Kamis, 12 Mei 2016

MENGENAL PESANTREN DARI DEKAT



MENGENAL PESANTREN DARI DEKAT
Oleh: Yuwan Ebit Saputro

Menurut K.H. Drs. M. Rifa’i Pondok Peantren adalah suatu lembaga pendidikan agama dan pengajaran ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sedangkan menurut mochtar Buchori pesantren merupakan bagian dari struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Dalam definisi lain pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Meski mayoritas peneliti sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia, namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat proses lahirnya pesantren tersebut. Antara lain.
Pertama, Menurut Th. G. Th. Pigeaud, dan Nurcholis Majid, dan lain-lain mereka menyatakan bahwa pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra Islam. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independent yang pada awalnya mengisolasi diri disebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan. Secara lebih spesifik, dinyatakan bahwa pesantren mempunyai kesinambungan dari lembaga keagamaan pra Islam disebabkan adanya beberapa kesamaan antara keduanya, Misalnya:
a.    Letak dan posisi keduanya yang cenderung mengisolasi diri dari pusat keramaian.
b.   Adanya ikatan “Kebapakan” antara guru dan murid sebagai ditunjukkan kyai dan santri.
c.  Kebiasaan ber’uzlah (berkelana) guna melakukan pencarian ruhani dari tempat ke tempat lainnya.
Beberapa faktor inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk berkesimpulan bahwa pesantren merupakan suatu bentuk Indegineous Culture yang muncul bersama waktunya dengan penyebaran misi dakwah Islam di Kepulauan Nusantara.
Kedua, menurut Martin Van Bruinessen, Abdur Rahman Mas’ud, dan lain-lain menyatakan bahwa pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di pesantren. Pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar dengan sistem model sistem pendidikan pada akhir abad ke 18 M.
Pesantren merupakan kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat, bukan antara Islam dengan Hindu.
Alwi Syihab pernah menyatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung dimasyarakat luas. Islam pun berkembang pesat, khususnya didaerah-daerah pesisir yang kebetulan menjadi pusat-pusat perdagangan antara daerah bahkan antar Negara. Bahkan dari hasil penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai antara Jawa seperti Giri (Gresik), Ampel (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam bergerak masuk kedaerah-daerah perdalaman. Kemudian para guru agama atau Kyai membangun padepokan baru sebagai pusat pengajian para santri dan menyiarkan Islam keseluruh pelosok Negeri.
2.   Ciri-Ciri Umum Pembelajaran Pesantren, Menurut KH. Drs. M. Rifa’I ciri-ciri pondok pesantren adalah :
a.    Adanya kyai
b.    Adanya santri
c.    Adanya masjid dan tempat shalat
d.   Adanya madrasah atau tempat menuntut ilmu
e.    Adanya pondok atau tempat bermalam
Sedangkan menurut Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul “beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini” menyatakan bahwa ciri-ciri pesantren (pendidikan tradisional) adalah:
a.    Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri
b.    Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai
c.    Pola hidup sederhana (zuhud)
d.   Kemandirian adalah independensi
e.    Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan.
f.     Disiplin ketat.
g.    Berani menderita untuk mencapai tujuan
h.    Kehidupan dengan tingkat relegius yang tinggi.
Senada dengan Mukti Ali, Alasyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas terdapat dalam pesantren, yaitu :
a.    Independent
b.    Kepemimpinan tunggal
c.    Kebrsamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan
d.   Kegotongroyongan
e.    Motivasi yang terarah dan pada umumna mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.
3.   Sistem Pendidikan atau Metode Pengajaran
Pada beberapa sistem pendidikan atau metode pengajaran yang diterapkan dalam pesantren walaupun tidak semua diterapkan, antara lain:
a.   Halaqah
Berarti lingkaran murid atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbinga seorang ustadz dalam satu tempat. Halaqoh ini juga merupakan sebutan bagi situasi dan kondisi selama berlangsungnya metode bandongan, di mana sekelompok santri berkumpul untuk belajar di bawah bimbingan seorang kyai.
b. Sorogan
Merupakan metode pengajaran individu yang dilaksanakan di Pesantren. Dalam aplikasinya metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu : Pertama, bagi santri pemula mereka mendatangi seorang ustadz atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu. Kedua, santri senior mendatangi seorang ustadz atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu supaya sang ustadz atau kyai tersebut mendengarkan sekaligus memberi koreksi terhadap bacaan mereka.
c. Bandongan atau Wetonan
Adalah metode pengajaran kolektif dimana santri secara bersama-sama mendengarkan seorang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa arab tertentu.
d. Hafalan aau Tahfizh
Hafalan pada umumnya diterapkan pada Al-Qur’an atau pada mata pelajaran yang bersifat nadhom (syair), bukan natsar (prosa), dan itupun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah bahasa arab, seperti : Nadhom Al-Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Al-Amtsilah, Al-Tashrifiyah, Al-Kailani, Taqrib, dan sebagainya yang dijadikan sebagai bahan hafalan melalui sistem pengajaran hafalan. Dalam metode ini biasanya santri diberi tugas untuk menghafalkan beberapa bait atau baris dari sebuah kitab, untuk kemudian dibacaka di depan sang kyai atau ustadz. Dalam aplikasinya, metode ini biasanya diterapkan dengan dua cara yaitu :
1)   Pada setiap kali tatap muka, setiap santri diharuskan membacakan tugas-tugas hafalannya dihadapan kyai atau ustadz. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjutkan tugas hafalan berikutnya, sebaliknya, jika belum berhasil, ia diharuskan mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang
2)   Seorang kyai/ustadz menugaskan santrinya untuk mengucapkan bagian tertentu dari hafalan yang telah ditugaskan kepada mereka, atau melanjutkan kalimat atau lafadz yang telah diucapkan oleh gurunya.

e. Hiwar atau Musyawarah
Dalam pemahamannya, metode ini hampir sama dengan metode diskusi-diskusi yang umumnya dikenal. Sistem musyawarah antar pesantren lainnya terkadang berbeda, terkadang dalam pelaksanaannya para santri melakukan kegiatan belajar secara kelompok atau perkelas untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai/ustadz. Kemudian, mereka membagi dalam tiga sub bagian. Yaitu pertama, ma’na (arti) yaitu arti dari kata-perkata/mufradat. kedua, Nahwu (tata bahasa) misalnya kenapa dibaca Rofa’ atau yang lain atau kenapa bacaan tersebut disebut mubtada’ dan Khabar. ketiga, Murad yaitu inti atau topik yang sedang dibahas.
f. Muqoronah
Adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan pertandingan materi, paham (madzhab), metode maupun perbandingan kitab. Oleh karena, sifatnya yang membandingkan, pada umumnya metode ini hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior (ma’had aly). Dan dalam perkembangannya metode ini kemudian terfragmentasi ke dalam untuk perbandingan paham atau aliran.
g. Muhawarah atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Arab. Metode inilah yang kemudian dalam pesantren “Modern” dikenal sebagai metode “Hiwar”. Dalam aplikasinya, metode ini diterapkan dengan menggunakan bahasa arab. Adakalanya hal demikian diterapkan bagi santri selama mereka berada di pesantren dan adakalanya hanya pada jam-jam tertentu saja. Dalam kegiatan pembelajarannya, metode ini pada umumnya dilakukan melalui alternatif cara, sebagai berikut :
1)   Para santri diberikan buku panduan yang berisi daftar kosakata dalam bahasa Arab, contoh-contoh percakapan, serta aturan-aturan lainnya.
2)   Mereka diwajibkan untuk menghafal sejumlah kosa kata dari dari buku panduan tersebut, dan biasanya diberikan target harian.
3)   Kegiatan pembelajaran dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan dipandu oleh seorang ustadz berdasarkan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya secara rutin.
4)   Ustadz melakukan tanya jawab dengan para santri dengan menggunakan bahasa Arab atau ustadz memerintahkan dua santri atau lebih untuk memperagakan tanya jawab dihadapan teman-temannya secara bergiliran.
5)   Pada pesantren yang menjadikan bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai alat komunikasi sehari-hari latihan percakapan tidak hanya dilakukan di kelas dalam waktu tertentu saja, tapi juga dilakukan di mana saja, kapan saja mereka berada di dalam lingkungan pesantren.
6)   Untuk meningkatkan mati rasa santri, pesantren biasanya menciptakan sebuah lingkungan bahasa yaitu dengan memberikan nama-nama benda dan tempat di lingkungan pesantren dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris.
Itulah macam-macam sistem pendidikan atau metode pengajaran di dunia pesantren. Selain hal-hal di atas salah satu keunikan dari pola pendidikan yang dilaksanakan pesantren adalah tujuan pendidikannya yang tidak semata-mata berorientasi memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran (honesty), serta mengajarkan santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren bukannya untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi lebih kepada penanaman bahwa belajar merupakan kewajiban dan bentuk pengabdian (ibadah kepada Allah). Secara lebih rinci, pola pendidikan pesantren meliputi dua aspek.
a.    Pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional baik dalam bentuk pendidikan formal seperti madrasah. Adapun yang menjadi ciri utama dari pendidikan dan pengajaran tradisional adalah stressing pengajaran lebih kepada pemahaman tekstual (letterlijk dan Harfiyah), pendekatan yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesaian pembacaan terhadap sebua kitab atau buku untuk kemudian beralih kepada kitab berikutnya, dan kurikulumnya tidak bersifat klasikal (tidak berdasarkan pada unit mata pelajaran), meskipun kegiatan belajar dan mengajar sudah dilakukan dengan menggunakan sistem madrasah.
b.    Pola umum pendidikan pesantren selalu memelihara Sub Kultur (tata nilai) pesantren yang berdiri di atas landasan ukhrowi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukanmutlak kepada para ulama’, mengutamakan ibadah sebagai wujud pengabdian, serta memuliakan ustadz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Dari pola umum inilah kemudian muncul kecenderungan untuk bertirakat demi mencapai keluhuran jiwa, ikhlas dalam melaksanakan apa saja yang menjadi kepentingan ustadz dan kyai, dan bahkan sampai pada titik yang disebut sebagai loyalitas keIslaman yang mengabaikan penerapan ukuran-ukuran duniawi dalam menjalani kehidupan sebagai seorang santri, kemudian sebagai ciri utama, pola pendidikan pesantren yang memiliki kelebihan, antara lain:
1)   Mampu menanamkan sikap hidup universal secara merata dengan tata nilai (sub-kultur) sebagaimana dijelaskan di atas.
2)   Mampu memelihara tata nilai (sub kultur) pesantren hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan disepanjang perjalanan kehidupan santri.
4.   Elemen-elemen Pesantren
Lahirnya suatu peantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada didalamnya, ada lima elemen pesantren, yaitu : kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajian kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut kitab kuning.
Namun dalam perkembangan dan kemajuan peradaban telah mendorong pesantren untuk mengadopsi ragam elemen. Misalnya menegaskan bahwa sistem pendidikan pesantren harus memiliki infrastruktur maupun suprastruktur penunjang. Infrastruktur dapat meliputi perangkat lunak (sofware), seperti kurikulum, metode pembelajaran, dan perangkat keras (Hardware), seperti bangunan pondok, masjid, sarana dan prasarana belajar (laboratorium, komputer, perpustakaan, tempat praktek, dan lain-ain). Sedangkan suprastruktur pesantren meliputi yayasan, kyai, santri, ustadz, pengasuh dan para pengurus.
Dengan kata lain, perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku seperti kyai, santri, dan sebagainya. Perangkat keras pesantren seperti masjid, pondok, asrama, rumah kyai, dan sebagainya. Serta perangkat lunak seperti tujuan, kurikulum, metode pengajaran, evaluasi dan alat-alat penunjang pendidikan lainnya.
Namun, supaya tidak terjebak pada pengklasifikasikan sebagaimana di atas, beberapa sub bahasan di bawah ini hanya akan membicarakan elemen pada umumnya, yaitu :

a.             Kyai
Kyai adalah seorang yang menuntut ilmu karena Allah dan mengamalkannya juga karena Allah atau Ikhlas. Menurut asal mulanya perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk dua jenis gelar yang berbeda.
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai garuda kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
Kedua, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang terkadang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.
Kyai dalam pembahasan ini mengacu pada pengertian kedua, yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin adama Islam atau pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan “Teuku”, sedangkan di Sumatera Utara dinamakan “Buya”.
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat dilingkungan pesantren. Disamping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karena itu, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya sangat bergantung pada peran seorang kyai.
Dalam perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kyai ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama’ yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren. Dengan kata lain, bahwa gelar kyai tetap dipakai bagi seorang ulama’ yang mempunyai ikatan primordial dengan kelompok Islam tradisional. Bahkan juga dipakai untuk da’i atau mubaligh.
Sejak Islam tersebar dipelosok Jawa, terutama sejak abad 13 dan 14 Masehi, para kyai memperoleh sosial yang tinggi. Kyai memperlihatkan daya tawar yang tinggi, walaupun sebagian kyai tinggal di desa jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintah, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elit masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi mapun sosial budaya. Kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and autority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar dan besar pengaruhnya.
Peran penting kyai terus signifikan, kyai dianggap memiliki pengaruh sosial dan politik, karena memiliki ribuan santri yang taat dan patuh serta mempunyai ikatan primordial (pation) dengan lingkungan masayarakat sekitarnya. Dengan kelebihan ini banyak kyai dan pesantren sering dilibatkan dalam momen-momen politik, baik ketika pemilu maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit pula kyai yang duduk sebagai pejabat Eksekutif maupun anggota Legislatif.
b.  Pondok
Pesantren dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Asrama para santri tersebut berada di lingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal kyai, masjid, ruang untuk mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lainnya.
Berikut beberapa alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok (asrama) seperti :
1)   Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Sehingga untuk keperluan itulah seorang santri harus menetap.
2)   Dahulu banyak pesantren berada di desa-desa terpencil jauh dari keramaian, dengan demikian diperlukan pondok khusus. Dan hal ini berlanjut hingga sekarang.
3)   Adanya timbal balik dari santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memerlukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Manfaat beberapa alasan di atas, kedudukan pondok juga besar manfaatnya. Dengan sistem pondok santri dapat konsentrasi belajar sepanjang hari. Kehidupan dengan model pondok atau asrama juga sangat mendukung bagi proses pembentukan kepribadian santri baik dalam tata cara bergaul dan bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Pelajaran diperoleh di kelas dapat sekaligus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-haridi lingkungan pesantren. Di luar semua telah disebutkan di atas ada khas ciri-ciri pondok, yaitu adanya pemisahan antara tempat tinggal santri laki-laki dengan perempuan. Sekat pemisah itu biasanya berupa rumah kyai dan keluarga, masjid, atau ruang kelas.
c.  Masjid
Masjid adalah tempat ibadahnya umat Islam sekaligus sebagai pusat aktifitas dakwah dan pendidikan umat Islam. Secara etimologis masjid berasal dari bahasa Arab “Sajada” yang artinya patuh, taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren yang pertama-tama menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai simbol yang tidak terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai tempat praktek ritual ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab klasik dan aktifitas lainnya.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya telah terjadi proses kesinambungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim berada, masjid menjadi pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan adminstrasi dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling representatif untuk menyelenggarakan pendidikan adalah suatu kontinuitas, ketika pengenalan pengajaran al-Qur’an baik melalui TPA ataupun TPQ dilaksanakan di masjid-masjid. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan Islam berdampak pada tiga hal, yaitu :
1)   Mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah.
2)   Menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.
3)   Memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian dan semangat hidup dalam beragama.
Walaupun sekarang model pendidikan dipesantren mulai dialihkan dikelas-kelas, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya. Para kyai masih setia menyelenggarakan pengajaran di masjid.
d.  Santri
Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Pada umumnya santri terbagi dua kategori yaitu :
1)   Santri Mukim
Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan kelompok yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri junior tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Terkadang dalam sebuah pesantren terdapat santri yang merupakan putra-putri kyai dari pesantren lain yang juga belajar disana. Mereka biasa memperoleh perlakuan istimewa dari kyai, santri-santri berdarah kyai inilah yang nantinya diharapkan menggantikan ayahnya dalam mengasuh pesantren asalnya.
2)   Santri Kalong
Yaitu para siswa yang berasal dari desa disekitar pesantren. Mereka bolak-balik (Nglajo) dari rumahnya sendiri.
Seorang santri lebih memilih menetap di suatu pesantren karena :
Pertama, berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih dalam
Kedua, berkeinginan memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren lain. Ketiga, berkeinginan memusatkan perhatian pada studi pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah, walaupun sebenarnya santri ingin di rumah.
e.       Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-ktab klasik, khususnya berbahasa Arab dan tanpa kharakat atau sering disebut kitab gundul, merupakan metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia.
Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, khalaf, modern, pondok takhasus al-Qur’an dan boleh jadi lembaga pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren sangat bersifat personal.
Keseluruhan  kitab-kitab klasik diajarkan di pesantren dapat digolongkan dalam beberapakelompok, seperti:
1)   Al-Qur’an dan Tafsirnya, 2)   Nahwu (Sintaksis), 3)   Shorof (morfologi), 4)   Fiqih, 5)   Ushul fiqh, 6)   Hadits, 7)   Tauhid, 8)   Tasawuf dan etika, 9)   Cabang-cabang lain seperti balaghoh, Falak, dan sebagainya.
Dari kitab-kitab di atas dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitab-kitab besar. Secara umum kitab yang diajarkan pesantren adalah sama jenisnya. Misalnya, kitab-kitab Fiqih seperti Sullam Taufiq, Fathul qarib hingga Fathul Mu’in. Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan dikalangan santri. Dalam kajian kitab klasik tidak sekedar membaca teks secara hitam putih, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan atau penjelasan baik isi maupun bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar