ANTARA
TAJDID DAN ‘LIBERALISASI’ PEMIKIRAN.
Oleh: Yuwan Ebit Saputro
Konsep tajdid di dalam Islam
merupakan konsep asli yang berdasarkan pada pijakan dasar yang jelas, bersumber
asli Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah), melalui penjelasan Rasul dan diikuti oleh
generasi-generasi berikutnya secara turun temurun. Artinya, konsep tajdid telah baku dengan berlandaskan pandangan hidup yang
Islami dan tidak melakukan
peminjaman
nilai dari peradaban lain. Sejarah telah membuktikan bahwa usaha-usaha tajdid
para ulama yang diabadikan namanya sebagai mujaddid, tidak membawa umat
kepada kemunduran. Justru kemunduran terjadi, ketika agama yang juga berfungsi
sebagai kontrol kehidupan dimarginalkan. Sementara konsep
‘pembaruan’ dengan konsep Barat bermuara pada problem teologis agama Yahudi[1]
dan Nasrani[2] yang
banyak bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Konsep liberalisasi
pemikiran keagamaan agama pada dasarnya bukan teori keagamaan. Yang berarti
bukan lahir dari pemikiran keagamaan atau dibawa oleh wahyu Ilahi, tetapi hanya
merupakan teori filsafat yang tumbuh di luar agama. Tepatnya merupakan teori
filsafat dan sosiologi agama.[3]
Baik dalam Yahudi maupun Kristen, doktrin dan isu pembaharuannya sama.
Gerakannya bermula dari protes terhadap sakralitas kitab suci, penggunaan
metode historis kritis, dan penolakan terhadap otoritas agama (anti-otoritas).
Dari sisi
fungsionalnya, kedua term ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Tajdid sama sekali tidak
memiliki efek negatif
terhadap fondasi agama, karena aktifitasnya justru mengokohkan sendi-sendi
agama itu sendiri. Sementara liberalisasi begitu ia diadopsi oleh sebuah agama
yang tak kokoh, maka ia akan mengancam keberadaannya, merubahnya, atau bahkan
menghancurkannya dan menggantikannya dengan agama tanpa agama. Sebab karakteristik yang
paling menonjol pada gerakan liberalisasi agama adalah semangat
dekonstruksi, bukan rekonstruksi. Selain itu liberalisasi yang juga berarti
dekonstruksi itu menafikan struktur dan konsep keilmuan dalam Islam dan pada
saat yang sama juga merusak konsep-konsep dalam Islam.[4] Akhirnya,
jika “pembaharuan” diartikan liberalisasi dan sekulerisasi maka beberapa
konsekuensi logis terpaksa harus diterima. Pertama, Islam akan menjadi
terbarukan jika meniru faham-faham Barat. Kedua, jika berislam tapi
menentang kesetaraan gender, pluralisme, demokrasi, hermeneutika berarti
keislamannya salah. Ketiga, jika “pembaharuan” model itu benar berarti tajdid
ulama dimasa lalu itu menjadi salah.
Dengan membandingkan konsep pembaruan
di atas, maka secara epistemologis dan historis, liberalisasi tidak dapat
dipersamakan dengan istilah tajdid. Penyamaan term ini –rupanya-
merupakan usaha pengaburan makna konsep tajdid para ulama salaf. Pembaruan
bukan modernisasi agama, bukan pula penyesuaian agama dengan doktrin-doktrin liberalisme;
sekularisme dan pluralisme. Sebab doktrin postmodern tersebut adalah
doktrin Barat-sekular bukan Islam. Jika seperti ini halnya, maka bukan pembaruan
namanya akan tetapi pembaratan. Tren pemikiran kaum libera bukanlah pencerahan
(tanwir) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujaddid. Mereka
ternyata sekadar mengadopsi pengalaman Yahudi Kristen ke dalam Islam. Padahal,
kasus-kasus yang melahirkan modernisasi Yahudi Kristen tidak pernah
dialami oleh Islam.
[1] Dalam agama
Yahudi gerakan liberalisasi ini pertama kali dilakukan oleh Moses Mende
Isshon (1729-1786) yang menyebarkan sains modern di kalangan Yahudi dan
memindahkan mereka dari kehidupan terpencil dan cerai berai yang telah mereka
jalani selama berabad-abad menuju alur peradaban Barat modern. Beberapa
perubahan mendasar yang dilakukan oleh golongan liberal Yahudi diantaranya,
penyederhanaan bahasa, menulis bacaan-bacaan sembahyang dengan bahasa yang
mudah dan memasukkan alat musik dalam kebaktian. Hal ini ia lakukan untuk
menjembatani antara ajaran-ajaranYahudi ortodoks dan masa pencerahan ‘Enlightenment’
Eropa yang perkembangannya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis. Gerakan liberalisme dalam Yahudi
menginsipirasi ahli theologi Yahudi diantaranya Steinheim
(1790-1866) yang terpengaruh dengan
filsafat Kant. Pendapatnya menyatakan bahwa tidak perlu mengambil teks-teksi
taurat secara leterlek, tetapi cukup memilih diantara teks-teks itu. Generasi
setelahnya ada Holdeim (1806-1860) menyatakan bahwa syari’at Tuhan itu
sekalipun wahyu Allah, tetapi bersifat temporer sesuai dengan waktu turunnya
dan tidak bersifat abadi.
[2] Tokoh
modernisme Protestan, Prof. August Spetch (1830-1901 M) mengkritik secara tajam
apa yang dinamakan agama absolut dan perlunya pembaharuan agama. Ia menyatakan
bahwa konsep pembaharuan agama artinya bahwa pengetahuan agama harus mengikuti
perubahan kehidupan dan pemikiran manusia. Bentuk-bentuk yang tak dapat
menerima perubahan rumus-rumus yang tak dapat ditafsirkan secara aktual, dan
tumbuh kaku ( Busthami M. Said, Pembaru
dan Pembaruan Islam, ..hal. 114 )
[3] Busthami. M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam,
terjemahan dari Mafhum Tajdid al-Din dialih bahasakan oleh Mahsun Al-Mundzir,
Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hal. 207
[4] Ibid,
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisai Pemikiran Islam, Gerakan bersama
Missionaris, Orientalis dan Kolonialis...hal.118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar