. laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar,
disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan
anak-anaknya setelah berumah tangga.
5. Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah
tanggung-jawab suami (laki-laki).[6]
Disamping alasan diatas, pertimbangan lain seperti
pengendalian emosi antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Secara umum,
laki-laki lebih mampu mengendalikan emosinya dibandingkan perempuan. Ini
menunjukkan pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan
daripada pengendaliannya atas dasar emosi. Bahkan, kalau ditinjau dari
kepemihakan, sejatinya Al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan daripada
laki-laki. Laki-laki membutuhkan Istri sebagaimana perempuan juga membutuhkan
suami. Namun laki-laki berkewajiban membelanjai istrinya, sedangkan perempuan
justru dicukupi segala kebutuhannya oleh sang suami.[7]
Jika demikian, bagaimana mungkin Islam mempersamakan bagian
warisan anak laki-laki dan anak perempuan, bukankah sebaliknya, Menunjukkan
betapa adil dan sempurnanya ajaran Islam? Sebab, pembagian warisan dalam Islam
terkait dengan hak dan kewajiban, dimana laki-laki mempunyai tanggung-jawab
menafkahi keluarganya. Apabila tanggung jawab itu hilang, maka sistem pembagian
warisanpun akan berubah. Sebagai contoh, bila seorang meninggal dunia dan ahli
warisnya terdiri dari bapak dan ibu kandung, maka masing-masing (bapak dan ibu)
mendapat bagian seperenam.[8] Sesuai dengan firman Allah
dalam surat
An-Nisa' ayat 11 :
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ
إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ
"Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam".
Pandangan
feminis muslim, seperti Aminah Wadud sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa'at dan
keadilan. Kalau dianalisis, pandangan seperti ini bertentangan dengan firman
Allah surat
An-Nisa' ayat 7, dimana telah ditentukan bagian laki-laki dan perempuan,
sedikit ataupun banyak, Ini merupakan ketentuan dari Allah. Penggunaan kalimat
"nashiiban mafruudhaa" menunjukkan berlaku asas ijbaari,
artinya ketentuan warisan itu mutlak dan tidak ada hak bagi pewaris untuk
mengurangi atau menambah. Disamping itu, pembagian warisan secara fleksibel
membuka kesempatan terjadinya perselisihan, terutama dalam menilai manfa'at dan
keadilan itu sendiri. Setiap ahli waris tentu mempunyai pandangan yang berbeda,
apalagi bila dimasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Maka dari itulah
Al-Qur'an menentukan secara pasti (qoth'i) bagian tiap-tiap ahli waris.
Adapun
pandangan Munawir Sjadzali yang menilai konsep kewarisan anak perempuan
menerima separuh bagian anak laki-laki tidak memenuhi unsur keadilan dan tidak
sesuai dengan realitas zaman tidak dapat dijadikan argumen karena bersifat
kasaustik dan tanpa landasan yang kuat. Tidak ada landasan yang mengatur bagi
anak laki-laki agar menghabiskan biaya lebih banyak untuk keperluan pendidikan
atau keperluan-keperluan lain dibandingkan anak-anak perempuan. Selain itu,
Munawir juga menganggap bahwa keadilan berarti pembagian sama rata, padahal
keadilan juga mempunyai pengertian pembagian atas dasar keseimbangan. Dalam hal
kewarisan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, atau penerimaan dan
pengeluaran.
[1]. Dr. Abdul Wadud
Muhammad Syaraity, al-Washaya wa
al-Awqaaf wa al-Mawaarits fi as-
Syari'ah al-Islamiyah, (Beirut
: Daar an-Nahdloh al-Arabiyah, 1997), hal. 219-220
[2]. Surat Al-Anfaal, ayat :
75
[3]. Surat An-Nisa', ayat : 7
[4]. Surat Al-Ahzaab, ayat :
3-4
[5]. Muhammad 'Imarah,
Meluruskan Salah Faham Barat Atas Islam, terj. Tim "Sanggar
Cililitan"
(Jakarta : Sajadah_Press, 2007), hal. 247-248
[6]. Muhammad Ali as-Shaubuny,
Al-Mawarits fi Asyari'ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitab wa al-
Sunnah, (Damaskus: Daar
al-Qolam, 1993) hal. 18-19
[7]. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,
M.Phil, Kata Pengantar dalam Bangunan Wacana
Gender,
(Ponorogo : CIOS, 2008), hal. xiii
[8]. Al-Imam al-Shodiq
al-Mahdi, Al-Huquuq al-Islaamiyah wa al-insaaniyah li al-mar'ah, (Kairo:
Maktabah al-Syuruuq
al-Duwaliyah, 2006), hal. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar