Senin, 17 Oktober 2016

IJTIHAD PARA ULAMA DALAM HUKUM MAWARIS



IJTIHAD PARA ULAMA DALAM HUKUM MAWARIS
Sebelum membahas ijtihad para ulama dalam permasalahan hukum kewarisan, terlebih dahulu kita pahami beberapa hal sebagai berikut :
-Semua ulama sepakat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat "li adzdzakari mitslu hazhah al-untsayain" ialah bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.
-semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan laki-laki secara terperinci ada 15 orang, yaitu : anak laki-laki, cucu laki-laki (ke bawah), bapak, kakek dari bapak (ke atas), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki se-ayah, sudara laki-laki se-ibu, anak saudara laki-laki sekandung (ke bawah), anak saudara laki-laki se-ayah, paman (saudara bapak sekandung), paman (sudara bapak se-ayah), anak paman sekandung, anak paman se-ayah, suami dan orang yang memerdekakan budak.
-semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan perempuan secara terperinci ada 10 orang, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan (ke bawah), ibu, nenek (ibunya ibu), nenek (ibunya bapak), saudara perempuan sekandung, saudara perempuan se-ayah, saudara perempuan se-ibu, istri dan orang perempuan yang memerdekakan budak.[1]
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa ulama memahami dan mempraktekkan ilmu faraidh dari zaman Nabi SAW sampai sekarang sesuai dengan ayat-ayat mawarits yang tertulis dalam surat an-nisa' ayat 11, 12, 176 dan beberapa ayat lain yang menjadi pelengkap disamping beberapa hadits yang terkait dengan bab mawarits.
Adapun persoalan yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan-persoalan yang jarang terjadi dalam pembagian warisan dan bukan dalam masalah-masalah yang prinsip, diantaranya ialah masalah 'AUL (pembulatan ke atas). Masalah ini muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika seorang perempuan wafat dan meninggalkan ahli waris suami dan dua saudara perempuan. Kalau mengacu pada ayat Al-Qur'an, maka pembagian harta atas suami dan dua saudara perempuan ini akan menemui jalan buntu, karena suami memperoleh seperdua dan saudara perempuan dua pertiga. Jika pembagian dimulai dari suami, maka dua saudara perempuan akan berkurang haknya. Demikian sebaliknya, jika dimulai dari dua saudara perempuan, maka suami berkurang haknya. Kemudian Umar r.a. berijtihad dan memutuskan 'AUL dengan mengacu kepada dalil-dalil lain.[2]
Persoalan lain yang tidak terdapat didalam Al-Qur'an dan hadit-hadits Nabi adalah kasus pembagian warisan ketika ahli waris terdiri dari kakek dan 2 saudara atau lebih (ikhwah). Masalah ini menimbulkan dua perbedaan pendapat dikalangan para Mujtahid:
-          pendapat pertama, bahwa ikhwah baik sekandung maupun se-bapak atau se-ibu, laki-laki maupun perempuan terhalang (mahjub) oleh kakek, sebab kakek mempunyai kedudukan sama dengan bapak. Pendapat ini disandarkan kepada madzhab Abu Hanifah, ucapan sebagian Sahabat seperti, Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan sebagainya.
-          pendapat kedua, para saudara laki-laki (ikhwah) dan perempuan (akhwat) baik sekandung maupun sebapak tetap menerima warisan bersama kakek. Kakek bukan termasuk penghalang (hajib) warisan bagi saudara disetiap keadaan, karena kakek dan saudara mempunyai kedudukan yang sederajat. Kakek asal dari bapak dan saudara cabang dari bapak. Disamping itu, saudara lebih memerlukan harta daripada kakek yang sudah renta dan mendekati kematian. Apabila kakek meninggal harta akan berpindah kepada ahli waris yang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Maliki, Abu Yusuf, Muhammad AlHasan, dan pendapat jumhur Sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Ali, Ibnu Mas'ud, As-Sya'by dan Ahlu al-Madinah.[3]
Contoh lain adalah masalah RADD, yaitu apabila bagian Ashabul Furudh lebih kecil daripada harta warisan, misalnya ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang ibu, tidak ada ahli waris selain mereka. Dalam hal ini anak perempuan memperoleh seperdua dan ibu seperenam. Maka sisa harta diberikan kepada mereka sesuai dengan pembagiannya.[4] Demikianlah, ijtihad para Sahabat dan ulama-ulama salaf terjadi pada masalah-masalah yang belum dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Ijtihad-ijtihad itupun tetap mengacu pada dalil-dalil syar'i yang terkait, baik dari ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi SAW, Qiyas dan sebagainya. Ijtihad para ulama salaf dilakukan atas dasar keikhlasan karena Allah untuk menghasilkan sebuah disiplin ilmu bagi orang-orang setelahnya.
Adapun usaha para feminis muslim, menggunakan alasan ijtihad untuk  mendekonstruksi ayat-ayat mawarits dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya adalah usaha yang sia-sia dan tidak pada tempatnya. Karena ijtihad mempunyai ruang lingkup dan batasan-batasan yang jelas. Ijtihad menurut ulama ushul, ialah mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan hukum syar'i menggunakan dalil-dalil tafshili (terperinci) yang diambil dari dalil-dalil syar'i
Apabila ada kasus dengan menggunakan dalil shorih sebagai petunjuk hukum syar'i yang jelas kemunculannya dan indikasinya (qoth'i al wurud wa al-dilalah) maka tidak ada ruang untuk ijtihad di dalamnya, tapi wajib mengamalkan sesuai petunjuk nash. Sebab selama nash itu jelas kemunculannya dari Allah dan Rasul-Nya, maka itu bukan medan ijtihad, dan selama nash itu memberi indikasi makna  dan pengertian hukum yang jelas, maka itu juga bukan ruang ijtihad.
Atas dasar ini, ayat-ayat ahkam yang mufassaroh yang memberi petunjuk kepada maksud  yang jelas dan tidak mengandung ta'wil, tapi memberi indikasi kewajiban untuk mengamalkanya, maka dalam kasus-kasus sepert ini tidak ada ruang berijtihad dalam penerapannya.[5] Ayat-ayat mawarits bersifat qoth'i al-wurud wa al-dilaalah, artinya nash dan indikasi hukumnya datang dari Allah sehingga penerapan hukumnya harus sesui dengan indikasi hukum yang telah ditentukan.
Maka jelaslah, pandangan Nasr Hamid yang sejalan dengan Shahrur tentang teori batas (limit) dalam penerapan hukum waris bukanlah sebuah ijtihad, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sebagaimana diatas, pembagian warisan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an sangat jelas(qoth'i), maka penerapannya bukan masuk dalam wilayah ijtihad. Upaya yang dilakukan Nasr Hamid, lebih tepatnya disebut dengan dekonstruksi terhadap hukum-hukum Islam.




[1]. Shalih bin Fauzy bin Abdullah al-Fauzy, At-Tahqiiqoot al-Maradhiyyah fii al-Mabaahits al-
     Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al-Imam Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H), hal. 65-68
[2]. Ibid, hal. 162
[3]. Ibid hal. 97-98
[4]. Dr. Abdul Wadud Muhammad As-Syaraity, Op. Cit., hal. 357  
[5]. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Jami'ah al-Qohiroh, 1978), hal. 216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar