Senin, 17 Oktober 2016

GERAKAN FEMINISME DI KALANGAN MUSLIM



GERAKAN FEMINISME DI KALANGAN MUSLIM
Gerakan feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.[1]
Sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.
Kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya patriarkis.[2] Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny[3] atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).
Disamping itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian. Di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan a n-Nasâ’i).



[1] Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
[2] Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta, UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005), hal. 17
[3] Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran Suci:Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Yogyakarta, Pilar Relegia, 2005), hal. 196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar