PEOPLE TRAUMA HEALING
CENTRE IN DOWN SYNDROME VILLAGE "RUMAH CERIA MASYARAKAT KAMPONG
IDIOT PONOROGO
Oleh: Yuwan Ebit Saputro
Keberadaan kampung idiot di Ponorogo bukan hal yang baru. Mereka
sudah ada sejak puluhan tahun silam. Hingga kini kampung itu pun masih ada.
Bukan karena dipelihara atau dilestarikan. Namun menghilangkan predikat idiot
sendiri tentu tak semudah membalik telapak tangan. Banyak sudah program pengentasan yang
dilaksanakan, pendampingan yang dilakukan elemen pemerintah maupun swasta dan
juga bantuan yang diberikan. Namun, warga yang idiot itu masih saja idiot.
Disebut lantaran banyak warga di desa itu yang mengalami keterbelakangan
mental. Satu kampung jumlahnya mencapai ratusan. Sehingga dengan mudah kita
menjumpai warga dengan kecerdasan otak di bawah standar itu.
Ada sebagian yang menilai sebutan kampung idiot terlalu ekstrim dan
merendahkan harkat mereka. Sehingga, ada
yang menggunakan istilah kampung dengan warga keterbelakangan mental.
Ada lagi yang menyebutkan kampung berkebutuhan khusus. Apapun istilahnya, tak
bisa dipungkiri bahwa di kampung tersebut memang banyak warga yang berkebutuhan
khusus dikarenakan mengalami keterbelakangan mental atau lazim disebut idiot.
Ada lima desa di ponorogo yang mendapatkan sebutan kampung
idiot. Yakni, desa Dayakan di kecematan
Badegan, desa Sidoharjo dan Krebet ( keduanya di kecamatan Jambon ). Dua desa
lagi adalah Desa Karangpatihan serta Pandak di Kecamatan Balong. Dari lima Desa
itu, Sidoharjo menjadi desa dengan Jumlah penduduk idiot tertinggi. Berdasarkan
data pemerintah desa setempat, saat ini, terdapat 316 warga yang mengalami
keterbelakangan mental itu. Dibanding tahun lalu, jumlah sudah turun. Tahun
lalu jumlah warga idiot ada 318 orang. Total, jumlah warga di desa tersebut ada
4.300 jiwa.
Desa Sidoharjo berada sekitar 18 kilometer dari gedung lantai
delapan sebagai pusat pemerintahan Ponorogo. Atau 30 menit menggunakan
kendaraan bermotor. Dari pusat kota, meluncur melalui jalan raya jurusan
Wonogiri. Setiba di Desa Srandil, satu desa yang memiliki situs kerajaan
Bantarangin, kendaraan di belokkan ke kiri melintasi SMA Badegan. Hingga
akhirnya tiba di pusat pemerintahan kecamatan Jambon merupakan kecamatan baru
pecahan dari kecamatan badegan dan Kauman. Sehingga, pusat pemerinthan itu pun
berada jauh masuk dari akses jalan raya masuk kabupaten. Dan Desa Sidoharjo
sendiri juga bentukan desa baru yang sebelumnya tergabung dengan Desa krebet
yang tak jauh dari kantor kecamatan, hanya sekitar tiga meter. Karena Sidoharjo
dulu bergabung dengan krebet, maka sebutan kampungidiot itu juga melekat dengan
Krebet. Sebutan kampung idiot tersebut, dengan sendirinya lepas dari Krebet
sejak tahun 2006 bersamaan berdirinya Desa Sidoharjo.
Keberadaan warga idiot di Sidoharjo dan beberapa desa lainnya itu
bukan terjadi secara kebetulan. Ada benang merah yang mengaitkan lima desa itu.
Sehingga warganya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Geografis
kelima desa itu ( Dayakan, Sidoharjo, Krebet , Karangpatihan, dan Pandak )
berada pada jalur yang sama. Yakni, lereng Gunung Rajekwesi yang melingkar dari
kecamatan Badegan hingga kecamatan Balong. “ Tanah di desa kami itu tanah
tandus. Tanaman padi dan jagung hanya bisa tumbuh di musim penghujan. Itupun
tidak semua lahan bisa ditanami padi, ketika kemarau datang nyaris sebagian
tubuh gunung tampak telanjang dengan batu hitam menonjol. Atau, pohon – pohon
keras yang meranggas tingal ranting. Kalaupun masih ada tanamanan yang bisa
ditanam, itu hanyalah pohong ( ketela pohon).
Kebetulan desa yang paling luas menenpati lereng Rajekwesi adalah
Desa Sidoharjo. Desa itu berada pada lereng sisi utara gunung. Bahkan, ada
sekitar 30 kepala keluarga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari puncak
Rajekwesi. Banyaknya warga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari alam
gunung yang cadas itulah, diduga menjadi pemicu Sidoharjo menjadi desa yang
paling banyak warga idiotnya. Maklum, dulunya kondisi gunung Rajekwesi memang
memprihatinkan. Sekitar 1950 hingga akhir 1960, terjadi pagebluk atau masa
kesulitan bahan makan bagi warga dikawasan ini. Kala itu, ada prahara hama
tikus yang menyerang semua tanaman warga. Hanya tanaman gemblong atau sejenis
tanaman talas warna hitam dan gatal yang
dimakan tikus. Dengan terpaksa, talas yang akhirnya dijadikan makanan utama.
Tiap hari, warga pergi ke gunung mencari gemblong di sela – sela tanaman liar.
Setelah di kupas, talas dengan daun hitam tersebut direbus atau di kukus dan
langsung dimakan. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat setempat selain
mengkonsumsi makanan babi itu. Tak terkecuali ibu hamil. Perempuan yang
seharusnya mendapatkan gizi lebih itu sehari – harinya juga makan gemblong
terus. Toh kalau ada makanan yang lebih baik, saat itu, hanyalah gaplek yang dimasak menjadi tiwul.
Dalam kondisi seperti itu, penduduk tidak lagi memikirkan bagaimana
mencukupi kebutuhan gizi bagi jabang bayi di kandungan mereka. Bagaimana
kebutuhan zat gizi, yodium, atau senyawa DNA yang bisa meningkatkan kecerdasan
bayi mereka nantinya. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan makan empat sehat
lima sempurna plus susu formula khusus bagi ibu hamil, bisa makan dan bertahan
hidup bagi mereka sudah cukup. Hal seperti itulah yang menyebabkan banyak
banyak bayi pada rentang tahun 1950 – 1970, yang lahir dengan tidak normal.
Baik secara fisik maupun mental. Banyak bayi kurang gizi, yang yang akhirnya
menyebabkan pertumbuhan syaraf mereka abnormal, sehingga ada yang lumpuh,
mengalami kebutaan, tunarungu, dan pertumbuhan fisik yang tidak normal.
Kondisi itu diperparah dengan lambannya pemulihan perekonomian di
era Presiden Soeharto kala itu. Hama tikus tak kunjung hilang sehingga warga
tidak bisa menanam bahan makanan. Saat itu orang cuma berfikir bagaimana mereka
bertahan hidup. Orang tua, tak lagi bisa memikirkan masa depan anak – anaknya.
Anak yang mengalami cacat itu dibiarkan tumbuh secara alami. Tak ada program
gizi tambahan, pendampingan, atau pun pendidikan khusus sesuai kondisi mereka.
Akhirnya si anak tumbuh dan berkembang dengan segala keterbatasanya. Yang buta
tidak bisa melihat gersangnya gunung Rajekwesi. Yang tuli juga tak pernah
mendapat pengajaran selain apa yang ia lihat. Pun yang mengalami lumpuh dan
syaraf hanya bisa duduk terpaku di rumah dulu. Anak – anak berkebutuhan khusus
itu, tak bisa sekolah. Selain tak ada sekolah inklusi ( berkebutuhan khusus )
kesadaran untuk sekolah saat itu juga nyaris tak ada. Kondisi ekonomi saat itu
memaksa warga hanya berfikir bagaimana bertahan hidup. Mungkin dipikiran mereka
saat itu buat apa sekolah kalau hidup saja susah. Toh sekolah tidak menjamin
hidup mereka lepas dari kesusahan.
Galeri






Tidak ada komentar:
Posting Komentar