GERAKAN FEMINISME DI KALANGAN MUSLIM
Gerakan feminis
radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama
Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi
dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan
perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female
Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku
Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh
beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah
Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.[1]
Sedikitnya ada
tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini.
Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua,
kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan
memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman
kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.
Kalau
tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis
radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi para
ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat
Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang
oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi
itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya
patriarkis.[2]
Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti kita
ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny[3] atau
bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak
di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan
menggunakan kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).
Disamping itu,
bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda
keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian. Di muka bumi, baik laki-laki
maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis
kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan
hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula
sebaliknya. Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran
tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan
dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an
(al-Ahzab: 35).
Nabi Muhammad SAW juga
mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’
syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan a n-Nasâ’i).
[1]
Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
[2]
Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta, UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005),
hal. 17
[3]
Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran Suci:Kritik atas Hadis-hadis Shahih,
(Yogyakarta, Pilar Relegia, 2005), hal. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar