Jumat, 13 Mei 2016

ANTARA TAJDID DAN ‘LIBERALISASI’ PEMIKIRAN.



ANTARA TAJDID DAN ‘LIBERALISASI’ PEMIKIRAN.
Oleh: Yuwan Ebit Saputro
Antara pembaruan (tajdid) dalam Islam dan liberalisasi yang diklaim “pembaruan”  memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pembaruan (tajdid) dalam Islam merupakan istilah syar’i yang merujuk pada hadist Nabi Saw, yaitu mengembalikan agama seperti keadaan semula, berpijak pada pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah yang benar sebagaimana pemahaman para salafus shaleh. Pengertian ini merupakan hakekat sesungguhnya pembaruan. Para ulama baik dari periode klasik sampai sekarang tidak berbeda pandangan. Ketiadaan pengertian secara definitif merujuk pendapat ulama klasik Akan tetapi para penganut paham liberalisme, telah menyelewengkan makna pembaruan ini. Mereka menggunakan  klaim “pembaruan” untuk menjustifikasi paham-paham Barat seperti feminisme dan kesetaraan gender, pluralisme, teori hermenutika, teori dekonstruksi ke dalam studi Islam.  Jadi ternyata “pembaruan” telah diartikan sebagai modifikasi dan aplikasi faham Barat asing kedalam pemikiran Islam. Dalam Islam proses pembaruan merupakan proses berkesinambungan untuk menjaga dan memelihara universalisme Islam yang sifatnya final dari penyelewengan yang timbul dari perubahan zaman. Sementara liberalisasi agama merupakan proses perubahan agama yang terus menerus mengikuti dinamika zaman, karena agama bagi kaum liberal bersifat berkembang (evolutif). Karena agama bagi kaum liberal sifatnya berkembang, maka  dekonstruksi kepercayaan masa lalu menjadi kontemporer merupakan sebuah keniscayaan. Berbeda dengan Islam yang orisinil dan final, sehingga tidak memerlukan penambahana-penambahan baru, justru persoalan-persoalan baru lah yang ditinjau dari sudut agama. Dalam Islam pembaharuan adalah reformulasi pemikiran Islam terhadap teks-teks suci (nash) yang ada. Sedangkan dalam liberalisasi terkandung makna keberanjakan atau departure dari teks suci (nash). Dengan kata lain, dalam liberalisme ada unsur meninggalkan nash.
Konsep tajdid di dalam Islam merupakan konsep asli yang berdasarkan pada pijakan dasar yang jelas, bersumber asli Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah), melalui penjelasan Rasul dan diikuti oleh generasi-generasi berikutnya secara turun temurun. Artinya, konsep tajdid telah baku dengan berlandaskan pandangan hidup yang Islami dan tidak melakukan peminjaman nilai dari peradaban lain. Sejarah telah membuktikan bahwa usaha-usaha tajdid para ulama yang diabadikan namanya sebagai mujaddid, tidak membawa umat kepada kemunduran. Justru kemunduran terjadi, ketika agama yang juga berfungsi sebagai kontrol kehidupan dimarginalkan. Sementara konsep ‘pembaruan’ dengan konsep Barat bermuara pada problem teologis agama Yahudi[1] dan Nasrani[2] yang banyak bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Konsep liberalisasi pemikiran keagamaan agama pada dasarnya bukan teori keagamaan. Yang berarti bukan lahir dari pemikiran keagamaan atau dibawa oleh wahyu Ilahi, tetapi hanya merupakan teori filsafat yang tumbuh di luar agama. Tepatnya merupakan teori filsafat dan sosiologi agama.[3] Baik dalam Yahudi maupun Kristen, doktrin dan isu pembaharuannya sama. Gerakannya bermula dari protes terhadap sakralitas kitab suci, penggunaan metode historis kritis, dan penolakan terhadap otoritas agama (anti-otoritas).
Dari sisi fungsionalnya, kedua term ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Tajdid sama sekali tidak memiliki efek negatif terhadap fondasi agama, karena aktifitasnya justru mengokohkan sendi-sendi agama itu sendiri. Sementara liberalisasi begitu ia diadopsi oleh sebuah agama yang tak kokoh, maka ia akan mengancam keberadaannya, merubahnya, atau bahkan menghancurkannya dan menggantikannya dengan agama tanpa agama. Sebab karakteristik yang paling menonjol pada gerakan liberalisasi agama adalah semangat dekonstruksi, bukan rekonstruksi. Selain itu liberalisasi yang juga berarti dekonstruksi itu menafikan struktur dan konsep keilmuan dalam Islam dan pada saat yang sama juga merusak konsep-konsep dalam Islam.[4] Akhirnya, jika “pembaharuan” diartikan liberalisasi dan sekulerisasi maka beberapa konsekuensi logis terpaksa harus diterima. Pertama, Islam akan menjadi terbarukan jika meniru faham-faham Barat. Kedua,  jika berislam tapi menentang kesetaraan gender, pluralisme, demokrasi, hermeneutika berarti keislamannya salah. Ketiga, jika “pembaharuan” model itu benar berarti tajdid ulama dimasa lalu itu menjadi salah. 
Dengan membandingkan konsep pembaruan di atas, maka secara epistemologis dan historis, liberalisasi tidak dapat dipersamakan dengan istilah tajdid. Penyamaan term ini –rupanya- merupakan usaha pengaburan makna konsep tajdid para ulama salaf. Pembaruan bukan modernisasi agama, bukan pula penyesuaian agama dengan doktrin-doktrin liberalisme; sekularisme dan pluralisme. Sebab doktrin postmodern tersebut adalah doktrin Barat-sekular bukan Islam. Jika seperti ini halnya, maka bukan pembaruan namanya akan tetapi pembaratan. Tren pemikiran kaum libera bukanlah pencerahan (tanwir) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujaddid. Mereka ternyata sekadar mengadopsi pengalaman Yahudi Kristen ke dalam Islam. Padahal, kasus-kasus yang melahirkan modernisasi  Yahudi Kristen tidak pernah dialami oleh Islam.



[1] Dalam agama Yahudi gerakan liberalisasi ini pertama kali dilakukan oleh Moses Mende Isshon (1729-1786) yang menyebarkan sains modern di kalangan Yahudi dan memindahkan mereka dari kehidupan terpencil dan cerai berai yang telah mereka jalani selama berabad-abad menuju alur peradaban Barat modern. Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan oleh golongan liberal Yahudi diantaranya, penyederhanaan bahasa, menulis bacaan-bacaan sembahyang dengan bahasa yang mudah dan memasukkan alat musik dalam kebaktian. Hal ini ia lakukan untuk menjembatani antara ajaran-ajaranYahudi ortodoks dan masa pencerahan ‘Enlightenment’ Eropa yang perkembangannya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis. Gerakan liberalisme dalam Yahudi menginsipirasi ahli theologi Yahudi diantaranya Steinheim (1790-1866)  yang terpengaruh dengan filsafat Kant. Pendapatnya menyatakan bahwa tidak perlu mengambil teks-teksi taurat secara leterlek, tetapi cukup memilih diantara teks-teks itu. Generasi setelahnya ada Holdeim (1806-1860) menyatakan bahwa syari’at Tuhan itu sekalipun wahyu Allah, tetapi bersifat temporer sesuai dengan waktu turunnya dan tidak bersifat abadi.
[2] Tokoh modernisme Protestan, Prof. August Spetch (1830-1901 M) mengkritik secara tajam apa yang dinamakan agama absolut dan perlunya pembaharuan agama. Ia menyatakan bahwa konsep pembaharuan agama artinya bahwa pengetahuan agama harus mengikuti perubahan kehidupan dan pemikiran manusia. Bentuk-bentuk yang tak dapat menerima perubahan rumus-rumus yang tak dapat ditafsirkan secara aktual, dan tumbuh kaku  ( Busthami M. Said, Pembaru dan Pembaruan Islam, ..hal. 114 )
[3] Busthami. M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, terjemahan dari Mafhum Tajdid al-Din dialih bahasakan oleh Mahsun Al-Mundzir, Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hal. 207
[4] Ibid, Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisai Pemikiran Islam, Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis...hal.118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar