MENGENAL PESANTREN DARI DEKAT
Oleh: Yuwan Ebit Saputro
Menurut K.H. Drs. M. Rifa’i Pondok Peantren adalah suatu lembaga
pendidikan agama dan pengajaran ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri
tertentu. Sedangkan menurut mochtar Buchori pesantren merupakan bagian dari
struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara
tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Dalam definisi lain
pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Meski mayoritas peneliti sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan
tradisional asli Indonesia, namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam
melihat proses lahirnya pesantren tersebut. Antara lain.
Pertama, Menurut Th. G. Th. Pigeaud, dan Nurcholis Majid, dan
lain-lain mereka menyatakan bahwa pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak
bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra Islam. Pesantren
merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem
pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam
khasanah lembaga pendidikan pra Islam. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas
independent yang pada awalnya mengisolasi diri disebuah tempat yang jauh dari
pusat perkotaan. Secara lebih spesifik, dinyatakan bahwa pesantren mempunyai
kesinambungan dari lembaga keagamaan pra Islam disebabkan adanya beberapa
kesamaan antara keduanya, Misalnya:
a. Letak dan posisi
keduanya yang cenderung mengisolasi diri dari pusat keramaian.
b. Adanya ikatan
“Kebapakan” antara guru dan murid sebagai ditunjukkan kyai dan santri.
c. Kebiasaan ber’uzlah
(berkelana) guna melakukan pencarian ruhani dari tempat ke tempat lainnya.
Beberapa faktor inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan
untuk berkesimpulan bahwa pesantren merupakan suatu bentuk Indegineous Culture
yang muncul bersama waktunya dengan penyebaran misi dakwah Islam di Kepulauan
Nusantara.
Kedua, menurut Martin Van Bruinessen, Abdur Rahman Mas’ud, dan
lain-lain menyatakan bahwa pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam
Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa
lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan
tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di pesantren.
Pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di
Al-Azhar dengan sistem model sistem pendidikan pada akhir abad ke 18 M.
Pesantren merupakan kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan
tarekat, bukan antara Islam dengan Hindu.
Alwi Syihab pernah menyatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim
merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan
menggembleng para santri. Tujuannya, agar para santri menjadi juru dakwah yang
mahir sebelum mereka diterjunkan langsung dimasyarakat luas. Islam pun
berkembang pesat, khususnya didaerah-daerah pesisir yang kebetulan menjadi
pusat-pusat perdagangan antara daerah bahkan antar Negara. Bahkan dari hasil
penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan cikal bakal
pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang
pantai antara Jawa seperti Giri (Gresik), Ampel (Surabaya), Bonang (Tuban),
Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam bergerak masuk
kedaerah-daerah perdalaman. Kemudian para guru agama atau Kyai membangun
padepokan baru sebagai pusat pengajian para santri dan menyiarkan Islam
keseluruh pelosok Negeri.
2. Ciri-Ciri Umum
Pembelajaran Pesantren, Menurut KH.
Drs. M. Rifa’I ciri-ciri pondok pesantren adalah :
a. Adanya kyai
b. Adanya santri
c. Adanya masjid dan
tempat shalat
d. Adanya madrasah atau
tempat menuntut ilmu
e. Adanya pondok atau
tempat bermalam
Sedangkan menurut Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul “beberapa
Persoalan Agama Dewasa Ini” menyatakan bahwa ciri-ciri pesantren (pendidikan
tradisional) adalah:
a. Adanya hubungan yang
akrab antara kyai dan santri
b. Tradisi ketundukan dan
kepatuhan seorang santri terhadap kyai
c. Pola hidup sederhana
(zuhud)
d. Kemandirian adalah
independensi
e. Berkembangnya iklim dan
tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan.
f. Disiplin ketat.
g. Berani menderita untuk
mencapai tujuan
h. Kehidupan dengan
tingkat relegius yang tinggi.
Senada dengan Mukti Ali, Alasyah Ratu Prawiranegara juga
mengemukakan beberapa pola umum yang khas terdapat dalam pesantren, yaitu :
a. Independent
b. Kepemimpinan tunggal
c. Kebrsamaan dalam hidup
yang merefleksikan kerukunan
d. Kegotongroyongan
e. Motivasi yang terarah
dan pada umumna mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.
3. Sistem Pendidikan atau
Metode Pengajaran
Pada beberapa sistem pendidikan atau metode pengajaran yang
diterapkan dalam pesantren walaupun tidak semua diterapkan, antara lain:
a. Halaqah
Berarti lingkaran murid atau sekelompok santri yang belajar di
bawah bimbinga seorang ustadz dalam satu tempat. Halaqoh ini juga merupakan
sebutan bagi situasi dan kondisi selama berlangsungnya metode bandongan, di
mana sekelompok santri berkumpul untuk belajar di bawah bimbingan seorang kyai.
b. Sorogan
Merupakan metode pengajaran individu yang dilaksanakan di
Pesantren. Dalam aplikasinya metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu :
Pertama, bagi santri pemula mereka mendatangi seorang ustadz atau kyai yang
akan membacakan kitab tertentu. Kedua, santri senior mendatangi seorang ustadz
atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu supaya sang ustadz atau kyai
tersebut mendengarkan sekaligus memberi koreksi terhadap bacaan mereka.
c. Bandongan atau
Wetonan
Adalah metode pengajaran kolektif dimana santri secara bersama-sama
mendengarkan seorang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan
mengulas kitab berbahasa arab tertentu.
d. Hafalan aau Tahfizh
Hafalan pada umumnya diterapkan pada Al-Qur’an atau pada mata
pelajaran yang bersifat nadhom (syair), bukan natsar (prosa), dan itupun pada
umumnya terbatas pada ilmu kaidah bahasa arab, seperti : Nadhom Al-Imrithi,
Alfiyyah Ibnu Malik, Al-Amtsilah, Al-Tashrifiyah, Al-Kailani, Taqrib, dan
sebagainya yang dijadikan sebagai bahan hafalan melalui sistem pengajaran
hafalan. Dalam metode ini biasanya santri diberi tugas untuk menghafalkan
beberapa bait atau baris dari sebuah kitab, untuk kemudian dibacaka di depan
sang kyai atau ustadz. Dalam aplikasinya, metode ini biasanya diterapkan dengan
dua cara yaitu :
1) Pada setiap kali tatap
muka, setiap santri diharuskan membacakan tugas-tugas hafalannya dihadapan kyai
atau ustadz. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjutkan
tugas hafalan berikutnya, sebaliknya, jika belum berhasil, ia diharuskan
mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan
datang
2) Seorang kyai/ustadz
menugaskan santrinya untuk mengucapkan bagian tertentu dari hafalan yang telah
ditugaskan kepada mereka, atau melanjutkan kalimat atau lafadz yang telah
diucapkan oleh gurunya.
e. Hiwar atau Musyawarah
Dalam pemahamannya, metode ini hampir sama dengan metode
diskusi-diskusi yang umumnya dikenal. Sistem musyawarah antar pesantren lainnya
terkadang berbeda, terkadang dalam pelaksanaannya para santri melakukan
kegiatan belajar secara kelompok atau perkelas untuk membahas materi kitab yang
telah diajarkan oleh kyai/ustadz. Kemudian, mereka membagi dalam tiga sub
bagian. Yaitu pertama, ma’na (arti) yaitu arti dari kata-perkata/mufradat.
kedua, Nahwu (tata bahasa) misalnya kenapa dibaca Rofa’ atau yang lain atau
kenapa bacaan tersebut disebut mubtada’ dan Khabar. ketiga, Murad yaitu inti
atau topik yang sedang dibahas.
f. Muqoronah
Adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan pertandingan
materi, paham (madzhab), metode maupun perbandingan kitab. Oleh karena,
sifatnya yang membandingkan, pada umumnya metode ini hanya diterapkan pada
kelas-kelas santri senior (ma’had aly). Dan dalam perkembangannya metode ini
kemudian terfragmentasi ke dalam untuk perbandingan paham atau aliran.
g. Muhawarah atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan
bahasa Arab. Metode inilah yang kemudian dalam pesantren “Modern” dikenal
sebagai metode “Hiwar”. Dalam aplikasinya, metode ini diterapkan dengan
menggunakan bahasa arab. Adakalanya hal demikian diterapkan bagi santri selama
mereka berada di pesantren dan adakalanya hanya pada jam-jam tertentu saja.
Dalam kegiatan pembelajarannya, metode ini pada umumnya dilakukan melalui
alternatif cara, sebagai berikut :
1) Para santri diberikan
buku panduan yang berisi daftar kosakata dalam bahasa Arab, contoh-contoh
percakapan, serta aturan-aturan lainnya.
2) Mereka diwajibkan untuk
menghafal sejumlah kosa kata dari dari buku panduan tersebut, dan biasanya
diberikan target harian.
3) Kegiatan pembelajaran
dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan dipandu oleh seorang ustadz
berdasarkan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya secara rutin.
4) Ustadz melakukan tanya
jawab dengan para santri dengan menggunakan bahasa Arab atau ustadz
memerintahkan dua santri atau lebih untuk memperagakan tanya jawab dihadapan
teman-temannya secara bergiliran.
5) Pada pesantren yang
menjadikan bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai alat komunikasi sehari-hari
latihan percakapan tidak hanya dilakukan di kelas dalam waktu tertentu saja,
tapi juga dilakukan di mana saja, kapan saja mereka berada di dalam lingkungan
pesantren.
6) Untuk meningkatkan mati
rasa santri, pesantren biasanya menciptakan sebuah lingkungan bahasa yaitu
dengan memberikan nama-nama benda dan tempat di lingkungan pesantren dengan
menggunakan bahasa Arab atau Inggris.
Itulah macam-macam sistem pendidikan atau metode pengajaran di
dunia pesantren. Selain hal-hal di atas salah satu keunikan dari pola
pendidikan yang dilaksanakan pesantren adalah tujuan pendidikannya yang tidak
semata-mata berorientasi memperkaya pikiran santri dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
humanistik, mengajarkan kejujuran (honesty), serta mengajarkan santri untuk
hidup sederhana dan bersih hati. Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren
bukannya untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi,
tetapi lebih kepada penanaman bahwa belajar merupakan kewajiban dan bentuk
pengabdian (ibadah kepada Allah). Secara lebih rinci, pola pendidikan pesantren
meliputi dua aspek.
a. Pendidikan dan
pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode, dan bahkan literatur yang
bersifat tradisional baik dalam bentuk pendidikan formal seperti madrasah.
Adapun yang menjadi ciri utama dari pendidikan dan pengajaran tradisional
adalah stressing pengajaran lebih kepada pemahaman tekstual (letterlijk dan
Harfiyah), pendekatan yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesaian
pembacaan terhadap sebua kitab atau buku untuk kemudian beralih kepada kitab
berikutnya, dan kurikulumnya tidak bersifat klasikal (tidak berdasarkan pada
unit mata pelajaran), meskipun kegiatan belajar dan mengajar sudah dilakukan
dengan menggunakan sistem madrasah.
b. Pola umum pendidikan
pesantren selalu memelihara Sub Kultur (tata nilai) pesantren yang berdiri di
atas landasan ukhrowi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukanmutlak
kepada para ulama’, mengutamakan ibadah sebagai wujud pengabdian, serta
memuliakan ustadz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Dari
pola umum inilah kemudian muncul kecenderungan untuk bertirakat demi mencapai
keluhuran jiwa, ikhlas dalam melaksanakan apa saja yang menjadi kepentingan
ustadz dan kyai, dan bahkan sampai pada titik yang disebut sebagai loyalitas
keIslaman yang mengabaikan penerapan ukuran-ukuran duniawi dalam menjalani
kehidupan sebagai seorang santri, kemudian sebagai ciri utama, pola pendidikan
pesantren yang memiliki kelebihan, antara lain:
1) Mampu menanamkan sikap
hidup universal secara merata dengan tata nilai (sub-kultur) sebagaimana
dijelaskan di atas.
2) Mampu memelihara tata
nilai (sub kultur) pesantren hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek
kehidupan disepanjang perjalanan kehidupan santri.
4. Elemen-elemen Pesantren
Lahirnya suatu peantren berawal dari beberapa elemen dasar yang
selalu ada didalamnya, ada lima elemen pesantren, yaitu : kyai, santri, pondok,
masjid, dan pengajian kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut kitab
kuning.
Namun dalam perkembangan dan kemajuan peradaban telah mendorong
pesantren untuk mengadopsi ragam elemen. Misalnya menegaskan bahwa sistem
pendidikan pesantren harus memiliki infrastruktur maupun suprastruktur
penunjang. Infrastruktur dapat meliputi perangkat lunak (sofware), seperti kurikulum,
metode pembelajaran, dan perangkat keras (Hardware), seperti bangunan pondok,
masjid, sarana dan prasarana belajar (laboratorium, komputer, perpustakaan,
tempat praktek, dan lain-ain). Sedangkan suprastruktur pesantren meliputi
yayasan, kyai, santri, ustadz, pengasuh dan para pengurus.
Dengan kata lain, perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku
seperti kyai, santri, dan sebagainya. Perangkat keras pesantren seperti masjid,
pondok, asrama, rumah kyai, dan sebagainya. Serta perangkat lunak seperti tujuan,
kurikulum, metode pengajaran, evaluasi dan alat-alat penunjang pendidikan
lainnya.
Namun, supaya tidak terjebak pada pengklasifikasikan sebagaimana di
atas, beberapa sub bahasan di bawah ini hanya akan membicarakan elemen pada
umumnya, yaitu :
a. Kyai
Kyai adalah seorang yang menuntut ilmu karena Allah dan
mengamalkannya juga karena Allah atau Ikhlas. Menurut asal mulanya perkataan
kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk dua jenis gelar yang berbeda.
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
sakti dan kramat, misalnya kyai garuda kencana dipakai untuk sebutan kereta
emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
Kedua, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang
ahli agama Islam yang terkadang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.
Kyai dalam pembahasan ini mengacu pada pengertian kedua, yakni
gelar yang diberikan kepada para pemimpin adama Islam atau pondok pesantren dan
mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada santrinya.
Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan “Teuku”,
sedangkan di Sumatera Utara dinamakan “Buya”.
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat
esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang sosok kyai
begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani
oleh masyarakat dilingkungan pesantren. Disamping itu, kyai pondok pesantren
biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang
bersangkutan. Oleh karena itu, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya sangat
bergantung pada peran seorang kyai.
Dalam perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi
para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kyai ini juga dianugerahkan
sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama’ yang mumpuni dalam bidang
ilmu-ilmu keagamaan, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren.
Dengan kata lain, bahwa gelar kyai tetap dipakai bagi seorang ulama’ yang
mempunyai ikatan primordial dengan kelompok Islam tradisional. Bahkan juga
dipakai untuk da’i atau mubaligh.
Sejak Islam tersebar dipelosok Jawa, terutama sejak abad 13 dan 14
Masehi, para kyai memperoleh sosial yang tinggi. Kyai memperlihatkan daya tawar
yang tinggi, walaupun sebagian kyai tinggal di desa jauh dari pusat kekuasaan
dan pemerintah, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elit masyarakat
yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi mapun sosial
budaya. Kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan
kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and autority)
di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani
yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai
lain yang lebih besar dan besar pengaruhnya.
Peran penting kyai terus signifikan, kyai dianggap memiliki
pengaruh sosial dan politik, karena memiliki ribuan santri yang taat dan patuh
serta mempunyai ikatan primordial (pation) dengan lingkungan masayarakat
sekitarnya. Dengan kelebihan ini banyak kyai dan pesantren sering dilibatkan
dalam momen-momen politik, baik ketika pemilu maupun dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tidak sedikit pula kyai yang duduk sebagai pejabat Eksekutif
maupun anggota Legislatif.
b. Pondok
Pesantren dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di
bawah bimbingan seorang kyai. Asrama para santri tersebut berada di lingkungan
komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal kyai, masjid, ruang untuk
mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lainnya.
Berikut beberapa alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok
(asrama) seperti :
1) Kemasyhuran seorang kyai
dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, merupakan daya tarik para santri
dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus
dalam waktu yang sangat lama. Sehingga untuk keperluan itulah seorang santri
harus menetap.
2) Dahulu banyak pesantren
berada di desa-desa terpencil jauh dari keramaian, dengan demikian diperlukan
pondok khusus. Dan hal ini berlanjut hingga sekarang.
3) Adanya timbal balik dari
santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti
bapaknya sendiri, sedangkan kyai memerlukan santri seperti anaknya sendiri
juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban untuk saling
berdekatan secara terus menerus.
Manfaat beberapa alasan di atas, kedudukan pondok juga besar
manfaatnya. Dengan sistem pondok santri dapat konsentrasi belajar sepanjang
hari. Kehidupan dengan model pondok atau asrama juga sangat mendukung bagi
proses pembentukan kepribadian santri baik dalam tata cara bergaul dan
bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Pelajaran diperoleh di kelas dapat
sekaligus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-haridi lingkungan pesantren.
Di luar semua telah disebutkan di atas ada khas ciri-ciri pondok, yaitu adanya
pemisahan antara tempat tinggal santri laki-laki dengan perempuan. Sekat
pemisah itu biasanya berupa rumah kyai dan keluarga, masjid, atau ruang kelas.
c. Masjid
Masjid adalah tempat ibadahnya umat Islam sekaligus sebagai pusat
aktifitas dakwah dan pendidikan umat Islam. Secara etimologis masjid berasal
dari bahasa Arab “Sajada” yang artinya patuh, taat serta tunduk dengan penuh
hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat
aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren yang pertama-tama
menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai simbol yang tidak
terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai tempat praktek ritual
ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab klasik dan aktifitas lainnya.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren
merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan yang pernah
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya telah terjadi proses kesinambungan
fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam. Tradisi penggunaan masjid
sebagai pusat aktifitas kaum muslim berada, masjid menjadi pilihan ideal bagi
tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan adminstrasi
dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan
sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling representatif untuk
menyelenggarakan pendidikan adalah suatu kontinuitas, ketika pengenalan
pengajaran al-Qur’an baik melalui TPA ataupun TPQ dilaksanakan di
masjid-masjid. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan
Islam berdampak pada tiga hal, yaitu :
1) Mendidik anak agar tetap
beribadah dan selalu mengingat kepada Allah.
2) Menanamkan rasa cinta
pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi
sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.
3) Memberikan ketentraman,
kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran,
keberanian dan semangat hidup dalam beragama.
Walaupun sekarang model pendidikan dipesantren mulai dialihkan
dikelas-kelas, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya. Para kyai masih setia
menyelenggarakan pengajaran di masjid.
d. Santri
Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Pada
umumnya santri terbagi dua kategori yaitu :
1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh
dan menetap di pesantren. Santri mukim yang lama tinggal (santri senior) di
pesantren tersebut biasanya merupakan kelompok yang memegang tanggung jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung
jawab mengajar santri junior tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Terkadang
dalam sebuah pesantren terdapat santri yang merupakan putra-putri kyai dari
pesantren lain yang juga belajar disana. Mereka biasa memperoleh perlakuan
istimewa dari kyai, santri-santri berdarah kyai inilah yang nantinya diharapkan
menggantikan ayahnya dalam mengasuh pesantren asalnya.
2) Santri Kalong
Yaitu para siswa yang berasal dari desa disekitar pesantren. Mereka
bolak-balik (Nglajo) dari rumahnya sendiri.
Seorang santri lebih memilih menetap di suatu pesantren karena :
Pertama, berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
Islam secara lebih dalam
Kedua, berkeinginan
memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran,
keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren lain. Ketiga, berkeinginan
memusatkan perhatian pada studi pesantren tanpa harus disibukkan dengan
kewajiban sehari-hari di rumah, walaupun sebenarnya santri ingin di rumah.
e. Pengajaran Kitab
Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-ktab
klasik, khususnya berbahasa Arab dan tanpa kharakat atau sering disebut kitab
gundul, merupakan metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren
di Indonesia.
Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren
salaf, khalaf, modern, pondok takhasus al-Qur’an dan boleh jadi lembaga pondok
pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren sangat
bersifat personal.
Keseluruhan kitab-kitab
klasik diajarkan di pesantren dapat digolongkan dalam beberapakelompok,
seperti:
1) Al-Qur’an dan Tafsirnya, 2) Nahwu (Sintaksis), 3) Shorof (morfologi), 4) Fiqih, 5) Ushul fiqh, 6) Hadits, 7) Tauhid, 8) Tasawuf dan etika, 9) Cabang-cabang lain seperti balaghoh, Falak,
dan sebagainya.
Dari kitab-kitab di atas dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok;
kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitab-kitab besar. Secara umum
kitab yang diajarkan pesantren adalah sama jenisnya. Misalnya, kitab-kitab
Fiqih seperti Sullam Taufiq, Fathul qarib hingga Fathul Mu’in. Kesamaan kitab
yang diajarkan dan sistem pengajaran tersebut menghasilkan homogenitas
pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan dikalangan santri.
Dalam kajian kitab klasik tidak sekedar membaca teks secara hitam putih, tetapi
juga memberikan pandangan-pandangan atau penjelasan baik isi maupun bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar