EKONOMI PEMBANGUNAN DALAM ISLAM
Oleh : Yuwan Ebit Saputro
Ekonomi
pembangunan merupakan cabang dari ilmu ekonomi yang bersifat terapan (applied economics). Cabang ilmu Ekonomi
ini lahir setelah terjadinya perang dunia kedua atau dua abad setelah lahirnya
ilmu ekonomi pada tahun 1776 Masehi. Ilmu ini diperlukan dalam rangka
memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Negara-negara yang baru
merdeka. Pada umumnya negara-negara ini adalah negara yang sedang berkembang
dan menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, keterbelakangan,
dan ketertinggalan dalam semua aspek kehidupan. Oleh karenanya mereka bermaksud
mengatasi masalah-masalah tersebut hingga cepat, tepat, dan tuntas.
Berlandaskan
kepada kedua-dua sifat dasar ini, maka analisa ekonomi pembangunan dapatlah
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang bertujuan untuk
menganalisa masalah-masalah yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang dan
mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahmasalah itu supaya Negara-negara
tersebut dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi. [1]
Dalam
perkembangannya, para ahli memberikan pengertian atau batasan tentang ekonomi
pembangunan berdasarkan latar belakang tersebut. Ekonomi pembangunan adalah
suatu studi yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di
negara-negara yang sedang berkembang, dengan memecahkan masalah-masalah
utamanya, yakni kemiskinan, pengangguran dan pemerataan. [2]
Pembangunan
dinegara-negara berkembang pada pelaksanaann ya telah memunculkan pola, metode,
atau model yang berbeda-beda diantara mereka. Perbedaan ini telah menjadi
paradigma atau pandangan yang mendunia dalam melaksanakan pembangunan (world view). Diantara paradigma
pembangunan di negara-negara berkembang tersebut adalah :[3]
1. Paradigma dengan Pertumbuhan Maksimal (Maximal Growth Paradigm)
Pertumbuhan
ekonomi yang setinggi-tingginya adalah orientasi dari paradigma ini. Dengan
memanfaatkan investasi dan teknologi, paradigma ini berharap dapat memperluas
lapangan kerja, meningkatkan produksi, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Ukuran yang digunakan untuk merencanakan atau menghitung
pertumbuhan adalah produk nasional bruto (Gross
National Product /GNP). Sedangkan asumsi yang dipakai adalah tetesan
kebawah (Trickle Down Effect), yakni pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan
diikuti oleh pemerataan.
Pada
perkembanganya, konsep tetesan kebawah yang diharapkan oleh negara-negara yang
menggunakan paradigma ini tidak terjadi. Paradigma ini justru meningkatkan
ketimpangan (inequality) yang makin
mendalam antara kelompok yang kaya dengan kelompok yang miskin. Dengan kata
lain, paradigma ini dapat memaksimalkan pertumbuhan ekonomi tetapi gagal dalam
pemerataan. Padahal yang diharapkan tidak sekedar memaksimalkan produktivitas,
tetapi juga mengatasi masalah ketimpangan antar kelompok.
2. Paradigma Pertumbuhan dengan Pemerataan (Distribution with Growth Paradigm)
Paradigma
ini muncul untuk merespon kegagalan paradigma yang pertama dengan memasukkan
unsur pemerataan di dalamnya agar tidak terjadi kesenjangan antara golongan
kaya dan miskin. Dengan memanfaatkan investasi, teknologi, dan pengukuran yang
sama, paradigma ini juga telah dilaksanakan oleh Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Pada masa pemerintahan orde baru, paradigma ini dikenal
dengan delapan jalur pemerataan.
Pada
pelaksanaannya, paradigma ini juga tidak berhasil menyelesaikan masalah-masalah
pembangunan di negara-negara berkembang. Hal ini diduga diakibatkan oleh
pendekatan makro dan ketidaksiapan sumber daya manusianya yang tidak
sungguh-sungguh berorientasi pada kelompok sasaran (penduduk miskin). Budaya
korupsi menjadi salah satu faktor dominan penyebab bocornya anggaran
pembangunan yang diperuntukkan rakyat kecil atau miskin. Disisi lain masyarakat
miskin juga belum siap memperbaiki sikap mentalnya, sehingga berapapun modal
yang diberikan, akan habis dan tidak merubah nasib mereka. Oleh karenanya
pendekatan makro yang bertujuan memperbaiki ekonomi rakyat kecil tanpa
mempersiapkan SDMnya, maka akan menemui kegagalan juga.
3. Paradigma dengan Pendekatan Kebutuhan Pokok (Basic Needs Approach)
Paradigma
dengan kebutuhan pokok sebagai pendekatannya merupakan upaya untuk mengatasi
kemiskinan dan ketimpangan kelompok sosial. Paradigma ini berharap bahwa semua
semua kelompok target dapat terpenuhi kebutuhannya, seperti pangan, papan
(rumah), dan pendidikan, dan kesehatan. Anggaran yang dikucurkan oleh
pemerintah dapat mengatasi kebutuhan masyarakat dengan baik.
Pada saat
anggaran terbatas, pemerintah tidak lagi memberikan bantuan untuk memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat. Akibatnya masyarakat kembali tidak berdaya dalam
memenuhi kebutuhannya sendiri. Akhirnya pardigma ini gagal sebagaimana pada
paradigma sebelumnya. Hal ini terjadi karena penduduk miskin tidak bisa merubah
nasibnya, kecuali dengan mengharap bantuan dari pemerintah.
4. Paradigma dengan Fokus Pembangunan Sumber Daya Manusia (Human Development Paradigm)
Belajar
dari paradigma pembangunan yang mengalami kegagalan sebelumnya, para ahli
ekonomi pembangunan, ahli kependudukan, dan ahli sumber daya manusia merumuskan
pembangunan yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Paradigma ini
menganggap bahwa pembangunan harus berorientasi pada manusia sebagai obyek dan
subyek sekaligus. Paradigma ini menghilangkan dikotomi antara manusia sebagai
pelaksana pembangunan dan manusia sebagai target yang harus ditingkatkan
kesejahteraanya.
Paradigma ini
membangun manusia secara utuh dan totalitas. Hal ini disebabkan sumber daya
manusianya dibangun sesuai dengan kebutuhan fisik (materi) dan kebutuhan psikis
(sikap mental). Oleh karenanya SDM menjadi penentu keberhasilan pembangunan.
Mulai dari perencanaan. monitoring, dan evaluasi hasil pembangunan, yakni:
jumlah penduduk, struktur umur, komposisi, penyebaran penduduk, pendapatan dan
distribusinya, tingkat pendidikan, mobilitas, dan kesempatan kerja dan
kesehatan melibatkan sumber daya manusia.
5. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Suistainable Development Paradigm)
Paradigma
ini muncul pada tahun 1970 ketika Club of
Rome mengangkat studi tentang keterbatasan pertumbuhan (The Limit of Growth). Studi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan yang
diharapkan dalam pembangunan selama ini akan berakhir kurang dari 100 tahun.
Hal ini disebabkan sumber daya alam yang ada akan terkuras habis.
Pemecahan atas
persoalan ini memperkuat argument politik diatas. Karena jelas bahwa
kekuatan-kekuatan pasar yang bebas – sepanjang dibenarkan berkembang menurut
garis-garis kapitalisme tradisional akan segera menuju pada kebuntuan ekologi.
Karena itu perkembangan Negaranegara terbelakang sekali momentum pertama telah
dicapai harus menemukan cara untuk penghematan bahan dan produksi sampai pada
tingkat yang belum dikenal di Barat sekarang. Pemborosan-pemborosan
sumber-sumber seperti pemakaian mesin cuci, televisi, dan alat-alat rumah
tangga yang meniru gaya penghidupan Barat tidak mungkin untuk ditiru oleh
seluruh dunia. [4]
Gagasan yang
ada dalam paradigma ini belum terbukti, tetapi menyadarkan bahwa betapa
pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang lestari. Jika umat manusia
menginginkan hidup sejahtera, maka harus memperhatikan keseimbangan ekologi dan
ekosistem. Pardigma ini berharap masa depan bumi tidak akan terguncang hanya
karena kesewenangan manusia dalam mendapatkan fasilitas yang terkandung
didalamnya. Jika efisiensi merupakan konsep ekonomi dan keadilan ekonomi
merupakan konsep ekonomi yang didasarkan pada etika, maka konsep berkelanjutan
(sustainable) adalah gabungan antara faktor-faktor ekonomi, fisik, sosial, dan
politik. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memberi manfaat pada
semua (warga masyarakat) termasuk generasi mendatang secara adil dan merata. [5]
6. Paradigma dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (General Public Participation Paradigm)
Paradigma
ini muncul dalam rangka kritik terhadap pembangunan yang direncanakan secara
terpusat (central planning).Paradigma
ini berharap bahwa seluruh masyarakat turut serta berpartisipasi dalam
pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya.
Partisipasi yang besar dalam pembangunan dapat diperankan masyarakat sesuai
dengan kebutuhan kebutuhannya. Partisipasi masyarakat dapat berupa partisipasi
politik, partisipasi ekonomi, pendidikan, hukum, dan sosial.
Tanpa adanya
keterbukaan terhadap kritik, sebenarnya pembangunan sedang berjalan menuju pada
proses pembusukan yang semakin dalam. Satu-satunya jalan untuk
mempertahankannya adalah dengan memberi kesempatan bagi setiap kepentingan dari
semua golongan untuk mendapatkan pemenuhannya. Untuk itu, menguatnya kesadaran
poltik masyarakat luas yang muncul dalam kritik-kritik terhadap ideologi
pembangunan perlu menjadi bahan pertimbangan dalam membuat desain pembangunan
di masa datang. Menguatnya isu pemberdayaan
(empowerment) dalam pembangunan semakin terasa desakannya, sehingga tanpa
adanya perhatian terhadap kenyataan ini, keberlangsungan (sustainable) pembangunan justru sedang berada pada posisi
terancam.[6]
7. Paradigma Pembangunan Mandiri (Self Reliant Paradigm)
Paradigma
ini berangkat dari upaya untuk menghilangkan ketergantungan dalam melaksanakan
pembangunan (dependensia). Paradigma ini mengembangkan teknologi sendiri tanpa
mengambil (impor) dari luar. Negara-negara yang menggunakan paradigma ini
adalah India pada masa Mahatmagandhi, Cina pada masa Maozedong, Tanzania pada
masa Julius Nyerere, dan Indonesia pada masa Bung Karno yang terkenal dengan
istilah berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Namun dalam kenyataannya
paradigma ini juga gagal dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan
pengangguran. Bahkan paradigma ini juga tidak sesuai dengan kondisi yang
melilit negara berkembang itu sendiri.
Dengan
meninggalkan pengaruh Barat yang kapitalistis, Indonesia mulai berputar haluan
berpaling ke kiri untuk menerima tawaran konsep dari Uni Soviet dan RRC, yakni
revolusi untuk membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman pangaruh Barat,
yaitu imperialisme baru dalam bentuk penguasaan perdagangan dan penciptaan
interdependensi yang mengakibatkan banyak Negara berkembang tergantung pada
Negara maju, yang bukan merupakan hubungan timbal balik. Maka dengan lantang Sukarno
mengumandangkan gema revolusi Indonesia dan mengangkat dirinya sebagai Panglima
Besar Revolusi. Kemudian muncullah konsep-konsep berikutnya, dibidang politik
luar negeri menganut konsep konfrontasi, untuk merangsang dinamika rakyat,
dibidang ekonomi ditelurkan konsep berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. [7]
8. Paradigma Syari’ah (Syari’ah Paradigm)
Paradigma
ini muncul seiring dengan semangat umat Islam untuk berusaha menerapkan ajaran
syari’ah dalam perekonomian. Paradigma ini menjelaskan bahwa kesejahteraan
masyarakat akan dapat tercapai bila seluruh aktivitas manusia berlandaskan
syari’ah atau hukumhukum Tuhan. Meskipun belum semua meyakini akan keampuhannya
dalam menyelesaikan masalah-masalah perekonomian, sosial, politik, hukum,
budaya, dan berbagai masalah alam, namun paradigma ini memberikan pemahaman
yang sempurna tentang alam semesta, yakni : langit, bumi, dan segala isinya
termasuk manusia sebagai khalifah didalamnya.
[1] Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan
Dasar Kebijaksanaan (Jakarta: Bima Grafika dan LP FE UI, 1985), 11-12.
[2] Hasan Aedy, Teori dan Aplikasi Ekonomi Pembangunan
Perspektif Islam, Sebuah Studi Komparasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
8-13.
[3] Ibid., 39-48.
[4] Robert L.
Heilbroner, Terbentuknya Masyarakat
Ekonomi, terj. Sutan Dianjung (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 308.
[5] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta, 2000), 217.
[6]
A. Prasetyantoko, Arsitektur Baru Ekonomi
Global, Belajar dari Keruntuhan Ekonomi Asia Tenggara (Jakarta: PT. Elex
Komputindo, 2001), 111.
[7] Doddy Rudianto, Pembangunan Ekonomi dan Perkembangan Bisnis
Di Indoensia (Jakarta: Golden Terayon, 1985), 15.