KONSEP AGAMA DAN TUHAN DALAM
PLURALISME AGAMA
Di era globalisasi saat ini
perdebatan tentang Tuhan memang marak dan semua pakar angkat bicara bahkan
orang awam pun ikut nimbrung. Ini bertanda bahwa teologi bukan bagian dari
ushuliyyah namun masuk dalam ranah
furu'iyyah, atau dengan kata lain bukan dari tsawabit (permanen) tapi
mutaghayyiraat ( berubah). Dalam wacana keislaman masalah furu'iyyah atau
mutaghayyirat bagian dari ijtihad, yang dilakukan khusus oleh ulama Ahl al-Hilli wa al-Aqdi fi Kutubi Ushul al-Fiqih[1], dan
demikian pula seharusnya masalah Tuhan adalah
otoritas teolog . Kenyataannya, konsep Tuhan di Barat memang
problematik. Ini telah diakui oleh
teolog Belanda, Dr. C. Groenen Ofm, bahwa "seluruh permasalahan kristologi
di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi
satu problem"[2]. Maka
konsep Tuhan masuk rana mutaghayyiraat yang diijtihadkan bukan yang tsawabit.
![]() |
Add caption |
Dalam hadits Nabi saw bersabda
"Idza wussida al-amr ila ghayri ahlihi fantadhir al-sa'ah (Jika suatu
perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, tungguhla waktu -kehancuran- nya)[3] terbukti. Para pemikir pembela iman Kristiani
baru yang rasionalis, seperti Lessius, Marsenne, Descartes, Malebranche, Newton
dan Clarke, kata Michael Buckley ,termasuk John Hick, mereka justru melupakan
Yesus Kristus. Namun Newton tidak hendak disalahkan, karena doktrin Trinitas
telah merusak agama murni Yesus.[4]
Mempertegas pernyataan Newton, John Hick mengatakan dalam buku The Myth of God
Incarnate (1977) bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaraan Yesus
tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi
monoteistik Yahudi ketika itu.[5] Inilah
problema serius dan controversial yang memang terjadi sejak konsili Nicea,
masalah "ketuhanan Yesus", sulit
dijelaskan kepada akal sehat,
bahwa Yesus adalah "Tuhan" dan sekaligus 'manusia'[6] Karena
itu Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan Teolog. Akibat
semacam ini bermula dari pengambil alihan otoritas teolog oleh filosof dan
saintis, kata Buckley maka lahirlah yang namanya atheisme murni di era modern.
Tuhan tidak diam, secara geram Martin
Buber menolak pendapat seorang filosof eksistensialis, Sartre (1905-1980).
Martin Buber, seorang teolog Yahudi (1878-1965).menambahkan, itulah akibat
memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan
hanya dengan fikiran, tapi tanpa rasa keimanan.[7] Berbeda
dengan apa yang terjadi dalam agama Islam. Konsep Tuhan dalam tradisi
intelektual Islam telah tuntas dan final sejak selesainya tanzil.[8] Faktanya,
teologi dan filsafat tidak pernah lepas dari Tuhan dan tidak mencari Tuhan
baru, mereka hanya men jelaskan apa yang
terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits dan itu sudah cukup untuk membangun
peradaban imbang yang menghargai aspek kehidupan materi tetapi tidak
meninggalkan dimensi spiritual.[9]
Akhir-akhir ini, ummat Islam seperti
mendapat pekerjaan baru dari luar rumahnya sendiri. Pekerjaan baru yang
dimaksud, hadirnya teologi baru sebagaimana yang diusulkan John Hick yang
disebut Global Theology. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada
essensinya adalah sama, semuanya benar, karena semua agama tanpa terkecuali
seluruhnya mengajarkan penyerahan diri kepada
Satu Yang Abadi, Zat Yang Nyata.Teologi ini dikemas dalam pluralisme
agama, yang oleh Dr.Noercholish Madjid, dicatat sebagai sunnatullah :"
Jadi pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnah Allah,
Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau
diingkari.[10]
Gagasan Teologi global Hick bisa disebut juga dengan 'Universal theology of
religion' mendapat dukungan dari pendi ri Islamic Studies di McGill University,
WC, Smith, dalam bukunya berjudul
Theology and the World's Religion History[11] bahkan
bukan hanya agama, ideology pun tercover di dalamnya sebagaimana
dijelaskan oleh Leonard Swidler.[12]
Tulisan ini akan menyoroti Konsep Agama
dan Tuhan yang dikemas dalam pluralisme agama oleh tokoh kontemporer John Hick.
Sejatinya, pluralisme agama satu sisi merespon konflik-konflik antar
agama-agama, pada sisi lain merupakan
tuntutan globalisme. Oleh karena Konsep
Agama dan Tuhan hendak diglobalkan oleh Hick dengan apa yang disebut
Global Theology, maka ide ini layak
diapreasiasi , sebab Tuhan Allah yang kita sembah merupakan
Tuhan yang diciptakan bukan Tuhan yang sebenarnya, karenanya ia bersifat
relative bukan absolute.[13] Dengan
demikian , manusia dalam kemusyrikan yang tak terpikirkan. Baca tulisan ini
tentang konsep Tuhan yang sebenarnya
menurut teologi global-nya John Hick yang terbungkus dalam pluralisme agama.
[1]. Ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Jilid XI, hlm. 120
[2]C, Groenen, Sejarah Dogma Kristologi; Perkembangan Pemikiran
tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),
hlm. 286
[3].HR…..
[4].Jurnal Islamia, Thn I No. 4,Januari-Maret 2005, Rubrik
Epilog, Tuhan oleh Dr. Hamid Fahmi, hlm.118.
[5] Adna Aslan, Religion Pluralism in Christian and Islamic
Philosophy: The Thought of John Hick
and Seyyed Hossein Nasr.(
[6]. Ibid. Op Cit. hlm. 126-127. Syahadat Nicea menyatakan :"Kami
percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan
mauipun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah.
Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah
dari Allah, terang dari tyerang, Allah benar dari Allah Benar,dilahirkan tetapi
tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi
ada." Dikutif dari buku Konsili-konsili Gereja, karya Norman F. Tanner,.
Hlm. 36-37. Ini jelas bertentangan dengan Surah al-Ikhlash ayat 1-4.
[7].Ibid. Op. Cit. hlm.119
[8].QS. 5 : 3
[10].Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta
Paramadina, 1995), hlm. Ixxvii. Cak Nur tidak membedakan antara pluralitas(
pahami Piagam Madinah) dan pluralisme agama John Hick. Dan mengekor pada jejak
CW. Smith dan Jane I. Smith, yang menafsirkan kata "Islam" yang
terkandung dalam surah Ali Imran; 19 dan 88, bukan sebagai sebuah nama bagi
agama, tapi hanya bentuk ekspresi sikap kepatuhan. Siapapun yang menyerahkan
diri secara total dari agama apa pun dapat dikategorikan Muslim. Ide inilah
yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi gagasan teologi global dalam
pluralis me agama sebagai pengembangan teologi inklusi.f
[11] Jurnal Islamia, Ibid. Op Cit, hlm.29 dalam rubric Telaah Utama,
Pluralisme dan Problem Teologi Kristen, oleh Adian Husaini, MA.
[12]. Leonard Swidler, (ed), Toward a Universal Theology of Religion,
(New York: Orbis Book, 1987), hlm. 19, 51-52.
[13].Lihat, Azhari Noer, Kautsar Dr, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum
Sufi, (Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm.38 dan 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar