Senin, 17 Oktober 2016

KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN



KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN

Sebagai konsekwensi dalam memahami Teologi Pembebasan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi dari Teologi Pembebasan itu sendiri. Stanley J. Grenz menjelaskan bahwa istilah ini merujuk kepada sebuah pencarian dari hakikat ajaran Kristen dalam Injil tentang bagaimana mengaktualisasikan ajaran tersebut dalam tindakan.[1] Definisi ini secara tidak langsung mengantarkan kepada dasar dari elemen Teologi Pembebasan. Namun bila merujuk kepada tokohnya, Gustavo Gutierrez, maka akan terjadi pengembangan wilayah teologi itu sendiri. Menurutnya Teologi Pembebasan adalah sebuah refleksi pengalaman dan arti iman berdasarkan komitmen untuk menghapuskan ketidakadilan dan untuk membangun sebuah masyarakat baru dengan aktif berpartisipasi dalam perjuangan bersama kelas-kelas sosial yang telah diekspolitasi (yang ditindas) untuk melawan para penindasnya.[2] Oleh sebab itu bisa dikatakan cakupan Teologi Pembebasan lebih kepada gerakan sosial pembebasan dari penindasan yang terstruktur. Sedangkan inti dari Teologi Pembebasan terkandung dalam pemaparan Miguel A. De La Tore yang menjelaskan bahwa inti dari Teologi Pembebasan adalah …the search for and revival of the liberative principles that place human beings at the center of religious discourse, and the struggle associated with these…[3] yang berarti tujuan utama dari Teologi Pembebasan tidak lain adalah mencari sebuah kebebasan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Teologi Pembebasan adalah sebuah gerakan yang muncul sebagai sebuah protes terhadap penindasan dengan didasari ajaran keagamaan bertujuan untuk mencari sebuah kebebasan.
Teologi Pembebasan yang dimunculkan oleh para teolognya menekankan pada nilai pembebasan yang bersumber dari dua ajaran Kristen itu sendiri. Pertama, konsep salvation[4] yang berarti pembebasan sudah dicontohkan sedari awal kemunculan ajaran agama Kristen.[5] Kedua, ajaran yang terdapat dalam al kitab yang menyebut “Yesus ada di pihak orang miskin dan menentang pemerasan oleh orang kaya” (Lukas 16: 19-31) dan ”Orang-orang Kristen pertama membebaskan diri mereka dari ketidaksamaan kesejahteraan yang ada (kis. 2: 32).[6] Oleh sebab itu Teologi Pembebasan sangat identik dengan ajaran Kristen dan kata The Oppressed menjadi kata yang paling berpengaruh dalam Teologi Pembebasan.
Dalam konsep Teologi Pembebasan pengertian yang tertindas memiliki definisi sendiri. Jika merujuk kepada awal kemunculannya di Amerika Latin, maka yang dimaksud yang tertindas tidak lain adalah rakyat miskin.[7] Namun faktanya kemuculan Teologi Pembebasan di berbagai tempat, tidak mengerucut hanya kepada usaha pembebasan rakyat miskin. David Turner menegaskan bahwa yang dimaksud dengan yang tertindas adalah catch-all term indicating “any” practice, belief, sistem, etc., that burdens, causes harm, de-humanizez, or restrict people fram the obtaining basic needs of life.[8] Artinya, Teologi Pembebasan akan muncul setiap ada unsur penindasan dalam berbagai hal. Oleh sebab itu jika Teologi Pembebasan selalu berangkat dari adanya penindasan, maka awal dari Teologi Pembebasan itu sendiri adalah pembacaan kondisi sosial yang ada di sekelilingnya.
Meskipun demikian, cara pembacaan kondisi sosial dalam Teologi Pembebasan justru menimbulkan implikasi khusus. Teologi Pembebasan secara tidak langsung tidak menjadi pembentuk sebuah masyarakat, atau susunan kehidupan, namun sebagai sebuah respon dari kondisi tersebut. Hal ini juga berakibat kepada doktrin dalam Teologi Pembebasan yang selalu terbentuk dari sudut pandang penindasan. Sehingga bentuk Teologi Pembebasan tidak akan terlepas dari keadaan sosio cultural di sekelilingnya yang mengartikan keberadaannya di setiap tempat tidak sama. Boff bersaudara juga tidak bisa mengelak dari pendapat ini, ia menyebutkan bahwa liberation theology has to begin by informing itself about the actual conditions in which the oppressed live.[9] Hal inilah salah satu yang menimbulkan kerancuan karena tidak menutup kemungkinan bentuk Teologi Pembebasan di satu tempat dengan yang lain sangat berbeda, boleh dikatakan relevansinya hanya berdasarkan pada tempat kemunculan.
Yang patut menjadi perhatian utama dalam konsep Teologi Pembebasan adalah salah satu karakternya. Yaitu menggeser agama dari yang bersifat Ortodox beralih kepada Ortopraxis. Dari sebuah ajaran ke arah perwujudan. Dan adanya Teologi Pembebasan adalah sebuah praxis yang berusaha untuk berada di pihak rakyat miskin sehingga melihat sebuah dunia dari sudut mata kemiskinan.[10] Oleh sebab itu ajaran agama seolah menjadi the second religion sedangkan praxis menjadi the first religion


[1] Stanley j. grenz, Roger E. olson, 20th century theology: god & the world in a transitional age, (USA: InterVarsity Press, 1992) Hal. 211
[2] The theology of liberation attempts to reflect on the experience and meaning of the faith based on the commitment to abolish injustice and to build a new society; this theology must be verified by the practice of that commitment, by active, effective participation in the struggle which the exploited social classes have undertaken against their oppressors. Liberation from every from of exploitation, the possibility of a more human and dignified life, the creation of a new humankind- all pass through this struggle Dikutip oleh Hamid Dabashi dalam Islamic Liberation Theology (USA: Routledge, 2008) hal. 254
[3] Opcit, Miguel A. De La Torre, The Hope of Liberation in World Religions, hal. 93
[4] Paradigma pembebasan adalah penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya adalah bahwa manusia diciptakan dengan citra Allah yang kudus, artinya bebas dari segala bentuk dosa, namun karena kesombongan dan keserakahannya ia kehilangan kebebasannya, terkungkung dalam penjara dosa dan kegelapan. Karena kemurahan Alah maka diutuslah Yesus dari Nazareth yang berasal ari Ruh Allah yang bekerja sama dengan Daging Maria yang tidak ternoda Dosa mewartakan kebenaran dan keadilan bagi semua orang, ia tidak disukai oleh para penguasa politik dan adapt agama. Ia pun dihukum mati, namun dibangkitkan oleh Allah. Oleh karena itu, ia disebut kristus yang diurapi untuk menjadi panutan dan jembatan putihnya kebebasan anak-anak bangsa pilihan Allah.
[5] J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology (USA: University Press of America, 1994) hal. 4
[6] W.R.F. Browning, Kamus Al Kitab, diterj Dr. Liem Khiem Yang et. Al (Jakarta: PT BPK Gunung Agung Mulia, 2008) hal. 444
[7] Marian Hillar, dalam Liberation Theology, Anthology of essays menyebut salah satu definisi bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu kritik akan aktivitas gereja dari sudut pandang kaum miskin.
[8] Opcit, J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology, hal. 2
[9] Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology (Chicago: The University of Chicago Press, 1991) hal. 241
[10] J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology. hal. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar