BOLEH GAK SIH POLIGAMI…?
(Pandangan Poligami Menurut Islam dan Liberal)
Oleh: Yuwan Ebit Saputro
Poligami,[1]
telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada habis-habisnya.
Jika diteliti, pemicu sebetulnya bukanlah terletak pada ke-dhannî-an
(ketidaktegasan) dalil mengenai kebolehannya, tetapi lebih banyak didorong oleh
sejumlah kepentingan pihak tertentu atau buruknya praktik poligami yang
ditunjukkan oleh pasangan yang berpoligami. Hal inilah kemudian dijadikan
sebagai jastifikasi (pembenar) oleh sebagian kalangan untuk menolak keabsahan
poligami sebagai sebuah realitas hukum Islam.
Bahkan, kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis,
memandang poligami sebagai salah satu bentuk penindasan atau tindakan
diskriminatif atas perempuan. Bagi Abdullah Ahmed Na‘im "poligami"
adalah diskriminasi hukum keluarga dan perdata, dengan asumsi yang dia bangun
"laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu
bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki.[2]
Jika An-Naim menganggap poligami, sebagai penindas perempuan, Amina Wadud
Muhsin menganggap bahwa poligami sebagai tindakan non Qur'ani dan dianggap
upaya mendukung nafsu tak terkendali kaum pria".[3]
Lain pula dengan Mahmud Muhammad Thaha mengatakan :"Bahwa poligami bukan
ajaran dasar Islam.[4]
Dan tidak ketinggalan tokoh Feminis Liberal Indonesia, ikut andil melontarkan
penolakan terhadap praktek pernikahan poligami, dengan alasan Nabi melarang
keinginan 'Ali berpoligami.[5]
Dari pandangan dan tuduhan miring perlu kita
dudukkan secara benar, pertama: Kalau poligami dianggap
diskriminatif atas perempuan, karena laki-laki bisa mengawini hingga empat
perempuan, sedangkan perempuan tidak bisa. Mengapa Islam tidak membolehkan
perempuan mengawini lebih dari satu?. Ketika perempuan mempunyai beberapa suami
kemudian dia melakukan hubungan seks, dengan setiap suaminya, kemudian dia
hamil. Bagaimanakah, wanita itu bisa menentukan ayah anak yang dikandungya.[6]
Kedua: Bukan poligami yang tidak Qur'ani[7],
tetapi perzinaan[8]
dan perselingkuhan yang tidak Qur'ani, Nafsu yang mana yang tidak terkendali?
Orang pezina yang tak terkendali nafsunya ataukah pelaku poligami yang dianggap
tidak bisa mengendalikan nafsunya?. Ketiga : Memang benar perinsip dasar Islam
wanita setara dengan laki-laki dalam pernikahan, tetapi apakah semua harus
setara, ketika laki-laki boleh menikahi sampai empat perempuan, dan apakah
harus sama perempuan juga bisa menikahi sampai empat laki-laki, diatas sudah
kita jelaskan sebagaimana disampaikan oleh Ali ra. Keempat : Hak wanita yang
mana yang dilecehkan dengan berpoligami, tidakkah Islam membolehkan poligami
itu dengan syarat, ketika syarat yang ada tidak mampu dipenuhi, Islam
memberikan sebuah solusi maka menikahlah secara monogami[9].
Kelima : Ketika membaca haditsnya sepotong maka benar Rosulullah SAW melarang
keingginan Ali berpoligami. Tetapi ketika membaca secara utuh maka akan
menemukan jawaban yang tepat, mengapa Rosulullah melarang ?[10]
inilah yang harus kita dudukkan.
Berpijak pada problematika dan pemaparan diatas, maka
perlu dalam pembahasan artikel ini, untuk memetakan masalah utama yang ada. Disini kita bisa
mengangkat dua masalah utama. Pertama : Bagaimana Poligami sebelum dan
sesudah Islam, Kedua : pandangan liberalis, feminis, serta ulama
terhadap poligami. Dengan pembatasan masalah tersebut penulis berharap,
pembahasan ini tidak menjadi bias sehingga tidak melupakan pokok masalah yang
ada.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam mengenai
poligami baik dalam pandangan islam maupun liberal, maka kita harus memahami
pengertian poligami itu sendiri. Kata poligami secara etimologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu dari kata polus yang berarti banyak dan gamos yang
berarti perkawinan. Jika pengertian tersebut digabung maka poligami mempunyai
arti : "Suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang.
"Sistem perkawinan yang banyak atau seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu orang
dan sebaliknya, seorang perempuan mempunyai beberapa orang suami dalam waktu
yang bersamaan pada dasarnya disebut poligami.[11]
Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah :"Ikatan perkawinan
yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan atau poligami adalah adat seorang laki-laki beristri lebih dari
seorang perempuan.[12]
Para ahli untuk membedakan mana yang mempunyai pasangan
banyak, dari pihak lelaki atau dari pihak wanita, maka dibuatlah istilah yang
berbeda. Untuk lelaki yang berpasangan wanita lebih dari satu dengan istilah
poligini. Sebaliknya jika yang banyak punya pasangan pihak wanita maka disebut
poliandri.[13]
Menurut syareat Islam, poligami atau ta'addud al-zaujaj
diartikan sebagai satu tindakan membolehkan untuk mengawini perempuan yang
disenangi, dua, tiga, atau empat dengan syarat dapat berlaku adil terhadap
mereka.[14] Ternyata
sejauh ini, poligami masih menimbulkan pro dan kontra. Sebagaimana telah
kita sebutkan diatas bahwa poligami adalah salah satu bentuk perkawinan yang
diperdebatkan oleh publik, baik yang mendukung ataupun yang menolak, mereka memberikan
argumen masing-masing. Poligami termasuk dari salah satu bentuk perjodohan majmuk.
Tetapi poligami, berbeda, baik dengan poliandri[15] maupun "komunisme seksual"[16] karena statusnya lebih lumrah dan relatif
lebih dapat diterima. Poligami bukan hanya terdapat pada suku liar tetapi
banyak pula bangsa beradab yang menerapkanya. Disamping bangsa Arab sebelum
Islam, adat kebiasaan itu terdapat dikalangan orang Yahudi, dikalangan bangsa
Iran zaman Sassania[17], dan pada bangsa lainya.[18]
Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum
Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi
lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan
syarat harus berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan,
tetapi praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami. Masyarakat
umum dalam menyikapi praktek poligami yang ada, terbagi menjadi 4 (empat) golongan
yaitu: pertama mereka yang pro terhadap poligami tetapi tidak melaksanakan
atau tidak berani melasanakan, kedua mereka yang kontra dan benar-benar
tidak setuju terhadap poligami, ketiga mereka dipermukaan menetang
poligami tetapi diam-diam melaksanakan, dan yang terakhir tidak setuju
dengan poligami tetapi toleran kepada yang melaksanakan.
Sebagai contoh : Yayasan Kesejahteraan Fatayat
(YKF) yaitu kelompok perempuan muda NU, mereka memberikan beberapa alasan
mengapa mereka menolak poligami : mereka menolak poligami, karena
dilatarbelakangi oleh QS. An Nisa’(4):129 berbunyi ”Dan kamu tidak akan dapat
berlaku adil di antara perempuan-perempuan (istri-istrimu) walaupun kamu
terlalu cenderung (kepada perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan
perempuan yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Itu berarti menurut YKF dan
banyak penafsir yang lain bahwa seorang suami yang menikahi lebih dari satu istri
harus bertindak secara adil terhadap istri-istrinya dan tidak boleh membedakan
antara yang satu dengan yang lain.[19]
Demikian juga Poligami dianggap membawa masalah. Sebagaimana
disampaikan Rosyid ridha ada tiga masalah yang bersifat pokok : yang pertama,
Islam tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami, melainkan menunjukkan bahwa
sedikit sekali para pelaku poligami yang membebaskan diri dari kezaliman yang
diharamkan. Hikmah yang terkandung di sini adalah bahwa bagi kaum pria yang
ingin mempraktekkan poligami ini, hendakya berpikir matang-matang
mempertimbangkan kemauannya, serta melihat kemasa depan yang berkaitan dengan
keadilan yang wajib ia laksanakan.[20]kedua, Islam tidak secara mutlak mengharamkan
poligami, namun tidak pula terlalu longgar, mengingat watak dan kebiasaan kaum
pria yang punya kemampuan tinggi dalam berbagai bidang dan sekaligus pada
lazimnya tidak puas dengan hanya satu istri, dan lantaran adanya tuntutan
kebutuhan sementara kaum pria terhadap keturunan di saat istrinya sudah berusia
lanjut atau adanya sebab-sebab lain yang membuatnya tidak bisa hamil.[21]Ketiga, persoalan ini di dudukkan oleh Islam
dalam hukum mubah (boleh) dengan ikatan syarat dan sebab yang telah dikemukakan
di muka yang harus dipertimbangkan betul madharatnya, dan akan membawa manfaat
bagi mereka yang memperaktekkannya manakala semua hukum Islam yang berkenaan
dengan itu dipenuhi.[22]
Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi
Muhammad saw yang membawa Islam, umat terdahulu telah memperaktikkan sistem
poligami[23]. Sebagaimana saya sebutkan dimuka, untuk
mempertegas kembali bahwa cukup banyak fakta sejarah membuktikan. Hal ini
diakui oleh Musthafa al-Sibai seperti dikatakannya : "Poligami itu
sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,....pada bangsa
Yunani, Cina, India, Babylonia, Mesir dan lain-lain". Dan
ditambahkanya : "Poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga
mencapai 130 istri bagi seorang suami; bahkan seorang raja Cina ada yang
mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) orang".[24]Poligami dilakukan orang-orang perkasa atau
memiliki kekuasaan, seperti para raja atau para panglima perang. Tradisi
poligami kala itu dijadikan bentuk keperkasaanya seseorang.[25]
Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk
perkawinan poligami lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri
tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang
laki-laki begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama
memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.[26]Agama
Kristen tidak melarang adanya praktik poligami, sebab tidak ada satu keterangan
yang jelas dalam injil tentang landasan perkawinan monogami atau landasan
melarang poligami.[27]
Namun dalam Injil Matius pasal 10 ayat 10-12 dan juga
Injil Lukas pasal 16 ayat 18,
diterangkan bahwa Isa Al-Masih pernah berkata: "barang siapa
menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya dia
berzina dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang wanita menceraikan
suaminya dan menikah dengan lelaki lain, maka hukumnya dia berzina dengan
lelaki itu. (Matius: 10 : 10-12). Namun dalam pelaksanaannya hanya golongan
Kristen katholik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali
dengan kematian saja. Untuk aliran orthodoks dan protestan atau Gereja Masehi
injil membolehkan seorang kristen untuk menceraikan istrinya dengan
syarat-syarat yang ditentukan pula.
Tidak ada Dewan Gereja pada awal Kristen yang menentang
Poligami. St. Agustine secara jelas justru menyatakan bahwa dia tidak mengutuk
poligami. Martin Luther mempunyai sifat yang toleran dan menyetujui status
poligami Philip dan Hasse. Tahun 1531 kaum Anababtis[28]
mendakwahkan poligami. Hingga saat ini beberapa uskup di Afrika masih mendukung
praktik itu dengan berpijak pada dasar modal dan beberapa pertimbangan lain.[29]
Dari pemaparan diatas. Tampak jelas bahwa praktek
poligami sudah terjadi jauh sebelum Islam datang, dan masih dipraktekkan hingga
saat ini. Yang kedua poligami sebelum Islam dipraktekkan tanpa ada batasan yang
jelas, atau tanpa batas. Ketiga baik orang Yahudi ataupun Kristen melakukan
praktek poligami, karena tidak ada larangan atau anjuran yang jelas dari Kitab
Injil. Adapun larangan Al-Masih terhadap
penceraian baik yang dilakukan pihak lelaki ataupun perempuan kemudian menikah
dengan yang lain temasuk melakukan
perzinaan, lalu bagaimana dengan yang tidak bercerai kemudian melakukan
poligami.
Jadi pelaksanaan poligami sesuai fakta sejarah telah
terjadi jauh sebelum Islam hadir ditengah-tengah genarasi awal Islam hingga
generasi sekarang. Maka terasa aneh, apa yang telah ditulis oleh Will Durant
dalam bukunya :" The Story of Civilization" di abad
pertengahan, para teolog berpendapat melalui propaganda yang dilancarkan
terhadap Islam, ialah Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkan poligami di
dunia, dan fondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan bahwa penyebab
pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai bangsa dan rakyat dunia
ialah dihalalkanya poligami; sementara penyebab utama kemunduran dunia timur
adalah juga poligami.[30]
Dari lontaran pendapat para teolog diatas sungguh tidak
mendasar, Bahwa sebelum Rosulullah Muhammad saw melakukan poligami, penduduk
disekitar Makkah ataupun Madinah sudah banyak melakukan poligami. Yang kedua
Islam menyebar dengan pesat karena dakwah yang disampaikan penuh hikmah (yang
berlandaskan pada wahyu) dan mauidhoh hasanah (dengan ungkapan dan penyampaian
yang santun).[31]
Islam tidak sepenuhnya menghapus poligami, walaupun Islam
menghapus sepenuhnya poliandri. Tetapi Islam membatasinya. Islam menghapus
ketidakterbatasan poligami dan membatasinya hingga empat istri. Lagipula, Islam
menetapkan syarat dan batasan, dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai
beberapa orang Istri.[32]
Sebagaimana kita jelaskan diatas. Bahwa praktek poligami di masa Islam sangat
berbeda dengan praktek poligami sebelum Islam. Perbedaan itu menonjol pada dua
hal. Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi
dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki
masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka di suruh memilih empat
saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami, yaitu
harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apa
pun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan
dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak
terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan
semena-mena mengikuti luapan nafsunya[33].
Setiap sesuatu pasti ada hikmahnya. Itulah yang sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Begitu pula dengan poligami,
ada beberapa hikmah poligami yang perlu diketahui, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Masalah sosial
Pertumbuhan angka wanita dibanding pria saat ini adalah
jauh lebih tinggi. Jika angka wanita lebih banyak ketimbang pria, maka
permasalahan disana-sini sering terjadi, seperti banyaknya perzinaan,
perselingkuhan, perkosaan, merajalelanya para PSK (pekerja seks komersial) atau
TTM (teman tapi mesum) dan masih banyak lagi lainya. Oleh karena itu, adanya
poligami sangat membantu untuk masalah ini. Jadi, dari sisi sosial memang
memungkinkan para laki-laki berpoligami.
Demikian juga disampaikan olek Yoyoh Yusroh bahwa
poligami merupakan pilihan sosial dan solusi sosial. Yoyoh Yusroh, wakil ketua
UU Anti Pornografi, F.PKS, DPR-RI dengan penuh yakin dengan argumen, ia
berkesimpulan bahwa poligami adalah pilihan sosial karena dapat menjadi solusi
sosial. Menjadi solusi karena dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Argumen sebagai solusi sosial inilah hingga dengan tegas ia menyatakan bahwa
saya setuju poligami dan saya rela dipoligami.
Sedangkan Aa Gym berpendapat poligami merupakan solusi
bagi masalah-masalah sosial, moral dan akhlak, sehingga poligami harus di
proporsionalkan, tidak dipandang sebagai tidak baik, perbuatan zalim, dan
menindas.[34]
2. Kemaslahatan Individu dan Keluarga
Dalam setiap rumah tangga, banyak sekali
permasalahan yang terjadi, di antaranya adalah masalah individu istri, seperti
mandul atau istri memiliki penyakit yang tidak dapat melayani suami dalam
masalah "kebutuhan biologis" dan lain sebagainya[35].
Adanya poligami merupakan solusi kongkrit dalam mengatasi masalah tersebut agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, seperti
perselingkuhan, perzinaan atau lainya, jika istri terkena penyakit
berkepanjangan yang tidak bisa melayani suami sebagaimana mestinya, sedangkan
suami sangat berhasrat untuk melakukan hubungan suami istri atau istri mandul
sedangkan suami sudah sangat menginginkan untuk memiliki anak. Hal ini dapat
diatasi dengan cara poligami dengan tanpa harus menceraikan istri pertamanya.
Setelah kita membahas poligami, dari tinjauan Historis,
baik yang terjadi sebelum Islam datang ataupun setelah Islam datang, maka perlu
kita membahas ayat-ayat poligami dan pandangan para mufassir dan feminis dalam
menafsirkan ayat poligami yaitu surat an-Nisa' ayat : 3 sebagai berikut :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا [36]
Artinya : "Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim yatim (bila kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga, atau empat[37].
Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil[38],
maka kawinilah seorang saja, budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adala lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Sebelum menginjak pada tafsir ayat diatas perlu kita
melihat sebab ayat ini diturunkan lebih dahulu. Dalam pangkal ayat ini terdapat
lanjutan tentang memelihara anak yatim dan juga Allah mengizinkan untuk
beristri lebih dari satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui
duduk persoalan, lebih baik diterangkan riwayat Aisyah istri Rosulullah,
tentang sebab turunya ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair,
anak Asma kakak Aisyah, yang sering bertanya kepadanya tentang masalah agama
yang musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri
lebih dari satu sampai empat, dengan alasan memelihara hak anak yatim. Aisyah
menjawab :
"
Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan
walinya, dan telah tercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali
tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya
dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang
tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia
membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada
melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dianjurkan lebih baik menikah dengan
perempuan lain, walaupun sampai dengan empat"[39]
A. Penafsiran Ulama Tafsir
Ulama Tafsir dalam memahami dan menafsirkan
ayat poligami di atas. Imam Ath-Thabari memahami ayat diatas dalam konteks
perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga
perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat
tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban
berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut
Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak
yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan
lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun "jika khawatir"
tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja.
Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri,
maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu
miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak
tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian
itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap
perempuan.[40]
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat
jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap
hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan
berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri
dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk
tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.[41] Adapun syarat-syarat dalam poligami
sebagaimana disampaikan Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya "Pembebasan
Wanita" sebagai berikut :
1.
Tidak lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana
al-Qur’an 4:3.
2.
Mampu memberi nafkah kepada istri-istri dan
anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggunganya.
3.
Mampu memeliara istri-istri dan nanak-anaknya
dengan baik.
4.
Dapat berbuat adil.[42]
Sedangkan
Imam Fahru al-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu
berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ (maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu
senangi) sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang
jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi
perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan
syarat tersebut di atas.[43]
Menurut
ar-Razi, dalam mendudukkan permasalahan poligami seseorang dibolehkan atau
tidak dalam berpoligami pada dasarnya tidak terlepas dari empat alasan:
1. Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan
harta anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar
mahar maka yang demikian ini jelas dilarang dalam Islam, sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikut ini.
”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah),
apa maksud firman Allah وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Aisyah menjawab: " wahai
kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan
walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka
bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah,
kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. "Oleh karena itu,
Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim
ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu
suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: "Kemudian ada orang meminta fatwa
kepada Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun. Selanjutnya turunlah
ayat (surat an-Nisa' juga ayat 127). Mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah
akan memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim
perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka,
padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: "Yang dimaksud
dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini
ialah ayat yang pertama itu, yaitu jika kamu takut tidak akan mampu
berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah
perempuan-perempuan (lain) yang kamu
senangi,"[44]
2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak
memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka."[45]
3. Karena adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak
yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya, akan
tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara
dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan
yang dihalalkan baginya. "[46]
4. Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak
yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka
mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada
istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap
harta anak yatim karena banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana
disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.
”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata:
" Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi
anak-anak yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya untuk istri-istrinya dan tidaklah cukup harta
tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambillah harta anak yatim untuk
menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap
harta anak-anak yatim, karena kamu banyak istri, maka dilarang bagi kamu
menikahi lebih dari empat istri, supaya kamu bebas dari ketakutan itu. Jika
kamu masih takut dengan beristri empat , maka nikahlah dengan seorang istri
saja. Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah emapt orang, dan batas
minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara keduanya. Maka Allah juga
mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang,
jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah dua orang, jika kamu
khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang orang saja. Penafsiran ini
lebih dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak
istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim
yang ada dalam asuhannya, untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak
disebabkan ia memiliki istri yang banyak.[47]
Berdasarkan penjelasan diatas, baik
Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut masih dalam kaitanya dengan
perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil
terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : "Jika
kamu khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga
terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu nikahi
mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi budak-budak
yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih memungkinkah untuk
tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap perempuan).
Sementara itu, ar-Razi berpendapat bahwa
apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak
yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan
lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih
dari empat orang istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih
khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri
lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas maksimal
empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri. Sedangkan diantara dua
batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh saja, asal kamu
mampu berlaku adil.[48]
B. Penafsiran Feminis Liberal.
Dalam memahami ayat 3 dari surat an-Nisa Feminis
liberal memberikan pendapat sebagaimana berikut ini.
Amina Wadud Muhsin memahami ayat di atas dalam
kaitanya dengan perlakuan adil terhadap anak yatim yang harus dipenuhi oleh
laki-laki yang bertanggung jawab mengelola kekayaan mereka. Solusi yang terbaik
untuk mencegah kesalahan adalah dengan mengawininya. Sementara di satu sisi
al-Qur'an membatasi jumlah perempuan yang boleh dikawini, perlakuan adil
terhadap anak yatim dan adil terhadap istri. Tampaknya inilah yang sering dilupakan
oleh yag mendukung poligami.
Amina Wadud mengaitkannya dengan surat
an-Nisa' ayat 129 yang mengatakan bahwa kamu sekali-kali tidak dapat berlaku
adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Sebagaimana beberapa penafsir, dia juga berkesimpulan bahwa monogami merupakan
bentuk perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur'an. Dengan monogami tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tentram dapat
terpenuhi. Sementara dalam poligami hal itu tidak mungkin karena seorang suami
ataupun ayah akan membagi cinta dan kasih sayangnya pada lebih dari satu
keluarga.[49]
Menurut Asghar Ali Engineer ayat diatas lebih
menekankan untuk berbuat adil terhadap anak-anak yatim, bukan mengawini lebih
dari seorang perempuan. Karena konteks ayat ini adalah tentang kondisi pada
masa itu, dimana mereka yang bertugas memelihara kekayaan anak-anak yatim
sering berbuat tidak semestinya dan terkadang mengawininya tanpa mas kawin.
Ayat Al-Qur'an ini turun untuk memperbaiki perbuatan yang salah tersebut.
Dengan mengemukakan penafsiran Aisyah terhadap ayat tersebut yang berarti jika
para pemelihara anak-anak (perempuan) yatim khawatir dengan mengawini mereka
karena tidak mampu berbuat adil, maka sebaiknya mereka mengawini
perempuan-perempuan lain. Jadi ayat tersebut harus dipahami menurut konteksnya,
bukan pembolehan poligami yang bersifat umum.[50]
Dari pemaparan penafsiran di atas bisa kita
dapatkan adanya perbedaan antara mufassir dengan para feminis muslim dalam
memandang keadilan sebagai syarat poligami. Para mufassir memandang, bahwa
syarat keadilan masih memungkinkan mampu dilaksanakan seorang lelaki yang
berpoligami, sehingga secara tidak langsung mereka memperbolehkan poligami.
Sebaliknya, para feminis liberal secara ekplisit melarang poligami karena
keadilan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dan mustahil bisa dilakukan
oleh semua lelaki yang berpoligami. Jadi tanpa adanya keadilan maka poligami
dilarang.
Mari kita lihat bagaimana
pandangan kaum liberal dan feminis dalam menyikapi poligami, para feminis
liberal memberikan beberapa pandangan tentang poligami serta mereka melontarkan
beberapa statemen yang mereka anggap sebagai subhat-subhat yang ada dalam poligami yaitu :
Abdullah Ahmed Na‘im,[51]mengatakan
Bahwa "poligami" sebagai diskriminasi Agama dalam hukum
keluarga dan perdata, dengan asumsi yang dia bangun "laki-laki muslim
dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan
hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki.[52]
Jika poligami dianggap sebagai tindakan diskriminasi
agama dalam tinjauan hukum keluarga dan perdata apakah karena laki-laki boleh
menikahi perempuan hingga empat tetapi tidak sebaliknya, karena perempuan tidak
bisa menikahi empat laki-laki sehingga dikatakan sebagai bentuk diskriminasi. Alasan
ini adalah salah dan bertentangan dengan Islam. Sebagaimana ditegaskan Murtadha
Muthahhari bahwa poliandri tidak pernah
mampu menarik perlindungan, cinta kasih, keterpautan, dan bakti setia dari kaum
pria kepadanya. Itulah sebabnya mengapa poliandri, sebagaimana pelacuran, selalu dibenci
wanita. Dengan demikian, poliandri tidak sesuai dengan selera serta kebutuhan
pria, tidak pula seirama dengan selera dan kebutuhan wanita.[53]
Bahwa wanita yang menikahi lebih dari satu lelaki
merupakan bentuk penyelewengan terhadap
syareat Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, ketika sekelompok wanita
mendatangi Ali ra. Menanyakan kenapa wanita tidak bisa menikahi lelaki lebih
dari satu. Maka Ali dengan tegas mengatakan ”apabila seorang wanita mempunyai beberapa
suami (poliandri), dengan sendirinya ia akan mengadakan hubungan seks dengan
setiap suaminya itu, dan kemudian akan hamil. Bagaimanakah, tanya Ali, wanita
itu dapat menentukan ayah anak yang dikandungnya?.[54] Maka dari riwayat diatas menjadi jelas mengapa
Islam menolak terhadap poliandri.
Subhat yang kedua disampaikan Mahmud Muhammad
Thaha."Bahwa poligami bukan ajaran Prinsip dasar Islam.[55]Karena dia berpendapat:"Bahwa prinsip dasar dalam Islam
adalah wanita setara dengan laki-laki dalam masalah pernikahan. Laki-laki
secara keseluruhan adalah milik wanita secara keseluruhan, tanpa harus membayar
mahar, tanpa ada penceraian antara keduanya.[56]Adapun
mengenai poligami dikatakan bukan prinsip dasar Islam karena Allah telah
melarang sebagaimana firman-Nya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil maka nikahilah seorang saja, (lihat surah An-Nisa' : 3).
Apa yang disampaikan Thaha adalah suatu kesalahan fatal, ketika dia memandang bahwa pria dan wanita adalah
setara, sehingga dia berpendapat mahar tidak harus dibayar dalam sebuah
pernikahan, penceraian tidak harus terjadi. Pandangan Thaha adalah keliru karena
al-Qur’an dengan tegas menyampaikan bahwa mahar itu harus dibayar, hingga
seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang budak orang lain-pun dalam
prinsip dasar Islam mahar harus dibayar?.[57]Benar
prinsip dasar dalam pernikahan yang diharapkan oleh Islam adalah terbinanya
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, ketika tujuan itu tercapai, maka harapan
pernikahan bisa menjadi langgeng. Islam membenci thalak (penceraian), tetapi Islam
membolehkan thalak sebagaimana yang terjadi pada Zaid bin Haritsah (sahabat dan
anak angkat Nabi) yang telah menceraikan Istrinya (Zainab binti Jahsy).
Amina Wadud Muhsin mengatakan : "Poligami bukan
hanya tak tercantum dalam al-Qur'an, tetapi jelas merupakan tindakan non
Qur'ani serta berupaya mendukung nafsu yang tak terkendali. Subhat yang
dilontarkan Amina Wadud bahwa poligami merupakan tindakan non Qur’ani adalah tidak
bisa di benarkan karena jelas al-Qur’an membolehkan praktik poligami ketika dia
mampu berbuat adil sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an 4 : 3.
Sedangkan Sayyid Sabiq dalam memberikan pendapat tentang
keadilan sebagaimana berikut: "Allah membolehkan berpoligami dengan batas
samapai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan,
minum, tempat tinggal, pakaian, dan kediaman, atau segala sesuatu yang bersifat
kebendaan antara istri yang kaya dengan istri yang fakir, dan yang berasal dari
keturunan tinggi dengan yang bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak
dapat memenuhi hak-hak mereka, maka diharamkan berpoligami.[58]Maka
keadilan yang bisa dicapai oleh manusia adalah keadilan yang bersifat
lahiriyah, akan tetapi keadilan bathiniyah yaitu dalam hal cinta kasih dan
kecondongan hati, berada di luar kemampuan manusia[59].
Sedangkan subhat yang kedua yang dilontarkan Amina Wadud
bahwa poligami dianggap upaya mendukung nafsu adalah tidak benar. Ketika
poligami dikatakan pendukung nafsu atau mengumbar nafsu. Perlu kita luruskan pandangan
Amina Wadud terhadap poligami. Bahwa motivasi pernikahan bukanlah hanya untuk sexual semata, karena kalau kita
hanya melihat dari sisi itu maka hampir semua pernikahan kembalinya kepada hal
tersebut. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah menjaga diri dari melanggar
batas yang sudah ditentukan oleh Allah SWT, seperti perzinahan, onani, lesbian,
homosexual dan lain-lain.[60]
Siti Musda Mulia melontarkan penolakannya terhadap poligami serta tuduhan
yang keji terhadap pelaku poligami diantaranya :
1. Nabi melarang keinginan 'Ali berpoligami.
2. Nabi-pun menyatakan sikap ketidakrelaan
jika anaknya dimadu.[61]
3. Seorang laki-laki yang berpoligami pada
prinsipnya adalah laki-laki yang mengumbar hawa nafsunya.[62]
4. Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan,
dan lebih menyakitkan perasaan istri[63]
5. Poligami adalah Haram lighoiri[64]
Dari apa yang telah dilontarkan Ibu Musda Mulia marilah
kita dudukkan secara proporsional sehingga tidak salah dalam memahami hadits
nabi dan memahami poligami. Sebenarnya poligami adalah dibolehkan dalam Islam
dengan syarat yang ditentukan.
Pada poin pertama dan kedua: Ketika kita
berpegang dengan satu hadits Nabi saja maka benar apa yang dijadikan hujjah Ibu
Musda, bahwa Nabi melarang Ali untuk berpoligami, dan Nabi tidak rela kalau
anaknya dimadu, tetapi kalau kita membaca riwayat yang lain maka menjadi salah.
Yang kita pertanyakan mengapa Nabi melarang Ali untuk
berpoligami ?, dan mengapa Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu (dipoligami)?.
inilah yang perlu kita cari jawabanya. Mari kita lihat hadits yang lain dalam
bab yang sama sehingga menjadi jelas, karena kalau kita memahami hadits sepotong-sepotong
yang kita dapatkan pemahaman sepotong. Bahwa hadits yang telah diangkat oleh
Ibu Musda bukanlah hanya diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Turmudzi dan Ibnu
majah saja, tetapi masih banyak perowi lain yang meriwayatkan.[65]Sebagaimana hadits dibawah ini dengan lafadz Baihaqi.
Hadits I
أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَخْبَرَهُ : أَنَّ
عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ
وَعِنْدَهُ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا
سَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَتْ لَهُ : إِنَّ
قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِىٌّ نَاكِحٌ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ. قَالَ الْمِسْوَرُ فَقَامَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ
:« أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ فَحَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى
وَإِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ بَضْعَةٌ مِنِّى وَإِنِّى أَكْرَهُ أَنْ
يَفْتِنُوهَا وَإِنَّهُ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ ابْنَةُ رَسُولِ اللَّهِ
وَابْنَةُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا ». فَتَرَكَ عَلِىٌّ
رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ الْخِطْبَةَ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ
أَبِى الْيَمَانِ وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الدَّارِمِىِّ عَنْ أَبِى الْيَمَانِ. {ت} وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ
حَلْحَلَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ الْمِسْوَرِ فَزَادَ :« حَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى وَوَعَدَنِى فَوَفَى لِى وَإِنِّى
لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ».
"Bahwasanya Miswar
bin Makhramah menghabarkanya kepada Ali bin Husein : Bahwasanya Ali bin Abi
Tholib ra hendak melamar putri Abu Jahal (berpoligami), dan Ali masih memiliki Istri Fathimah binti
Rosulullah saw, ketika Fathimah mendengarnya, maka ia menghadap Rosulullah saw,
kemudian berkata: Sesungguhnya umatmu membicarakan bahwa engkau tidak marah
kepada putrimu ketika Ali hendak berpoligami, menikahi putri Abu Jahal".
Miswar berkata: bahwa Nabi SAW. Berdiri dan saya mendengarkan ketika beliau
bersaksi kemudian bersabda: "adapun setelah itu, maka sesungguhnya aku
telah menikahkan Abu Al-Ash kemudian ia berbicara kepadaku dan aku membenarkan. Dan sesungguhnya
Fathimah binti Muhammad saw. Adalah darah dagingku dan sesungguhnya aku marah
jika ada yang memfitnahnya. Demi Allah, sesungguhnya tidak akan bisa berkumpul
putri Rosulullah dengan putri musuh Allah selamanya dalam satu laki-laki
(dipoligami)." Maka Ali ra membatalkan rencana khitbahnya. Diriwayatkan
oleh Bukhori dalam kitab Shohihnya dari Abi al-Yamani dan diriwayatkan Muslim
dari Abdillah Bin Abdirrohman al-Darimi dari Abi al-Yamani dan juga
diriwayatkan dari Muhammad bin Amru bin Halhalh dari Ibnu Syihab dari Ali dari
Miswar maka dia menambahkan : dia
telah memberitahukan kepadaku, aku membenarkanya, aku berjanji maka aku
menepati dan sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan juga tidak
menghalalkan yang haram.[66]
Hadits II
(خ م ت د)
المسور بن مخرمة - رضي الله عنه - : قال : « إِنَّ عليّا خطب بنت أبي جهل ، وعنده
فاطمة ابنة النبي -صلى الله عليه وسلم-. فسمعت بذلك فاطمة. فأتت رسول الله -صلى
الله عليه وسلم- ، فقالت: يزعم قومك أنك لا تغضبُ لبناتك. وهذا عليّ ناكحا ابنة
أبي جهل. فقام رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- ، فسمعته حين تشهد يقول : أما بعد
، فإِني أنكحت أبا العاص بن الربيع. فحدّثني وصدقني. وإن فاطمةَ بَضْعة مِنِّي.
وأنا أكره أن يسوءوها - وفي رواية : أن يفتنوها - والله لا تجتمع بنت رسول الله ، وبنت عدوّ الله عند رجل
واحد أبدا. فترك عليّ الخِطبة».
Hadits III
•
وفي أخرى قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول ، وهو
على المنبر : «إِن بني هاشم بن المغيرة استأذنوني في أن يُنكِحُوا ابنتهم عليَّ بن
أبي طالب. فلا آذن ، ثم لا آذن ، إِلا أن يريد ابنُ أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح
ابنتهم ، فإنما هي بَضْعة مني. يَريبني ما رابَها. ويؤذيني ما آذاها ». أخرجه
البخاري ، ومسلم. وأخرج الترمذي الأولى. وأخرج أبو داود الثانية ، وزاد الترمذي :
« ثم لا آذن » مرة ثالثة.[67]
Dari hadits diatas marilah kita dudukkan apa yang ada
pada poin satu dan dua diatas, Pertama, mengapa Nabi melarang keinginan Ali
berpoligami, dalam hadits diatas sangat jelas nabi melarang karena calon istri
kedua Ali anak Abu Jahal, dan Nabi dengan tegas mengatakan tidak akan bisa berkumpul
putri Nabi dengan putri musuh Allah dalam satu laki-laki. Kedua, ketidakrelaan
Nabi anaknya dimadu, bukan karena menolak poligami tetapi menolak pengumpulan
putri beliau dengan putri Abu Jahal
dalam satu laki-laki (Poligami). Maka dengan tegas Rosulullah
melanjutkan dari apa yang telah dia sampaikan: sesungguhnya aku tidak
mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.
Pada poin
ketiga: Ketika seseorang mampu melakukan poligami dikatakan orang yang
mengumbar hawa nafsunya, lantas orang yang zina, selingkuh, kumpul kebo, homo
seksual, lesbian dikatakan apa? Apa harus dikatakan meliberalkan hawa nafsunya.
Pada poin
keempat: Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan karena lebih menyakitkan
perasaan istri. Disini Ibu musda tidak bisa membedakan poligami dan selingkuh,
dan sepertinya sudah pernah merasakan sakitnya dipoligami daripada sakitnya di
tinggal selingkuh. Abu salma al-Atsari mengatakan selingkuh itu tidak sama dengan
poligami, menyebut selingkuh itu sama dengan poligami, maka ini artinya
sama dengan menyatakan bahwa Alloh sebagai pencipta alam semesta memperbolehkan
perselingkuhan, karena Alloh memperbolehkan poligami. Jelas ini adalah suatu
kebodohan kalau tidak mau dikatakan kedustaan terhadap Allah Azza wa Jalla.[68]
Pada poin
kelima; bahwa poligami membawa ekses-ekses, poligami tidak akan membawa
ekses ketika pelaku poligami memperhatikan syarat-syarat poligami. Maknanya ketika syarat-syarat
poligami itu diperhatikan serta dilaksanakan maka tidak akan menjadi dampak
yang negatif bagi pelaku serta masyarakat pada umumnya.
MM. Billah mengatakan poligami melanggar HAM dan Islam.
Apa yang dikatakan Billah diatas apakah karena adanya ketidaksetaraan dalam
poligami sehingga dikatakan melanggar. Pendapat ini adalah keliru, karena
memang tidak bisa disetarakan antara lelaki dan perempuan dalam poligami
sebagaimana pemakalah terangkan diatas ketika disetarakan perempuan harus juga
memiliki suami lebih dari satu justru inilah yang bertentangan dengan Islam.
Neneng Dara
Afifah mengatakan bahwa poligami mewadahi keserakahan seksual, menarik seksual,
mencari kesenangan, dan untuk membuktikan masih kuat dan menarik. Sebagaimana
saya jelaskan diatas bahwa tujuan pernikahan baik itu pernikahan poligami
ataupun pernikahan monogami bukanlah semata-mata untuk memuaskan kebutuhan
seksual semata, tetapi ada yang lebih penting dari itu yaitu menjaga diri dari
melanggar batas yang sudah ditentukan oleh Allah.
Pandangan Ulama
Tentang Poligami
Sebelumnya
telah kita bahas poligami dalam pandangan kaum liberal dan feminis, dalam bab
ini kita akan melihat, bagaimana pandangan ulama terhadap poligami. Pada
umumnya yang dijadikan dasar kebolehan dan tidak bolehnya melakukan poligami
adalah al-Qur'an surah An-Nisa: 3 dan 129, maka perlu kita melihat pendapat
para ulama tentang kedua ayat tersebut.
1. Pendapat ulama klasik
Selama sekitar
1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud
al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai
bolehnya poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab
kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti).[69]
Para imam yang
empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah,
sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat kita lihat pendapat mereka
dalam kitab "al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah", pada
pembahasan pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri.[70]
Demikian juga
bisa kita lihat, dalam pembahasan sebelumnya pendapat ulama terutama para (mufassir),
baik Thabari ataupun Ar-Razi, bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa
berlaku adil. Sedangkan ulama yang lain yaitu Al-Jashshash yang juga intensif
mengupas poligami, menurut Jashshash bahwa poligami bersifat boleh (mubah).
Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil diantara para
istri, termasuk material, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan
sejenisnya. Kedua kebutuhan non material, seperti rasa kasih sayang,
kecendrungan hati dan semacamnya. Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan
berbuat adil di bidang non material ini amat berat.[71]Demikian
juga Zamahsyari berpandangan bahwa poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan
jumlah wanita yang boleh dinikahi bagi laki-laki yang bisa berbuat adil, bukan
empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua tambah tiga tambah
empat sama dengan sembilan.[72]
Para ilmuan klasik (fuqaha) berpendapat, bahwa Allah
mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan di sini
ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam kasih
sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, namun, selama kemampuan berbuat adil di
bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan, izin untuk berpoligami menjadi
sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk mendudung ide
ini adalah, bahwa nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengan
ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin.[73]
Pendapat Ulama Kontenporer.
Sebagaimana telah kita paparkan diatas pendapat ulama
klasik dalam poligami, dan perlu juga kita membaca bagaimana pandangan pemikir
kontemporer dalam menyikapi poligami.
Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu
perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam
keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan
bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk
dalam bidang nafkah, mu'amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi
calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[74]
Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan
sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir,
dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir
dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih
dipraktekkan secara luas.[75]
Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar
pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya
dan tidak membuat kerusakan.[76] Muhammad
Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami,
bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya)
seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam
kondisi darurat saja.[77]
Sedangkan M. Syahrul berpendapat, bahwa menikah
(poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak
yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus
janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[78]
Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas, bertolak pada pemahamn surat an-Nisa' ayat 3 dan 129,
tentang poligami terjadi perbedaan pandangan dalam memahami dan menafsirinya.
Kalangan feminis, kaum liberal dan para ulama klasik serta ulama kontemporer-pun
terjadi perbedaan dalam memahaminya. Para Ulama klasik yaitu imam madzhab
al-arba' sepakat bahwa poligami adalah diperbolehkan demikian juga para
mufassir klasik seperti Imam al-Thabari,
al-Razi, dan zamahsyari, bahwa poligami adalah diperbolehkan karena mereka
memandang bahwa faktor keadilan ditekankan dan dianjurkan serta berpandangan
bahwa manusia mampu untuk berlaku adil akan tetapi menurut pemikir kontemporer,
Muhammad Abduh dan juga para feminis Amina Wadud, Asghar Ali Enggineer bahwa
keadailan adalah suatu yang muthlak maka tanpa keadilan pada dasarnya poligami
dilarang, dan tidak mungkin manusia mampu berbuat adil.
Dalam Islam, poligami telah jelas
termaktub dalam Al-Qur'an. Ulama, para mufassir, kaum feminis, kaum liberal
serta pemikir kontemporer, mereka berbeda dalam memandang poligami ada yang
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan, karena adanya perbedaan dalam
memahami dan menafsirkan makna keadilan yang ada. Pada dasarnya ketika melihat
orang yang melakukan poligami dimasyarakat karena mereka memandang dan
berpedoman dengan pandangan ulama yang membolehkan, ketika terjadi penyimpangan dalam praktek di
masyarakat, maka bukan sistem ajaran Islamnya
yang salah tetapi faktor individu. Demikian juga orang yang tidak
berpoligami tetapi melakukan bentuk pernikahan monogami ketika terjadi
penyimpangan dalam peraktik dimasyarakat, maka bukanlah sistem ajaran Islam
yang salah tetapi karena faktor individu itu sendiri. Semoga Allah selalu
menunjukkan dan membimbing kita kepada jalan yang benar, amin.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Al-Qur'an al-Kariem dan Terjemahanya, Al-Jumanatul Ali-Art.
Abdul Halim, Abu Syuqqah, Pembebasan Wanita, Gema Insani press, Jakarta,
1998.
An-Naim, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syare'ah, (LkiS,
Jogjakarta 1997)
Al-Sibai, Musthafa, Wanita diantara Hukum dan
Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, (Bulan Bintang, Jakarta, 1977).
Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib
al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor),
(Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa
Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005).
Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib
Al-Arba’ah, (Beirut : Darul Fikr, Juz IV, 1996,)
Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur'an, (Dar Al-Kitab Al-Islamiya,
Beirut,tt, II).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta).
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan Dalam
Islam, (Yayasan bentang Budaya Yogyakarta, 1994).
Ensiklopedi Indonesia, Jilid 5, (Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta1988).
Haeem, Ali Hosein, Membela Perempuan: Menakar
Feminisme dengan Nalar Agama, (Penerbit Al Huda, Jakarta, 2005).
Harder, Nelly Van Doorn, Menimbang Tafsir Perempuan
Terhadap Al-Qur’an, (Pustaka Percik, hlm. 43, Salatiga, 2008).
Husen, Abdurrahman, Hitam Putih
poligami, (Lembaga Penerbit Fakultas Ekonnomi UI, 2007).
Ismail, Dr. Nurjannah, Perempuan
Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, (Penerbit LKiS, Yogyakarta,
2003).
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an, (Penerbit
Pustaka, Bandung 1994).
Mulia, Prof. DR. Siti Musda, Poligami Siapa Takut,
(Perdebatan seputar Poligami), (PT.Surya Citra Televisi.
Muthahhari, Murtada, Duduk Perkara Poligami, PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta 2007).
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, (Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama,hlm. 47- 48, Jakarta, 2004).
Mursalin, Supardi, Menolak Poligami Studi Tentang
Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Pustaka Pelajar, hlm. 17,
Yogyakarta,2007).
M. Nashirudin, M.Ag-Sidik Hasan, M.Ag,
Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Jaring Pena,
Surabaya, 2009).
Nasution, Khoiruddin., Riba dan Poligami sebuah studi
atas Pemikiran Muhammad Abduh, pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996.
Ridha, Muhammad Roasyid, Panggilan Islam Terhadap Wanita,
(Penerbit Pustaka, , Bandung, 1994).
Sabiq, Sayyid, Figh al-Sunnah jilid 2, (Dar
al-Fikr, Beirut, 1977).
Thaha, Mahmud Muhammad,
Arus Balik Syari'ah, (Lkis, Jogjakarta 2003).
B.
KITAB HADITS
Ad-Darimi, Muhamma, Sunan
Ad-darimi, (Daarul Kitab, Beirut, II, 193, cet. Pertama, 1407).
Ali Baihaqi, sunan al Kubra, juz II, (Majlis Dairotu
al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kainah, Hindia,
cet. Pertama.1344).
Imam Muslim, Shohih Muslim, Daru Ihya'u
al-Thurats Al-Arobi, tt. Beirut.
Ibnu Hibban, Shohih Ibnu
Hibban
Ali Al- Baihaki, Sunan
Baihaqi, Majlis Daairoh al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kaainah, Hindia, 1344 H.
Sunan Ibnu Majah
C.
KITAB TAFSIR
Ath-Thabari, Jami' al-Bayan Fi Ta'wili
Al-Qur'an, (Muassasah Al-Risalah, V:532, Cetakan pertama, 2000)
Ar-Razi, Imam Fahruddin,
Mafaatihu al-Ghoib, (Darul Kutub, IX : 139, Beirut, 2000).
Zamahsyari, Al-Kasyaaf, http://www.altafsir.com.I
Qutub, Sayyid, Tafsir fi dhilali al-Qur'an, Dar
al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961, IV.
Ridha, Rasyid, Tafsir
Al-Manar, Dar Al-Fikr,tt.IV .
D. WEBSITE
Sa1ma, Abu, Artikel
Poligami dihujat (jawaban rasional bagi para penghujat syare'at dan sunnah
poligami), lihat http://dear.to/abusalma, Robi’ ats-Tsani 13 /
2007, Mei 1
[1]Poligami : menikahi wanita lebih dari
satu baik dilakukan bersamaan maupun tidak. Akan tetapi,
dalam Kamus Besar Indonesia dikatakan
bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. Definisi poligami
dalam Kamus besar Indonesia ini perlu dicermati. Kalimat salah satu pihak bisa
diartikan pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Pada kenyataanya pihak laki-laki yang
melakukan hal tersebut. Yang kedua kalimat lawan jenisnya dan dalam waktu
bersamaan ini juga perlu kita cermati.
[2] Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi
Syare'ah, LkiS, Jogjakarta 1997, hlm. 338.
[3]Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam
Al-Qur'an, Penerbit Pustaka, Bandung 1994, hlm. 114,
[4]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik
Syari'ah, LkiS, Jogjakarta 2003, hlm. 167.
[5]Prof. DR. Siti Musda Mulia, Poligami
Siapa Takut, (Perdebatan seputar Poligami), PT.Surya Citra Televisi. hlm.
25.
[8]Liahat Al-Qur'an Surat Al-Isro' ayat : 32
[10]Lihat kitab Shohih Muslim, bab fadhoilu
Fathimah binti Nabi, no. Hadits . 2449, 6463. Lihat Shohih Ibnu Hibban, Juz
15. halaman. 394. no. Hadits. 408, halaman . 455, juz. 28, no. Hadits.7083.
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.693.
[14] Lihat al-Qur'an surat An-Nisa' ayat :3
[16] Komunisme seksual bermakna tak ada eksklusivitas. Berdasarkan
teori ini, tidak ada pria mempunyai hubungan eksklusif dengan seorang perempuan
tertentu dan tidak ada perempuan yang terpaut secara eksklusif kepada seorang
pria tertentu. Ia berpuncak pada penolakan total terhadap kehidupan keluarga.
[18] Ali Hosein Haeem, Membela Perempuan: Menakar
Feminisme dengan Nalar Agama, Penerbit Al Huda, Jakarta, 2005.hlm 176.
[19] Nelly Van Doorn-Harder, Menimbang Tafsir
Perempuan Terhadap Al-Qur’an, Pustaka Percik, Salatiga, 2008, hlm. 43.
[20] Muhammad Roasyid Ridha, Panggilan Islam
Terhadap Wanita, Penerbit Pustaka, Bandung, 1994, hlm.55.
[24] Musthafa al-Sibai, Wanita diantara Hukum dan
Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta, Bulan Bintang, 1977,
hlm. 100.
[28] Anabaptis adalah orang Kristen
yang dimasukkan ke dalam kategori Reformasi Radikal.
Mereka tidak memiliki suatu organisasi yang resmi dan memiliki berbagai-bagai
variasi. Sepanjang sejarah ada banyak kelompok Kristen yang disebut sebagai
Anabaptis, namun istilah Anabaptis khususnya menunjuk kepada kelompok Anabaptis
pada abad
ke-16 di Eropa.Saat ini dari kelompok abad ke-16 tersebut yang
masih tertinggal adalah kaum Amish, Hutterit, Mennonit,
Gereja Persaudaraan,
Persaudaraan Kristen,
dan beberapa variasi Gereja Baptis Jerman
lainnya.
Baptisan orang percaya
merupakan salah satu ciri utama kepercayaan kaum Anabaptis, dan mereka menolak baptisan
untuk anak bayi oleh orang tua mereka. Kepercayaan ini ditentang keras oleh
kelompok Kristen Protestan lainnya pada periode itu, oleh
sebab itu anggota kelompok ini dianiaya dan banyak yang dihukum
mati selama abad ke-16 hingga abad
ke-17.
[31] Lihat Al-Qur'an Surat
an-Nahl ayat : 125.
[32] Ibid. Hlm. 179.
[33]Siti
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami,Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama,hlm. 47- 48, Jakarta,
2004. Juga lihat , Drs. Supardi mursalin M.Ag., Menolak
Poligami Studi Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, Hlm.21
[37] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu. Sebelum ayat ini turun, poligami sudah ada dan pernah pula dijalankan
oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Lihat al-Qur'an dan
tarjamahanya, Penerbit Al-Jumanatul Ali-Art, hlm.78.
[38] Perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti
pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Lihat
al-Qur'an dan tarjamahanya, Penerbit Al-Jumanatul Ali-Art, hlm.78-79.
[39]Ath-Thabari, Jami' al-Bayan Fi Ta'wili
Al-Qur'an, Muassasah Al-Risalah, , Cetakan pertama, 2000, V, hlm. 532.
[41] Dr. Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan
Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 214.
[42] Abdul Halim Abu
Syuqqah, Pembebasan Wanita, hlm. 388-389.
[43]Imam Fahruddin ar-Razi, Mafaatihu
al-Ghoib, Darul Kutub, Beirut, 2000,
IX , hlm. 139
[44]Ibid,
IX:139.
[45] Ibid, IX : 140.
[46] Ibid, IX : 140.
[47] Ibid, IX : 140.
[48] Dr. Nurjannah Ismail,
Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, hlm.218-219.
[49] Amina Wadud Muhsin, Wanita
di Dalam Al-Qur'an, hlm. 111-112.
[50] Asghar Ali Engineer, Hak-hak
Perempuan Dalam Islam, Yayasan bintang Budaya, Yogyakarta,
1994, hlm. 142.
[51]Abdullahi Ahmed An-Na'im (dari Sudan) adalah
Seorang ulama Islam yang diakui secara internasional dan hak asasi manusia dan
hak asasi manusia dalam perspektif lintas budaya, Profesor An-Na'im mengajar
program dalam hukum internasional, hak asasi manusia dan hukum Islam. Minat
penelitiannya meliputi konstitusionalisme di negara-negara Islam dan Afrika,
dan Islam dan politik. Profesor An-Na'im memimpin proyek penelitian berikut yang fokus pada
strategi advokasi untuk reformasi melalui transformasi budaya internal:
[52] Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syare'ah,
hlm. 338.
[55]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik
Syari'ah, hlm. 167.
[65] Lihat Sunan Baihaqi,
juz .2, no hadits. 15197, Muslim, juz. 4. no. hadits. 2449, 6463, Ibnu Majah,
bab al-Ghiroh, juz . 6, no hadits 2077, Ibnu Hibban, jus. 15, no hadits. 536
dan juz 29, no hadits. 7185. Jaami' al-Ushul, No Hadts, 9066.
[66] Ali Baihaqi, sunan al Kubra, juz II, Majlis Dairotu
al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kainah, Hindia,
cet. Pertama.1344, hlm. 291,
[67]Ibnu
Atsir, Jami' Al-Ushul Min Ahaadits al-Rosul, Multaqo Ahlul Hadits, www.ahlalhdeeth.com,
Juz I, No. Hadits 9066, hlm. 9180
[68]Abu Sa1ma, Artikel Poligami dihujat (jawaban rasional
bagi para penghujat syare'at dan sunnah poligami), lihat http://dear.to/abusalma, Robi’
ats-Tsani 13 / 2007, Mei 1
[70]Abdurrhaman
Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib
Al-Arba’ah, Beirut
: Darul Fikr, 1996, Juz IV hlm. 206-217.
[71] Al-Jashshash, Ahkam
Al-Qur'an, Dar Al-Kitab Al-Islamiya, Beirut,tt,
II.50.
[73] Drs. Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami
sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996,
hlm. 99.
[78]M. Nashirudin, M.Ag-Sidik Hasan, M.Ag, Poros-poros
Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, Jaring Pena, Surabaya,
2009, hlm. 249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar