MASALAH
KEMISKINAN DAN PENANGGULANGGANNYA DALAM
PEMBANGUNAN
(PERSPEKTIF ISLAM)
By: Yuwan Ebit Saputro
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk masalah yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara-negara yang
sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan
masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat.
Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses
pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan. Istilah kemiskinan sebenarnya
bukan merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang
dimaksud adalah kemiskinan ditinjau dari segi materi (ekonomi). Dari kegagalan
dalam mengurangi kemiskinan, pengangguran,dan ketimpangan pendapatan secara
berarti, maka para ahli kemudian bergeser dari penciptaan lapangan kerja yang
memadai, penghapusan kemiskinan, dan akhirnya penyediaan barang-barang dan jasa
kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk.[1]
Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang
sifatnya kompleks dan multi dimensional, persoalan kemiskinan bukan hanya
berdimensi dalam hal ekonomi namun juga sosial, budaya, politik bahkan juga
ediologi. Secara umum kondisi kemiskinan tersebut ditandai oleh kerentanan, ketidakberdayaan,
keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan.[2] Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa
program- program yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kemiskinan masih
belum maksimal.[3]
Definisi
tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan
politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun
non makan. Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk masalah yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara-negara yang
sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan
masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat.
Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat
proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan.[4]
1.2. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah
1) Apa yang dikmaksud dengan kemiskinan?
2) Bagaimana indikator penyebab kemiskinan
dalam perspektive ekonomi Islam dan Konvensional?
3) Bagaimana cara untuk menanggulangi masalah
kemiskinan?
1.3. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari dalam penulisan makalah ini adalah
1) Untuk mengetahui lebih dalam pengertian
kemiskinan?
2) Untuk memahami lebih dalam indikator
penyebab kemiskinan dalam perspektive ekonomi Islam dan Konvensional?
3) Untuk memahami lebih dalam cara
menanggulangi masalah kemiskinan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Kemiskinan.
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan,
kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang
memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa
kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu
masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan
sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan
sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi
(kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang
kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.[5]
Kemiskinan adalah masalah yang tidak ada
habisnya dari generasi ke generasi. Apalagi pascakrisis moneter dan ekonomi
yang meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia secara cukup drastis.
Tulisan ini mencoba membahas masalah kemiskinan secara multidimensi, yang
merupakan cara pandang yang digunakan dalam pendekatan pembangunan sosial,
yaitu melihat permasalahan dari dimensi mikro, mezzo maupun makro. Selain itu kemiskinan
juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang
biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum,
hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga
berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu
mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai
warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan.[6]
Masih tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, Diperkirakan
ada yang kurang tepat dalam mamahami dan merumuskan serta implementasi
kebijakan untuk memberantas kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin.
Selama ini kemiskinan lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena
dimensi inilah yang paling mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Padahal
kemiskinan berkaitan juga dengan berbagai dimensi lainnya, antara lain dimensi
sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan,
pendidikan, agama, dan budi pekerti. Menelaah kemiskinan secara
multidimensional sangat diperlukan untuk memahami secara komprehensip sebagai
pertimbangan perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.[7]
Naskah
ini mencoba menelaah kemiskinan dari segi normatif tekstual, baik
menurut konsep agama (Islam) maupun
teori yang dikembangkan para pakar, dan dari segi empiris kontektual,
yaitu mencoba memahami hasil-hali penelitian yang dilakukan oleh berbagai
pihak.
2.2. Definisi
Kemiskinan Menurut Sumbernya.
Diantara pengertian kemiskinan
berdasarkan nara sumber dibagi menjadi beberapa aspek diantaranya adalah:
a) Al-Qur’an.
Konsep kemiskinan menurut al-qu’ran, mengatakan bahwa Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan awalan ke dan
akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai persamaan arti dengan
kefakiran yang berasal dari asal kata
fakir dengan awalan ke dan akhiran an.
Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin
dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Al-Qur’an
memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin,
al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan
dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan
kata miskin disebut sebanyak 25 kali,[8]
yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang bermacam-macam.
b)
Badan Pusat Statistik (BPS).
Adapun
pengertian kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik, meliputi:
Kemiskinan Absolut (absolute
poverty); standar yang tetap untuk mengukur batasan minimal kemiskinan pada
berbagai tempat dan berbagai keadaan. Ukuran standar minimal tersebut biasanya
mencakup sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dalam kualitas
minimal untuk hidup secara standar.
Kemiskinan relatif (relative
poverty); kemiskinan yang dikaitkan dengan masyarakat dimana warga miskin
itu tinggal yg dibandingkan dengan daerah lain/umum.
Kemiskinan struktural; adalah
kemiskinan yang penyebabnya adalah struktur yang merugikan, baik struktur
negara, pemerintahan, maupun sistem kemasyarakatan. Sebab diskriminasi ras,
agama dll.
Kemiskinan kultural (the
culture of poverty); Kemiskinan kultural atau budaya miskinadalah
kemiskinan yang terjadi akibat dari berlakunya sistem kapitalisme dan upah
buruh.
c)
Para Tokoh Ilmuan.
Terdapat beberapa pendapat para tokoh
ilmuan mengenai kemiskinan, terdapat dua golongan yang pertama;
fakir dan iskin para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa dua
golongan tersebut pada hakikatnya adalah sama. Demikian pendapat Abu Yusuf,
pengikut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik.[9] Berbeda
dengan pendapat sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan
tetapi satu macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para
ahli tafsir dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua
kata tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut
seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni masing-masing
mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila salah satu
disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata lain yang
sejajar.[10]
Raqib al-Isfahani, ahli fikih dan ahli tafsir, menyebutkan empat
macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam arti orang yang memerlukan
kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman, tempat tinggal, dan
keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya dari meminta-minta.
Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk golongan fakir yang paling
buruk karena dapat mendorong orang itu kepada kekafiran. Keempat, fakir dalam
arti orang yang selalu merasa butuh kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan,
sehingga orang tersebut tidak merasa sombong.[11]
Pengertian fakir selanjutnya dibahas dalam ilmu fikih. Sayid Sabiq,
ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang
yang tidak memiliki harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan
yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat
dipahami dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal :
”Diambil dari harta orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.”
Dari hadis ini ulama fikih memahami bahwa orang-orang yang memiliki harta
sebanyak satu nisab zakat telah dinamakan kaya, sedangkan yang memiliki harta kurang
dari satu nisab zakat dinamakan fakir.
Menurut Imam Abu Hanifah, fakir adalah orang yang mempunyai harta
kurang dari satu nisab atau mempunyai harta satu nisab atau lebih tetapi habis
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun Imam Malik, mengatakan
bahwa fakir adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun. Imam asy-Syafi’i
mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau
mempunyai harta dan usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan hidupnya dan
tidak ada orang yang berkewajiban menanggung biaya hidupnya. Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau
mempunyai harta tetapi kurang dari setengah keperluannya.[12]
2.3. Indikator
Penyebab Kemiskinan.
Menurut (Emil Salim: 1928) yang dimaksud dengan
kemiskinan adalah suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Atau dengan istilah lain kemiskinan itu
merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami
keresahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya. Kemiskinan
lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada dibawah
garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain.
(Emil Salim, 1982). Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa,
sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi
fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Adapun indikator-indikator kemiskinan dalam
perspektive islam antara lain:[13]
a)
Pendidikan yang terlampau rendah.
b)
Malas bekerja.
c)
Keterbatasan sumber alam.
d)
Terbatasnya lapangan kerja.
e)
Keterbatasan modal.
f)
Beban keluarga.
Adapun
indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat
Statistika, antara lain sebagi berikut:
1.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2.
Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3.
Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan
keluarga).
4.
Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
5.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6.
Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.Tidak
adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8.
Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.
Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita
korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Meskipun
fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya
berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar
ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks
ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan
kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi. Pengukuran
tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan.[14]
Agar
seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan
cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan,
seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa
lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan
terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan.[15]
Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan
pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan, membagi faktor-faktor determinan
kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human
capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status
pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan
faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh
pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah
jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan
jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan anggota keluarga
maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal
dengan pendapatan yang lebih tinggi.
Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai
perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian.
Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya
lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat
menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan
kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama
untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak
memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan
tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah
status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan
memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga. World Bank (2002)
mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah
tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan
utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat
kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat
untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu
memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan.
2.4. Alat Ukur Kemiskinan.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengukur
kemiskinan diantaranya adalah:
a)
Headcount ratio.
Yang dimaksud dengan Headcount ratio adalah Pengukuran sederhana untuk
mengidentifikasi berapa jumlah dan persentase rumah tangga yang dikategorikan
miskin. Selain itu, Indeks ini hanya memenuhi prinsip anonimitas yaitu tidak
bergantung pada siapa yang miskin.[16]
b)
Poverty gap dan income gap ratio.
Adapun fungsi dari metode Poverty gap dan Income gap
ratio adalah
1)
Mengukur jarak antara rata-rata pendapatan kelompok
miskin secara agregat dengan garis kemiskinan (defisit pendapatan)
2)
Selisih antara garis kemiskinan dengan pendapatan
rumah tangga miskin.
3)
Poverty gapdisebut sebagai ukuran kedalaman kemiskinan
4)
Rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas garis
kemiskinan dianggap memiliki nilai indeks poverty gap sama dengan nol.
Adapun rumus yang
digunakan dalam metode ini
PG = I.H,
Dimana:
I = adalah income gap ratio
yaitu perbedaan antara garis kemiskinan dan rata-rata pendapatan (atau
konsumsi) dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
H = adalah incidence of poverty (poverty headcount
ratio) yaitu proporsi individu yang hidup di bawah garis kemiskinan.[17]
c)
Sen index.
Adapun fungsi dari metode Sen
Index adalah
a)
Indeks yang menggabungkan antara indeks headcount,
indeks income gap dan koefisien Gini untuk orang miskin (atau rumah tangga
miskin)
b)
Penggunaan indeks ini lebih komprehensif bila
dibandingkan indeks-indeks sebelumnya. Komprehensivitas indeks ini
menjadikannya sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur
tingkat keparahan kemiskinan.
c)
Jika tidak ada seorangpun yang hidup dengan pendapatan
di bawah garis kemiskinan, maka nilai indeks Sen ini akan sama dengan nol.[18]
d)
FGT (Foster, Greer, and Thorbecke) index.
Adapun fungsi Indeks FGT
digunakan untuk mengukur keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran
pendapatan/pengeluaran di antara rumah tangga miskin.[19]
Selain itu untuk
mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks
Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk
miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada
tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka
kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan
kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang
diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara
masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau
koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien Gini
atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak
guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada
tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarkat miskin.[20]
Aksioma-aksioma atau prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan,
yakni: anonimitas, independensi,
maksudnya ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang
miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak
atau sedikit. Prinsip monotenisitas, yakni bahwa jika kita memberi sejumlah uang
kepada seseorang yang berada dibawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua
pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih
tinggi dari pada sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan
bahwa dengan semua hal lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari
orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih
miskin.
Dua indeks kemiskinan yang sangat sering digunakan karena memenuhi
empat kriteria tersebut adalah Indeks Send dan Indeks Foster-Greer-Thorbecke
(FGT) (P alpa). UNDP selain mengukur kemiskinan dengan parameter pendapatan
pada tahun 1997 memperkenalkan apa yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
(Human Poverty Indeks-HPI) atau biasa juga disebut Indeks Pembangunan
Manuisia (Human Development Indeks-HDI), yakni bahwa kemiskinan harus
diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (theree key deprivations), yaitu
kehidupan, pendidikan dan ketetapan ekonomi.[21]
2.6. Strategi
Pengurangan Kemiskinan.
Oleh karena anjuran agama Islam yang menganjurkan umatnya untuk
mengindari kefakiran, namun tetap mengingat Tuhan dan tidak terjerumus pada
kecintaan atau fanatisme kepada dunia, maka manusia harus bisa mengentaskan
kemiskinan. Dalam rangka mengentaskan
kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang
secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok. Diantaranya:
1)
Kewajiban
setiap individu
2)
Kewajiban
orang lain/sesama manusia
3)
Kewajiban
pemerintah
Yang pertama, tanggung jawab individu. Kerja dan
usaha merupakan cara
pertama dan utama
yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Quran, karena hal
inilah yang sejalan dengan
naluri manusia, sekaligus
juga merupakan kehormatan dan
harga dirinya. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa rajin dan semangat
untuk bekerja menafkahi dirinya beserta semua yang menjadi tanggungannya.[22]
Yang kedua, tanggung jawab orang lain atau sesama manusia.
Sebelum menguraikan cara kedua ini,
perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa
menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada
sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi,
tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad
lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara orang
sering kali tidak
merasa bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab sosial, walaupun ia telah
memiliki kelebihan harta kekayaan.
Karena itu diperlukan
adanya penetapan hak dan
kewajiban agar tanggung
jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal
ini, Al-Quran walaupun
menganjurkan sumbangan
sukarela dan menekankan
keinsafan pribadi, namun
dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik
melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok
yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui sedekah wajib
yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun
membutuhkan bantuan.[23]
Yang ketiga adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah
juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan
warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting
di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya
yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber
tersebut di atas belum mencukupi.[24]
2.7. Langkah-langkah
Mengatasi Kemiskinan
a)
Dalam Ekonomi Konvensional.
Pendekatan pembangunan yang
berpusat pada rakyat sangat relevan sebagai paradigma kebijakan desentralisasi
dalam penanganan masalah sosial termasuk masalah kemiskinan. Pendekatan ini
menyadari tentang betapa pentingnya kapasitas
masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui
kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya materi dan
nonmaterial.[25]
Korten menyatakan bahwa ada
tiga dasar untuk melakukan perubahanperubahan struktural dan normatif dalam
pembangunan yang berpusat pada rakyat:
1. Memusatkan pemikiran dan
tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong
dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka
sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat
individual, keluarga, dan komunitas.
2. Mengembangkan
struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi yang berfungsi menurut
kaidah-kaidah sistem organisasi.
3. Mengembangkan sistem-sistem
produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah
pemilikan dan pengendalian lokal.
Kendati demikian, model
pembangunan yang berpusat kepada rakyat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment).
Model ini memandang inisiatif-kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan
yang paling utama dan memandang kesejahteraan material-spiritual rakyat sebagai
tujuan yang harus dicapai oleh proses pembangunan. Kajian strategis
pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi
penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Reformulasi ini memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk
membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan
merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan
dikondisikan sedemikian rupa sehingga esensi pemberdayaan tidak terdistorsi.[26]
Kondisi tersebut mencerminkan
perlu adanya pergeseran peran pemerintah yang bersifat mendesak dari peran
sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator,
koordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung, dan peran-peran lainnya
yang lebih mengarah pada pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi
lokal, organisasi sosial, LSM dan kelompok masyarakat lainnya lebih dipacu
sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok
rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam posisi sedemikian, permasalahan sosial ditangani
oleh masyarakat atas fasilitasi pemerintah.[27]
Berkenaan dengan
strategi pemberdayaan, Mark G. Hanna dan Buddy Robinson mengemukan bahwa ada
tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan sosial, yaitu tradisional,
direct action (aksi langsung), dan transformasi. 1) Strategi
tradisional, menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara
bebas dalam berbagai keadaan, 2) Strategi direct-action, membutuhkan dominasi
kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut
perubahan yang mungkin terjadi, dan 3) Strategi transformatif, menunjukkan
bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang dibutuhkan sebelum
pengiden-tifikasian kepentingan diri sendiri.
Setiap strategi
terdiri atas teori, konsep, dan keahlian yang melekat erat pada masing-masing
strategi yang kemudian dirinci ke dalam delapan teori khusus, sepuluh konsep,
dan dua belas keahlian. Semua tanda yang ada di dalam matriks itu memberikan
informasi yang cukup untuk menjamin terciptanya hubungan yang harmonis antara
satu dan lainnya. Penggunaan matriks tersebut akan memberikan klarifikasi
terhadap bagianbagian penting dalam praktek perubahan sosial bagi orang-orang
yang terlibat. Pada tahap awal, para praktisi akan bekerja dengan baik melalui
sosialisasi diri mereka terhadap tiga komponen dasar teori, konsep, dan
keahlian sebagaimana usaha untuk memahami kategori ketiganya. Berdasarkan hal ini, perbandingan dari ketiga
perbedaan metode perubahan sosial tersebut dapat dibuat.[28]
b)
Dalam perspektive ekonomi Islam.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan
untuk mengatasi kemiskinan diantaranya adalah :
a) Pemberdayaan Masyarakat.
Permberdayaan di bidang ekonomi
merupakan upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi,
dan membangkitkan kesadaran akan potensi ekonomi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang
memungkinkan suatu masyarakat bertahan. Dalam pengertian yang dinamis, yaitu
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat menjadi sumber
dari apa yang dikenal sebagai Ketahanan Nasional. Sedangkan untuk membahas ekonomi umat, maka
perlu diperjelas dahulu tentang pengertian ekonomi dan umat. Definisi yang
paling populer tentang ekonomi, yaitu bahwa ekonomi adalah segala aktivitas
yang berkaitan dengan produksi dan distribusi di antara orang-orang.[29] Di sini, titik tekan definisi adalah pada
kegiatan produksi dan distribusi baik dalam bentuk barang ataupun jasa.
Memberdayakan
ekonomi umat berarti mengembangkan sistem ekonomi dari umat oleh umat sendiri
dan untuk kepentingan umat. Berarti pula meningkatkan kemampuan rakyat secara
menyeluruh dengan cara mengembangkan dan mendinamiskan potensinya. Upaya
pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi umat akan meningkatkan
produktivitas umat. Dengan demikian, umat atau rakyat dengan lingkungannya
mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah yang
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Rakyat miskin atau yang belum
termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya,
tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.[30]
b) Zakat.
Menggalakan program zakat. Di Indonesia islam adalah
agama mayoritas. Dan dalam islam zakat diperkenalkan sebagai media untuk
menumbuhkan pemerataan kesejahteraan diantara masyarakat dan mengurangi
kesenjangan kaya-miskin. Potensi zakat di Indonesia, ditenggarai sebesar 1
triliun rupiah per tahunnya dan jika bisa dikelola dengan baik akan menjadi
potensi besar bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat
c) Peran Pemerintah.
Adapun peranan pemerintah
Indonesia melalui, BAPPENAS merancang program penangulangan
kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga
keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai,
pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang
bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth
sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari
seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.[31]
Berdasarkan kebijakan tersebut,
pemerintah pusat menjalankan program-programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah
persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan
kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti
PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara
gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang
memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan
obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan
dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha
melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah,
penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada
masyarakat miskin; (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan
memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7)
mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8)menyediakan sarana
listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.[32]
KESIMPULAN.
Masalah
dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap
kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam
artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka
kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan
hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa
penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah,
nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Berdasarkan
hal diatas, maka penanganan kemiskinan sebaiknya tidak dilepaskan dari program
pembangunan secara keseluruhan. Karena yang menjadi akar masalah itu bukanlah
kemiskinanan itu sendiri, tetapi kemiskinan merupakan gejala dari adanya
kesenjangan pembangunan di berbagai bidang yang terjadi antara kota-kota besar
dan daerah asal migrant tersebut.
[1] Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Penanggulangan
Kemiskinan di Indonesia, Buku Putih. Thn 2002.
[2] Multifiah, Telaah Kritis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam
Tinjauan Konstitusi. Journal Of Indonesian Applied Economics. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Universitas Brawijaya. Vol 5 No. 1 Mei 2011. 1-27
[4] Suharto Edi. Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan.
Dompet Dhuafa, Sekolah Tinggi Kesejahteraaan Sosial (STKS). Jakarta 8 Januari
2008.
[5] Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 18.
[6] Ibid.
[7] Karjadi, D. Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan
Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
[8] Ayat-ayat
tentang fakir terdapat pada Qs. Faathir; 35: 15, al-Qashash; 28 : 24 ,
al-Baqarah ; 2 : 271, al-Baqarah ; 2 : 273, al-Baqarah ; 2 : 268, Ali ‘Imran; 3
: ,al-Nisa’; 4 : 6 , al-Nisa’; 4 : 135, al-Taubah; 9 :, al-Hajj; 22 :, al-Nur;
24 : 12. Muhammad; 47 : , al-Hasyr; 59. Sedangkan ayat-ayat miskin terdapat
pada Qs. al-Baqarah ; 2 : 184, al-Kahfi;
18 :, al-Rum; 30 :, al-Haqqah; 69 :, al-Mudatstsir; 74 :, al-Fajr; 89 :,
al-Balad; 90 :, al-Ma’un; 107 :, al-Baqarah; 2 :, Ali ’Imran; 3 :, al-Nisa’; 4
: 8, al-Nisa’; 4 : 36, al-Ma’idah; 5 : 89, al-Ma’idah; 5 : 95, al-Anfal; 8 :,
al-Taubah; 9, al-Isra’; 17, al-Nur; 24, al-Mujadalah; 58, al-Hasyr; 59,
al-Qalam; 68 , al-Insan; 76.
[13] Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.
[16] Syamsuri, Islamic Economic Development. Power Point Mata Kuliah
Ekonomi Pembangunan Islam. Universitas Darussalam Gontor, 2017.
[20] Rachman Agistiani, Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan di Desa Wisata Branyut. Jurnal Kebijakan dan
Administrasi Publik (JKAP) Vol 18 No. 2. November 2014, ISSN 0852-9213.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[22] Yulianto Kadji. Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya. Jurnal
Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGN.
[26] Zamhari, dkk. Analisis Determinan Kemiskinan di Jawa Timur.
Jurnal Wacana, Vol. 18, No.1, Thn 2015. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Brawijaya Malang.
[29] M. Dawam
Rahardjo, Islam dan Transformasi
Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 5.
[30] Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi
Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Adtya Media, 1997, hlm. 37-38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar