Kamis, 01 September 2016

KONSEP AGAMA DAN TUHAN DALAM PLURALISME



KONSEP AGAMA DAN TUHAN DALAM PLURALISME AGAMA

              Di era globalisasi saat ini perdebatan tentang Tuhan memang marak dan semua pakar angkat bicara bahkan orang awam pun ikut nimbrung. Ini bertanda bahwa teologi bukan bagian dari ushuliyyah  namun masuk dalam ranah furu'iyyah, atau dengan kata lain bukan dari tsawabit (permanen) tapi mutaghayyiraat ( berubah). Dalam wacana keislaman masalah furu'iyyah atau mutaghayyirat bagian dari ijtihad, yang dilakukan khusus oleh ulama  Ahl al-Hilli wa al-Aqdi fi Kutubi  Ushul al-Fiqih[1], dan demikian pula seharusnya masalah Tuhan adalah  otoritas teolog . Kenyataannya, konsep Tuhan di Barat memang problematik. Ini  telah diakui oleh teolog Belanda, Dr. C. Groenen Ofm, bahwa "seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem"[2]. Maka konsep Tuhan masuk rana mutaghayyiraat yang diijtihadkan bukan yang tsawabit.
Add caption

           Dalam hadits Nabi saw bersabda "Idza wussida al-amr ila ghayri ahlihi fantadhir al-sa'ah (Jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, tungguhla waktu -kehancuran- nya)[3]  terbukti. Para pemikir pembela iman Kristiani baru yang rasionalis, seperti Lessius, Marsenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, kata Michael Buckley ,termasuk John Hick, mereka justru melupakan Yesus Kristus. Namun Newton tidak hendak disalahkan, karena doktrin Trinitas telah merusak agama murni Yesus.[4] Mempertegas pernyataan Newton, John Hick mengatakan dalam buku The Myth of God Incarnate (1977) bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaraan Yesus tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi monoteistik Yahudi ketika itu.[5] Inilah problema serius dan controversial yang memang terjadi sejak konsili Nicea, masalah "ketuhanan Yesus", sulit  dijelaskan kepada akal  sehat, bahwa Yesus adalah "Tuhan" dan sekaligus 'manusia'[6] Karena itu  Descartes hanya percaya  Tuhan filsafat, bukan Tuhan Teolog. Akibat semacam ini bermula dari pengambil alihan otoritas teolog oleh filosof dan saintis, kata Buckley maka lahirlah yang namanya atheisme murni di era modern.
          Tuhan tidak diam, secara geram Martin Buber menolak pendapat seorang filosof eksistensialis, Sartre (1905-1980). Martin Buber, seorang teolog Yahudi (1878-1965).menambahkan, itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan fikiran, tapi tanpa rasa keimanan.[7] Berbeda dengan apa yang terjadi dalam agama Islam. Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam telah tuntas dan final sejak selesainya tanzil.[8] Faktanya, teologi dan filsafat tidak pernah lepas dari Tuhan dan tidak mencari Tuhan baru,  mereka hanya men jelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits dan itu sudah cukup untuk membangun peradaban imbang yang menghargai aspek kehidupan materi tetapi tidak meninggalkan dimensi spiritual.[9]
          Akhir-akhir ini, ummat Islam seperti mendapat pekerjaan baru dari luar rumahnya sendiri. Pekerjaan baru yang dimaksud, hadirnya teologi baru sebagaimana yang diusulkan John Hick yang disebut Global Theology. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada essensinya adalah sama, semuanya benar, karena semua agama tanpa terkecuali seluruhnya mengajarkan penyerahan diri kepada  Satu Yang Abadi, Zat Yang Nyata.Teologi ini dikemas dalam pluralisme agama, yang oleh Dr.Noercholish Madjid, dicatat sebagai sunnatullah :" Jadi pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnah Allah, Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.[10] Gagasan Teologi global Hick bisa disebut juga dengan 'Universal theology of religion' mendapat dukungan dari pendi ri Islamic Studies di McGill University, WC, Smith, dalam bukunya berjudul  Theology and the World's Religion History[11] bahkan bukan hanya agama, ideology pun tercover di dalamnya sebagaimana dijelaskan oleh Leonard Swidler.[12]
        Tulisan ini akan menyoroti Konsep Agama dan Tuhan yang dikemas dalam pluralisme agama oleh tokoh kontemporer John Hick. Sejatinya, pluralisme agama satu sisi merespon konflik-konflik antar agama-agama, pada sisi lain  merupakan tuntutan globalisme. Oleh karena Konsep  Agama dan Tuhan hendak diglobalkan oleh Hick dengan apa yang disebut Global Theology, maka ide ini layak  diapreasiasi , sebab Tuhan Allah yang kita sembah  merupakan  Tuhan yang diciptakan bukan Tuhan yang sebenarnya, karenanya ia bersifat relative bukan absolute.[13] Dengan demikian , manusia dalam kemusyrikan yang tak terpikirkan. Baca tulisan ini tentang konsep  Tuhan yang sebenarnya menurut teologi global-nya John Hick yang terbungkus dalam pluralisme agama.



[1]. Ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Jilid XI, hlm. 120
[2]C, Groenen, Sejarah Dogma Kristologi; Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 286
[3].HR…..
[4].Jurnal Islamia, Thn I No. 4,Januari-Maret 2005, Rubrik Epilog, Tuhan oleh Dr. Hamid Fahmi, hlm.118.
[5] Adna Aslan, Religion Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick  and Seyyed Hossein Nasr.(
[6]. Ibid. Op Cit. hlm. 126-127. Syahadat Nicea menyatakan :"Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan mauipun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah. Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari tyerang, Allah benar dari Allah Benar,dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada." Dikutif dari buku Konsili-konsili Gereja, karya Norman F. Tanner,. Hlm. 36-37. Ini jelas bertentangan dengan Surah al-Ikhlash ayat 1-4.
[7].Ibid. Op. Cit. hlm.119
[8].QS. 5 : 3
[9].Jurnal Islamia, Thn 1 No. 3,September-November, 2004, hlm.53
[10].Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta Paramadina, 1995), hlm. Ixxvii. Cak Nur tidak membedakan antara pluralitas( pahami Piagam Madinah) dan pluralisme agama John Hick. Dan mengekor pada jejak CW. Smith dan Jane I. Smith, yang menafsirkan kata "Islam" yang terkandung dalam surah Ali Imran; 19 dan 88, bukan sebagai sebuah nama bagi agama, tapi hanya bentuk ekspresi sikap kepatuhan. Siapapun yang menyerahkan diri secara total dari agama apa pun dapat dikategorikan Muslim. Ide inilah yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi gagasan teologi global dalam pluralis me agama sebagai pengembangan teologi inklusi.f
[11] Jurnal Islamia, Ibid. Op Cit, hlm.29 dalam rubric Telaah Utama, Pluralisme dan Problem Teologi Kristen, oleh Adian Husaini, MA.
[12]. Leonard Swidler, (ed), Toward a Universal Theology of Religion, (New York: Orbis Book, 1987), hlm. 19, 51-52.
[13].Lihat, Azhari Noer, Kautsar Dr, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm.38 dan 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar