Rabu, 20 September 2017

MASALAH KEMISKINAN DAN PENANGGULANGGANNYA DALAM PEMBANGUNAN (PERSPEKTIF ISLAM)




MASALAH KEMISKINAN DAN PENANGGULANGGANNYA DALAM PEMBANGUNAN
(PERSPEKTIF ISLAM)

 By: Yuwan Ebit Saputro

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan. Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan ditinjau dari segi materi (ekonomi). Dari kegagalan dalam mengurangi kemiskinan, pengangguran,dan ketimpangan pendapatan secara berarti, maka para ahli kemudian bergeser dari penciptaan lapangan kerja yang memadai, penghapusan kemiskinan, dan akhirnya penyediaan barang-barang dan jasa kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk.[1]
Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang sifatnya kompleks dan multi dimensional, persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi dalam hal ekonomi namun juga sosial, budaya, politik bahkan juga ediologi. Secara umum kondisi kemiskinan tersebut ditandai oleh kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan.[2] Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa program- program yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kemiskinan masih belum maksimal.[3]
Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan.[4]


1.2.   Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah
1)      Apa yang dikmaksud dengan kemiskinan?
2)      Bagaimana indikator penyebab kemiskinan dalam perspektive ekonomi Islam dan Konvensional?
3)      Bagaimana cara untuk menanggulangi masalah kemiskinan?

1.3.   Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari dalam penulisan makalah ini adalah
1)      Untuk mengetahui lebih dalam pengertian kemiskinan?
2)      Untuk memahami lebih dalam indikator penyebab kemiskinan dalam perspektive ekonomi Islam dan Konvensional?
3)      Untuk memahami lebih dalam cara menanggulangi masalah kemiskinan?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Kemiskinan.
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.[5]
Kemiskinan adalah masalah yang tidak ada habisnya dari generasi ke generasi. Apalagi pascakrisis moneter dan ekonomi yang meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia secara cukup drastis. Tulisan ini mencoba membahas masalah kemiskinan secara multidimensi, yang merupakan cara pandang yang digunakan dalam pendekatan pembangunan sosial, yaitu melihat permasalahan dari dimensi mikro, mezzo maupun makro. Selain itu kemiskinan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.[6]
Masih tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, Diperkirakan ada yang kurang tepat dalam mamahami dan merumuskan serta implementasi kebijakan untuk memberantas kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin. Selama ini kemiskinan lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi inilah yang paling mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Padahal kemiskinan berkaitan juga dengan berbagai dimensi lainnya, antara lain dimensi sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi pekerti. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan untuk memahami secara komprehensip sebagai pertimbangan perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.[7]
Naskah ini mencoba menelaah kemiskinan dari segi normatif tekstual, baik menurut konsep agama (Islam)  maupun teori yang dikembangkan para pakar, dan dari segi empiris kontektual, yaitu mencoba memahami hasil-hali penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak. 
2.2. Definisi Kemiskinan Menurut Sumbernya.
Diantara pengertian kemiskinan berdasarkan nara sumber dibagi menjadi beberapa aspek diantaranya adalah:
a)      Al-Qur’an.
            Konsep kemiskinan menurut al-qu’ran, mengatakan bahwa Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan awalan ke dan akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal  dari asal kata fakir dengan awalan ke  dan akhiran an. Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak 25 kali,[8] yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang bermacam-macam.


b)        Badan Pusat Statistik (BPS).
Adapun pengertian kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik, meliputi:
Kemiskinan Absolut (absolute poverty); standar yang tetap untuk mengukur batasan minimal kemiskinan pada berbagai tempat dan berbagai keadaan. Ukuran standar minimal tersebut biasanya mencakup sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dalam kualitas minimal untuk hidup secara standar.
Kemiskinan relatif (relative poverty); kemiskinan yang dikaitkan dengan masyarakat dimana warga miskin itu tinggal yg dibandingkan dengan daerah lain/umum.
Kemiskinan struktural; adalah kemiskinan yang penyebabnya adalah struktur yang merugikan, baik struktur negara, pemerintahan, maupun sistem kemasyarakatan. Sebab diskriminasi ras, agama dll.
Kemiskinan kultural (the culture of poverty); Kemiskinan kultural atau budaya miskinadalah kemiskinan yang terjadi akibat dari berlakunya sistem kapitalisme dan upah buruh.

c)         Para Tokoh Ilmuan.

Terdapat beberapa pendapat para tokoh ilmuan mengenai kemiskinan,  terdapat  dua golongan yang pertama; fakir dan iskin para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa dua golongan tersebut pada hakikatnya adalah sama. Demikian pendapat Abu Yusuf, pengikut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik.[9] Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan tetapi satu macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para ahli tafsir dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua kata tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni masing-masing mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila salah satu disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata lain yang sejajar.[10]
Raqib al-Isfahani, ahli fikih dan ahli tafsir, menyebutkan empat macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam arti orang yang memerlukan kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman, tempat tinggal, dan keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya dari meminta-minta. Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk golongan fakir yang paling buruk karena dapat mendorong orang itu kepada kekafiran. Keempat, fakir dalam arti orang yang selalu merasa butuh kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan, sehingga orang tersebut tidak merasa sombong.[11]
Pengertian fakir selanjutnya dibahas dalam ilmu fikih. Sayid Sabiq, ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat dipahami dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal : ”Diambil dari harta orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.” Dari hadis ini ulama fikih memahami bahwa orang-orang yang memiliki harta sebanyak satu nisab zakat telah dinamakan kaya, sedangkan yang memiliki harta kurang dari satu nisab zakat dinamakan fakir.
Menurut Imam Abu Hanifah, fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab atau mempunyai harta satu nisab atau lebih tetapi habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun Imam Malik, mengatakan bahwa fakir adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun. Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta dan usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan hidupnya dan tidak ada orang yang berkewajiban menanggung biaya hidupnya. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta tetapi kurang dari setengah keperluannya.[12]

2.3. Indikator Penyebab Kemiskinan.
Menurut (Emil Salim: 1928) yang dimaksud dengan kemiskinan adalah suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Atau dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya. Kemiskinan     lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. (Emil Salim, 1982). Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Adapun indikator-indikator kemiskinan dalam perspektive islam antara lain:[13]
a)      Pendidikan yang terlampau rendah.
b)      Malas bekerja.
c)      Keterbatasan sumber alam.
d)     Terbatasnya lapangan kerja.
e)      Keterbatasan modal.
f)       Beban keluarga.

Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi. Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan.[14]
Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan.[15] Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan, membagi faktor-faktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi.
Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga. World Bank (2002) mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan.

                             

2.4. Alat Ukur Kemiskinan.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan diantaranya adalah:

a)      Headcount ratio.
Yang dimaksud dengan Headcount ratio adalah Pengukuran sederhana untuk mengidentifikasi berapa jumlah dan persentase rumah tangga yang dikategorikan miskin. Selain itu, Indeks ini hanya memenuhi prinsip anonimitas yaitu tidak bergantung pada siapa yang miskin.[16]

b)     Poverty gap dan income gap ratio.
Adapun fungsi dari metode Poverty gap dan Income gap ratio adalah
1)      Mengukur jarak antara rata-rata pendapatan kelompok miskin secara agregat dengan garis kemiskinan (defisit pendapatan)
2)      Selisih antara garis kemiskinan dengan pendapatan rumah tangga miskin.
3)      Poverty gapdisebut sebagai ukuran kedalaman kemiskinan
4)      Rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas garis kemiskinan dianggap memiliki nilai indeks poverty gap sama dengan nol.

Adapun rumus yang digunakan dalam metode ini
PG = I.H,
Dimana:
I = adalah income gap ratio yaitu perbedaan antara garis kemiskinan dan rata-rata pendapatan (atau konsumsi) dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
H = adalah incidence of poverty (poverty headcount ratio) yaitu proporsi individu yang hidup di bawah garis kemiskinan.[17]

c)      Sen index.
Adapun fungsi dari metode Sen Index adalah
a)      Indeks yang menggabungkan antara indeks headcount, indeks income gap dan koefisien Gini untuk orang miskin (atau rumah tangga miskin)
b)      Penggunaan indeks ini lebih komprehensif bila dibandingkan indeks-indeks sebelumnya. Komprehensivitas indeks ini menjadikannya sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kemiskinan.
c)      Jika tidak ada seorangpun yang hidup dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan, maka nilai indeks Sen ini akan sama dengan nol.[18]

d)     FGT (Foster, Greer, and Thorbecke) index.
Adapun fungsi Indeks FGT digunakan untuk mengukur keparahan kemiskinan   memberikan gambaran mengenai penyebaran pendapatan/pengeluaran di antara rumah tangga miskin.[19]

Selain itu untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien Gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarkat miskin.[20]
Aksioma-aksioma atau prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan, yakni:  anonimitas, independensi, maksudnya ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotenisitas, yakni bahwa jika kita memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada dibawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
Dua indeks kemiskinan yang sangat sering digunakan karena memenuhi empat kriteria tersebut adalah Indeks Send dan Indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT) (P alpa). UNDP selain mengukur kemiskinan dengan parameter pendapatan pada tahun 1997 memperkenalkan apa yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) (Human Poverty Indeks-HPI) atau biasa juga disebut Indeks Pembangunan Manuisia (Human Development Indeks-HDI), yakni bahwa kemiskinan harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (theree key deprivations), yaitu kehidupan, pendidikan dan ketetapan ekonomi.[21]
2.6. Strategi Pengurangan Kemiskinan.
Oleh karena anjuran agama Islam yang menganjurkan umatnya untuk mengindari kefakiran, namun tetap mengingat Tuhan dan tidak terjerumus pada kecintaan atau fanatisme kepada dunia, maka manusia harus bisa mengentaskan kemiskinan. Dalam rangka mengentaskan  kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok. Diantaranya:
1)      Kewajiban setiap individu
2)      Kewajiban orang lain/sesama manusia
3)      Kewajiban pemerintah
Yang pertama, tanggung jawab individu. Kerja   dan  usaha  merupakan  cara  pertama  dan  utama  yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Quran, karena  hal  inilah  yang sejalan   dengan  naluri  manusia,  sekaligus  juga  merupakan kehormatan dan harga dirinya. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa rajin dan semangat untuk bekerja menafkahi dirinya beserta semua yang menjadi tanggungannya.[22]
Yang kedua, tanggung jawab orang lain atau sesama manusia. Sebelum menguraikan cara  kedua ini, perlu  terlebih  dahulu digarisbawahi   bahwa  menggantungkan  penanggulangan  problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi,  tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara  orang  sering  kali  tidak  merasa   bahwa   mereka mempunyai  tanggung  jawab  sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan  harta  kekayaan.  Karena  itu   diperlukan   adanya penetapan  hak  dan  kewajiban  agar  tanggung  jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam  hal  ini,  Al-Quran  walaupun  menganjurkan   sumbangan sukarela   dan   menekankan  keinsafan  pribadi,  namun  dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui  kewajiban  zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui  sedekah wajib  yang  merupakan  hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan.[23]
Yang ketiga adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan  warga negara,  melalui  sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau  perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah  bila  sumber-sumber  tersebut  di  atas belum mencukupi.[24]
2.7. Langkah-langkah Mengatasi Kemiskinan
a)   Dalam Ekonomi Konvensional.
Pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat sangat relevan sebagai paradigma kebijakan desentralisasi dalam penanganan masalah sosial termasuk masalah kemiskinan. Pendekatan ini menyadari tentang betapa pentingnya  kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya materi dan nonmaterial.[25]
Korten menyatakan bahwa ada tiga dasar untuk melakukan perubahanperubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat:
1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat individual, keluarga, dan komunitas.
2. Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem organisasi.
3. Mengembangkan sistem-sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.
Kendati demikian, model pembangunan yang berpusat kepada rakyat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment). Model ini memandang inisiatif-kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama dan memandang kesejahteraan material-spiritual rakyat sebagai tujuan yang harus dicapai oleh proses pembangunan. Kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat. Reformulasi ini memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedemikian rupa sehingga esensi pemberdayaan tidak terdistorsi.[26]
Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah yang bersifat mendesak dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung, dan peran-peran lainnya yang lebih mengarah pada pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM dan kelompok masyarakat lainnya lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam posisi sedemikian, permasalahan sosial ditangani oleh masyarakat atas fasilitasi pemerintah.[27]
Berkenaan dengan strategi pemberdayaan, Mark G. Hanna dan Buddy Robinson mengemukan bahwa ada tiga strategi utama pemberdayaan dalam praktek perubahan sosial, yaitu tradisional, direct action (aksi langsung), dan transformasi. 1) Strategi tradisional, menyarankan agar mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan, 2) Strategi direct-action, membutuhkan dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin terjadi, dan 3) Strategi transformatif, menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam jangka panjang dibutuhkan sebelum pengiden-tifikasian kepentingan diri sendiri.
Setiap strategi terdiri atas teori, konsep, dan keahlian yang melekat erat pada masing-masing strategi yang kemudian dirinci ke dalam delapan teori khusus, sepuluh konsep, dan dua belas keahlian. Semua tanda yang ada di dalam matriks itu memberikan informasi yang cukup untuk menjamin terciptanya hubungan yang harmonis antara satu dan lainnya. Penggunaan matriks tersebut akan memberikan klarifikasi terhadap bagianbagian penting dalam praktek perubahan sosial bagi orang-orang yang terlibat. Pada tahap awal, para praktisi akan bekerja dengan baik melalui sosialisasi diri mereka terhadap tiga komponen dasar teori, konsep, dan keahlian sebagaimana usaha untuk memahami kategori ketiganya. Berdasarkan hal ini, perbandingan dari ketiga perbedaan metode perubahan sosial tersebut dapat dibuat.[28]
b)        Dalam perspektive ekonomi Islam.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemiskinan diantaranya adalah :
a)      Pemberdayaan Masyarakat.
Permberdayaan di bidang ekonomi merupakan upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi ekonomi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan. Dalam pengertian yang dinamis, yaitu mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai Ketahanan Nasional.  Sedangkan untuk membahas ekonomi umat, maka perlu diperjelas dahulu tentang pengertian ekonomi dan umat. Definisi yang paling populer tentang ekonomi, yaitu bahwa ekonomi adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi di antara orang-orang.[29]  Di sini, titik tekan definisi adalah pada kegiatan produksi dan distribusi baik dalam bentuk barang ataupun jasa.
Memberdayakan ekonomi umat berarti mengembangkan sistem ekonomi dari umat oleh umat sendiri dan untuk kepentingan umat. Berarti pula meningkatkan kemampuan rakyat secara menyeluruh dengan cara mengembangkan dan mendinamiskan potensinya. Upaya pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi umat akan meningkatkan produktivitas umat. Dengan demikian, umat atau rakyat dengan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah yang meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Rakyat miskin atau yang belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.[30]

b)     Zakat.
Menggalakan program zakat. Di Indonesia islam adalah agama mayoritas. Dan dalam islam zakat diperkenalkan sebagai media untuk menumbuhkan pemerataan kesejahteraan diantara masyarakat dan mengurangi kesenjangan kaya-miskin. Potensi zakat di Indonesia, ditenggarai sebesar 1 triliun rupiah per tahunnya dan jika bisa dikelola dengan baik akan menjadi potensi besar bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat

c)      Peran Pemerintah.
Adapun peranan pemerintah Indonesia melalui, BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.[31]
Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program-programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5)  menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8)menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.[32]

KESIMPULAN.
Masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Berdasarkan hal diatas, maka penanganan kemiskinan sebaiknya tidak dilepaskan dari program pembangunan secara keseluruhan. Karena yang menjadi akar masalah itu bukanlah kemiskinanan itu sendiri, tetapi kemiskinan merupakan gejala dari adanya kesenjangan pembangunan di berbagai bidang yang terjadi antara kota-kota besar dan daerah asal migrant tersebut.
           




[1] Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Buku Putih. Thn 2002.
[2] Multifiah, Telaah Kritis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Tinjauan Konstitusi. Journal Of Indonesian Applied Economics. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Brawijaya. Vol 5 No. 1 Mei 2011. 1-27
[3] Ibid.
[4] Suharto Edi. Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan. Dompet Dhuafa, Sekolah Tinggi Kesejahteraaan Sosial (STKS). Jakarta 8 Januari 2008.
[5] Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan  (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  18.
[6] Ibid.
[7] Karjadi, D. Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
[8] Ayat-ayat tentang fakir terdapat pada Qs. Faathir; 35: 15, al-Qashash; 28 : 24 , al-Baqarah ; 2 : 271, al-Baqarah ; 2 : 273, al-Baqarah ; 2 : 268, Ali ‘Imran; 3 : ,al-Nisa’; 4 : 6 , al-Nisa’; 4 : 135, al-Taubah; 9 :, al-Hajj; 22 :, al-Nur; 24 : 12. Muhammad; 47 : , al-Hasyr; 59. Sedangkan ayat-ayat miskin terdapat pada Qs.  al-Baqarah ; 2 : 184, al-Kahfi; 18 :, al-Rum; 30 :, al-Haqqah; 69 :, al-Mudatstsir; 74 :, al-Fajr; 89 :, al-Balad; 90 :, al-Ma’un; 107 :, al-Baqarah; 2 :, Ali ’Imran; 3 :, al-Nisa’; 4 : 8, al-Nisa’; 4 : 36, al-Ma’idah; 5 : 89, al-Ma’idah; 5 : 95, al-Anfal; 8 :, al-Taubah; 9, al-Isra’; 17, al-Nur; 24, al-Mujadalah; 58, al-Hasyr; 59, al-Qalam; 68 , al-Insan; 76.

[10] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Cetakan keenam (Jakarta: Litera AntarNusa, 2002), 511.
[11] Ridwan Muhtadi, Agama dan Kemiskinan (Usaha Memahami Secara Multidimensional).
[12] Ibid. 4
[13] Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.

[14] Badan Pusat Statistika. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators). 2015
[15] Ibid.
[16] Syamsuri, Islamic Economic Development. Power Point Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan Islam. Universitas Darussalam Gontor, 2017.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Rachman Agistiani, Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Desa Wisata Branyut. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) Vol 18 No. 2. November 2014, ISSN 0852-9213. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[21] Ibid.
[22] Yulianto Kadji. Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya. Jurnal Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGN.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Badan Pusat Statistika. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators). 2015
[26] Zamhari, dkk. Analisis Determinan Kemiskinan di Jawa Timur. Jurnal Wacana, Vol. 18, No.1, Thn 2015. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Brawijaya Malang.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 5.
[30] Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Adtya Media, 1997, hlm. 37-38.
[31] Gregorius Sahdan, Menanggulangi Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org, Jurnal Ekonomi Rakyat
[32] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar