IJTIHAD PARA ULAMA DALAM HUKUM MAWARIS
Sebelum
membahas ijtihad para ulama dalam permasalahan hukum kewarisan, terlebih dahulu
kita pahami beberapa hal sebagai berikut :
-Semua
ulama sepakat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat "li adzdzakari mitslu
hazhah al-untsayain" ialah bagian seorang anak laki-laki sama dengan
dua bagian anak perempuan.
-semua
ulama sepakat, ahli waris dari golongan laki-laki secara terperinci ada 15
orang, yaitu : anak laki-laki, cucu laki-laki (ke bawah), bapak, kakek dari
bapak (ke atas), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki se-ayah, sudara
laki-laki se-ibu, anak saudara laki-laki sekandung (ke bawah), anak saudara
laki-laki se-ayah, paman (saudara bapak sekandung), paman (sudara bapak
se-ayah), anak paman sekandung, anak paman se-ayah, suami dan orang yang
memerdekakan budak.
-semua
ulama sepakat, ahli waris dari golongan perempuan secara terperinci ada 10
orang, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan (ke bawah), ibu, nenek (ibunya
ibu), nenek (ibunya bapak), saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
se-ayah, saudara perempuan se-ibu, istri dan orang perempuan yang memerdekakan
budak.[1]
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa ulama
memahami dan mempraktekkan ilmu faraidh dari zaman Nabi SAW sampai sekarang
sesuai dengan ayat-ayat mawarits yang tertulis dalam surat an-nisa' ayat 11, 12, 176 dan beberapa
ayat lain yang menjadi pelengkap disamping beberapa hadits yang terkait dengan
bab mawarits.
Adapun persoalan yang muncul setelah wafatnya Rasulullah
SAW adalah persoalan-persoalan yang jarang terjadi dalam pembagian warisan dan
bukan dalam masalah-masalah yang prinsip, diantaranya ialah masalah 'AUL
(pembulatan ke atas). Masalah ini muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika
seorang perempuan wafat dan meninggalkan ahli waris suami dan dua saudara
perempuan. Kalau mengacu pada ayat Al-Qur'an, maka pembagian harta atas suami
dan dua saudara perempuan ini akan menemui jalan buntu, karena suami memperoleh
seperdua dan saudara perempuan dua pertiga. Jika pembagian dimulai dari suami,
maka dua saudara perempuan akan berkurang haknya. Demikian sebaliknya, jika
dimulai dari dua saudara perempuan, maka suami berkurang haknya. Kemudian Umar
r.a. berijtihad dan memutuskan 'AUL dengan mengacu kepada dalil-dalil
lain.[2]
Persoalan
lain yang tidak terdapat didalam Al-Qur'an dan hadit-hadits Nabi adalah kasus
pembagian warisan ketika ahli waris terdiri dari kakek dan 2 saudara atau lebih
(ikhwah). Masalah ini menimbulkan dua perbedaan pendapat dikalangan para
Mujtahid:
-
pendapat pertama, bahwa
ikhwah baik sekandung maupun se-bapak atau se-ibu, laki-laki maupun perempuan
terhalang (mahjub) oleh kakek, sebab kakek mempunyai kedudukan sama dengan
bapak. Pendapat ini disandarkan kepada madzhab Abu Hanifah, ucapan sebagian
Sahabat seperti, Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan sebagainya.
-
pendapat kedua, para
saudara laki-laki (ikhwah) dan perempuan (akhwat) baik sekandung maupun sebapak
tetap menerima warisan bersama kakek. Kakek bukan termasuk penghalang (hajib)
warisan bagi saudara disetiap keadaan, karena kakek dan saudara mempunyai
kedudukan yang sederajat. Kakek asal dari bapak dan saudara cabang dari bapak.
Disamping itu, saudara lebih memerlukan harta daripada kakek yang sudah renta
dan mendekati kematian. Apabila kakek meninggal harta akan berpindah kepada
ahli waris yang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam
Maliki, Abu Yusuf, Muhammad AlHasan, dan pendapat jumhur Sahabat seperti Zaid
bin Tsabit, Ali, Ibnu Mas'ud, As-Sya'by dan Ahlu al-Madinah.[3]
Contoh lain adalah masalah RADD, yaitu apabila bagian
Ashabul Furudh lebih kecil daripada harta warisan, misalnya ahli waris terdiri
dari seorang anak perempuan dan seorang ibu, tidak ada ahli waris selain
mereka. Dalam hal ini anak perempuan memperoleh seperdua dan ibu seperenam.
Maka sisa harta diberikan kepada mereka sesuai dengan pembagiannya.[4] Demikianlah, ijtihad para
Sahabat dan ulama-ulama salaf terjadi pada masalah-masalah yang belum
dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Ijtihad-ijtihad itupun tetap mengacu pada
dalil-dalil syar'i yang terkait, baik dari ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits
Nabi SAW, Qiyas dan sebagainya. Ijtihad para ulama salaf dilakukan atas dasar
keikhlasan karena Allah untuk menghasilkan sebuah disiplin ilmu bagi
orang-orang setelahnya.
Adapun usaha para feminis muslim, menggunakan alasan
ijtihad untuk mendekonstruksi ayat-ayat
mawarits dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya adalah usaha yang sia-sia dan
tidak pada tempatnya. Karena ijtihad mempunyai ruang lingkup dan
batasan-batasan yang jelas. Ijtihad menurut ulama ushul, ialah mengerahkan
segala kemampuan untuk menghasilkan hukum syar'i menggunakan dalil-dalil
tafshili (terperinci) yang diambil dari dalil-dalil syar'i
Apabila ada kasus dengan menggunakan dalil shorih sebagai
petunjuk hukum syar'i yang jelas kemunculannya dan indikasinya (qoth'i al wurud
wa al-dilalah) maka tidak ada ruang untuk ijtihad di dalamnya, tapi wajib
mengamalkan sesuai petunjuk nash. Sebab
selama nash itu jelas kemunculannya dari Allah dan Rasul-Nya, maka itu bukan
medan ijtihad, dan selama nash itu memberi indikasi makna dan pengertian hukum yang jelas, maka itu
juga bukan ruang ijtihad.
Atas dasar ini,
ayat-ayat ahkam yang mufassaroh yang memberi petunjuk kepada maksud yang jelas dan tidak mengandung ta'wil, tapi
memberi indikasi kewajiban untuk mengamalkanya, maka dalam kasus-kasus sepert
ini tidak ada ruang berijtihad dalam penerapannya.[5] Ayat-ayat mawarits bersifat qoth'i al-wurud wa
al-dilaalah, artinya nash dan indikasi hukumnya datang dari Allah sehingga
penerapan hukumnya harus sesui dengan indikasi hukum yang telah ditentukan.
Maka jelaslah,
pandangan Nasr Hamid yang sejalan dengan Shahrur tentang teori batas (limit)
dalam penerapan hukum waris bukanlah sebuah ijtihad, karena tidak memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan sebagaimana diatas, pembagian warisan
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an sangat jelas(qoth'i), maka penerapannya
bukan masuk dalam wilayah ijtihad. Upaya yang dilakukan Nasr Hamid, lebih
tepatnya disebut dengan dekonstruksi terhadap hukum-hukum Islam.
[1]. Shalih bin Fauzy bin
Abdullah al-Fauzy, At-Tahqiiqoot al-Maradhiyyah fii al-Mabaahits al-
Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al-Imam Muhammad
ibnu Sa'ud, 1408 H), hal. 65-68
[2]. Ibid, hal. 162
[3]. Ibid hal. 97-98
[4]. Dr. Abdul Wadud Muhammad
As-Syaraity, Op. Cit., hal. 357
[5]. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,
(Kairo: Jami'ah al-Qohiroh, 1978), hal. 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar