KRITIK
TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
Pernyataan
bahwa satu Tuhan banyak agama, kemudian Tuhan pemeluk agama lain adalah Tuhanya
pemeluk Islam sangatlah rancu. Karena dalam Islam hanya mempercayai adanya
keesaan Tuhan Allah. Allah bukanlah nama Tuhan yang dimiliki agama Kristen dan
Yahudi seperti yang dipersangkakan oleh penganut multikulturalisme. Tuhan orang
Islam adalah jelas, Yakni Allah yang Satu, tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tiada sesuatu yang menyerupainya.[1] Dalam konsepsi Islam, lafadz Allah adalah nama diri (proper
name) dari dzat yang maha kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat
tertentu.[2]
Bukti bahwa nama Allah adalah proper name disebutkan dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila”.[3]
Dari
ayat tersebut, terdapat sepenggal kalimat yang menunjukkan bahwa nama Allah
adalah proper name yaitu “Laa ilaaha illallah”. Pada kalimat
syahadat Tauhid tersebut secara implisit lafadz Allah adalah nama diri.
Kaum musyrikin Makkah ketika diseru Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan Laa
ilaaha illallah (yakni untuk tidak menyembah ilah kecuali sesembahan
yang bernama allah saja), mereka menolak seruan itu sambil mengatakan: “apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan (ilah-ilah) kami
karena seorang penyair gila?”. Ketika allah hendak memberi wahyu kepada Nabi Musa as, allah menyatakan dirinya dengan nama
“Allah”.
“Sesungguhnya
aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan(yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku
dan Dirikanlah shalat untuk mengingatku”.[4]
Masalah
konsep Tuhan dalam Islam bersifat khas dan berbeda dengan agama-agama lain.
Konsep Tuhan dalam tradisi Islam bersifat otentik dan final didasarkan atas
wahyu.
Kemudian konsep pendidikan multikulturalisme memiliki problem
mendasar yaitu mementingkan pemahaman keagamaan daripada agama. Hal ini sebagaimana
yang mereka wacanakan, untuk melakukan reorientasi pendidikan Agama Islam. Kalau
keagamaan yang dipentingkan maka, pendidikan Agama Islam dalam perspektif multikulturalisme,
hanya pendidikan Agama yang mengajarkan nilai-nilai universal yang dimiliki
oleh semua agama, seperti keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik
terhadap sesama dan kejujuran. Namun kalau Agama dalam kontek Pendidikan Agama
Islam, yang diajarkan adalah: Tauhid, guna mengetahui Dzat dan
sifat-sifat Allah, kemudian Fiqih dengan ini, dapat mengetahui berbagai
macam ibadah dan bermuamalah antar sesama, selanjutnya mengajarkan tentang Akhlak
Al-Karimah seperti sabar, syukur, dermawan, adab bergaul antara sesama, jujur
dan ikhlas; kemudian diperkenalkan juga akhlak tercela, seperti iri, dengki, curang,
sombong, riya’, marah, permusuhan, benci, dan kikir.[5]
Dapat dipahami bahwa pendidikan Agama Islam memiliki landasan yang
sangat kuat dalam membentuk dan membina manusia. Dasar merupakan landasan untuk
berdirinya sesuatu, yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan
dicapai dan sekaligus sebagai landasan berdirinya sesuatu.[6]
Maka dasar Pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah (Hadits) dan Ijma’,
Al-Qur’an yang mengandung dua perinsip besar yaitu masalah keimanan yang
disebut dengan Aqidah kemudian yang berhubungan dengan amal yang disebut
dengan Syari’at, sementara Al-Sunnah (Hadits) juga mengadung ajaran
Islam yang pokok setelah Al-Qur’an, berisikan petunjuk untuk kemaslahatan hidup
manusia dalam segala aspeknya. Berikutnya adalah Ijtihad’ para fuqaha’ guna
menetapkan atau menentukan hukum-hukum syari’at yang belum ditegaskan hukumnya
oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia
termasuk pendidikan, namun tetap berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.[7] Kemudian
Ibnu Khaldun menambahkan dalam muqaddimahnya, bahwa mempelajari ayat-ayat
Al-Qur’an dan sebagian matan Hadits dapat cepat menguatkan iman dan akidah ke
dalam hati, dan keduanya menjadi dasar pendidikan Agama Islam.[8] Jadi
pendidikan multikulturalisme tidak memiliki dasar pijakan yang kuat untuk melandaskan
tujuan pendidikannya, sedangkan Pendidikan Islam berpijak pada Al-Qur’an,
Al-Sunnah dan Ijtihad Fuqaha’sebagai landasan tujuan pendidikan Islam.
Oleh karena
itu, pendidikan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tentu mengarah
pada pembentukan sikap. Sikap yang dimaksud adalah tingkah laku terpuji atau baik
yang tercermin dalam diri seseorang sebagai manifestasi pendidikan yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits atau disebut juga dengan akhlak. Jadi pendidikan akhlak adalah pendidkan yang
mengajarkan tentang perilaku atau akhlak mulia dan menjauhkan akhlak tercela. Menurut
Az-Zarnuji pendidikan akhlak adalah menanamkan akhlak mulia serta manjauhkan
dari akhlak yang tercela dan mengetahui gerak gerik hati yang dibutuhkan dalam
setiap keadaan, ini wajib diketahui seperti tawakkal, al-inabah, taqwa,
ridha, dan lain-lai.[9] Akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan orang
lain.[10]
Sebagaimana yang disebutkaan Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dinukil dari
Al-Qurtubi bahwa akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan
orang lain, baik sifat terpuji maupun sifat tercela.[11]
Namun, disamping itu Naquib al-Attas mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah
orang baik, dan “baik” yang dimaksudkannya di sini adalah adab dalam
artian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material
seseorang yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.[12] Oleh karena itulah al-Attas mengatakan bahwa orang yang terpelajar
adalah orang yang beradab. Dalam kitabnya Risalah Untuk Kaum Muslimin
beliau menulis:
“Orang yang
baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dirinya
kepada Tuhan yang haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya
sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju ke arah kesempurnaan sebagai
manusia yang beradab.[13]
Menurut al-Attas,
adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan
segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan
kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai
tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan
kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.[14]
Yang dimaksud
dengan pengenalan dalam definisi di atas adalah mengetahui kembali (re-cognize)
perjanjian pertama (primordial covenant)[15]
antara manusia dan tuhan. Pentingnya makna adab yang ditulis di atas dan
keterkaitannya dengan pendidikan manusia yang baik akan semakin terasa ketika
disadari bahwasannya pengenalan, yang tentunya mencakup ilmu dan pengakuan yang
mencakup ilmu dan pengakuan yang meliputi tindakan akan tempat sesuatu
sangatlah berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam pandangan hidup Islam,
seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl), realitas dan kebenaran (haqq).
Dalam konteks ilmu, maka adab berarti ketertiban budi yang mengenal dan
mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-tingkat keluhuran
dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui bahwa seseorang yang
pengetahuannya berdasarkan wahyu jauh lebih luhur dan mulia dari mereka yang
pengetahuannya berdasarkan akal.
Jadi, sudah
tentu bahwa ta’dib atau akhlak dapat diaplikasikan dalam bentuk pengajaran personal yang
diberikan oleh seorang guru (mu’addib)[16]
kepada anak raja-raja, sultan, menteri, pemimpin militer, kaum terpelajar atau
pun keluarga yang kaya. Bentuk pendidikan dengan konsep ta’dib atau akhlak ini telah
diaplikasikan pada masa dinasti Umayyah sampai dinasti Usmaniyyah, dan telah
berhasil memproduksi pemimpin-pemimpin
yang bermutu dalam berbagai bidang.
Dengan
demikian, untuk mengantisipasi dampak buruk dari konsep
pendidikan multikulturalisme yang diwacanakan dalam pendidikan Agama Islam
maka, sebagai solusi adalah konsep ta’dib, sangatlah cocok untuk dijadikan konsep pengajaran yang
komprehensif.[17] Dalam konsep tersebut sudah mencakup
pendidikan dan pengajaran. Adapun keistimewaan konsep pendidikan berbasis adab
adalah lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak al-karimah sebagai tolak ukur
hasil pendidikan.
[1] QS. Al-Ikhlas:1-3
[2] Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam, (Jakarta,: Gema Insani, 2009), hlm.179
[3] QS. al-Shaffat: 36-37
[4] QS. Thaha: 14
[5] Jamaludin Al-Qosimi, Buku Putih Ihya Ulumuddin Imam Al-Gozali, diterjemah
oleh Drs. Asmuni, (Bekasi: PT. Darul Falah, 2011), cet, ke II h. 11
[6] Prof. Dr. H. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam.......h. 53
[7] Dr. Zakiah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2012), cet, ke X, h. 19-21
[8] Al-Alamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu
Khaldun, Penerjemah Masturi Irham, Lc dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2012) cet, III, h. 1003
[9] Al-Imam Burhan al-Islam Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim
‘ala Thariiqa Ta’allum, (Surabaya: Al-Hidayah Bankul Indah, 1367 H), p. 5.
[10] Kp.id bin Hamid al-Hazimi, Ushulu at-Tarbiyah al-Islamiyyah,
(Madinah Munawwarah: Daarul ‘Alam al-Kutub, 2000), p.. 136.
[11] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Riyadh: Maktabah
Salafiyah), p. 456.
[12] Naquib al-Attas, Aims and objectives, p. 1
[13] Naquib al-Attas, Risalah untuk kaum muslimin, (monograph
tidak diterbitkan), Mei, 1973, p. 54
[14] Naquib al-Attas, Conference on Muslim Education, Islamabad,
Pakistan (CEII), 1980, CEII, p.27
[15] Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
(QS. Al-A’raf: 172)
[16] Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh
sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan
moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I
No 6, Juli-September 2005
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar