Senin, 12 September 2016



KRITIK TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME

Pernyataan bahwa satu Tuhan banyak agama, kemudian Tuhan pemeluk agama lain adalah Tuhanya pemeluk Islam sangatlah rancu. Karena dalam Islam hanya mempercayai adanya keesaan Tuhan Allah. Allah bukanlah nama Tuhan yang dimiliki agama Kristen dan Yahudi seperti yang dipersangkakan oleh penganut multikulturalisme. Tuhan orang Islam adalah jelas, Yakni Allah yang Satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada sesuatu yang menyerupainya.[1] Dalam konsepsi Islam, lafadz Allah adalah nama diri (proper name) dari dzat yang maha kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu.[2] Bukti bahwa nama Allah adalah proper name disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila”.[3]
Dari ayat tersebut, terdapat sepenggal kalimat yang menunjukkan bahwa nama Allah adalah proper name yaitu “Laa ilaaha illallah”. Pada kalimat syahadat Tauhid tersebut secara implisit lafadz Allah adalah nama diri. Kaum musyrikin Makkah ketika diseru Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah (yakni untuk tidak menyembah ilah kecuali sesembahan yang bernama allah saja), mereka menolak seruan itu sambil mengatakan: “apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan (ilah-ilah) kami karena seorang penyair gila?”. Ketika allah hendak memberi wahyu kepada Nabi Musa as, allah menyatakan dirinya dengan nama “Allah”.
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan(yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingatku”.[4]
Masalah konsep Tuhan dalam Islam bersifat khas dan berbeda dengan agama-agama lain. Konsep Tuhan dalam tradisi Islam bersifat otentik dan final didasarkan atas wahyu.
Kemudian konsep pendidikan multikulturalisme memiliki problem mendasar yaitu mementingkan pemahaman keagamaan daripada agama. Hal ini sebagaimana yang mereka wacanakan, untuk melakukan reorientasi pendidikan Agama Islam. Kalau keagamaan yang dipentingkan maka, pendidikan Agama Islam dalam perspektif multikulturalisme, hanya pendidikan Agama yang mengajarkan nilai-nilai universal yang dimiliki oleh semua agama, seperti keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama dan kejujuran. Namun kalau Agama dalam kontek Pendidikan Agama Islam, yang diajarkan adalah: Tauhid, guna mengetahui Dzat dan sifat-sifat Allah, kemudian Fiqih dengan ini, dapat mengetahui berbagai macam ibadah dan bermuamalah antar sesama, selanjutnya mengajarkan tentang Akhlak Al-Karimah seperti sabar, syukur, dermawan, adab bergaul antara sesama, jujur dan ikhlas; kemudian diperkenalkan juga akhlak tercela, seperti iri, dengki, curang, sombong, riya’, marah, permusuhan, benci, dan kikir.[5]
Dapat dipahami bahwa pendidikan Agama Islam memiliki landasan yang sangat kuat dalam membentuk dan membina manusia. Dasar merupakan landasan untuk berdirinya sesuatu, yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan berdirinya sesuatu.[6] Maka dasar Pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah (Hadits) dan Ijma’, Al-Qur’an yang mengandung dua perinsip besar yaitu masalah keimanan yang disebut dengan Aqidah kemudian yang berhubungan dengan amal yang disebut dengan Syari’at, sementara Al-Sunnah (Hadits) juga mengadung ajaran Islam yang pokok setelah Al-Qur’an, berisikan petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya. Berikutnya adalah Ijtihad’ para fuqaha’ guna menetapkan atau menentukan hukum-hukum syari’at yang belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia termasuk pendidikan, namun tetap berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.[7] Kemudian Ibnu Khaldun menambahkan dalam muqaddimahnya, bahwa mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagian matan Hadits dapat cepat menguatkan iman dan akidah ke dalam hati, dan keduanya menjadi dasar pendidikan Agama Islam.[8] Jadi pendidikan multikulturalisme tidak memiliki dasar pijakan yang kuat untuk melandaskan tujuan pendidikannya, sedangkan Pendidikan Islam berpijak pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijtihad Fuqaha’sebagai landasan tujuan pendidikan Islam.
Oleh karena itu, pendidikan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tentu mengarah pada pembentukan sikap. Sikap yang dimaksud adalah tingkah laku terpuji atau baik yang tercermin dalam diri seseorang sebagai manifestasi pendidikan yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits atau disebut juga dengan akhlak. Jadi pendidikan akhlak adalah pendidkan yang mengajarkan tentang perilaku atau akhlak mulia dan menjauhkan akhlak tercela. Menurut Az-Zarnuji pendidikan akhlak adalah menanamkan akhlak mulia serta manjauhkan dari akhlak yang tercela dan mengetahui gerak gerik hati yang dibutuhkan dalam setiap keadaan, ini wajib diketahui seperti tawakkal, al-inabah, taqwa, ridha, dan lain-lai.[9] Akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan orang lain.[10] Sebagaimana yang disebutkaan Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dinukil dari Al-Qurtubi bahwa akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan orang lain, baik sifat terpuji maupun sifat tercela.[11]
Namun, disamping itu Naquib al-Attas mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik, dan “baik” yang dimaksudkannya di sini adalah adab dalam artian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.[12] Oleh karena itulah al-Attas mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang beradab. Dalam kitabnya Risalah Untuk Kaum Muslimin beliau menulis:
“Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dirinya kepada Tuhan yang haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju ke arah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[13]
Menurut al-Attas, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.[14]
Yang dimaksud dengan pengenalan dalam definisi di atas adalah mengetahui kembali (re-cognize) perjanjian pertama (primordial covenant)[15] antara manusia dan tuhan. Pentingnya makna adab yang ditulis di atas dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia yang baik akan semakin terasa ketika disadari bahwasannya pengenalan, yang tentunya mencakup ilmu dan pengakuan yang mencakup ilmu dan pengakuan yang meliputi tindakan akan tempat sesuatu sangatlah berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl), realitas dan kebenaran (haqq). Dalam konteks ilmu, maka adab berarti ketertiban budi yang mengenal dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu jauh lebih luhur dan mulia dari mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal.
Jadi, sudah tentu bahwa ta’dib atau akhlak dapat diaplikasikan dalam bentuk pengajaran personal yang diberikan oleh seorang guru (mu’addib)[16] kepada anak raja-raja, sultan, menteri, pemimpin militer, kaum terpelajar atau pun keluarga yang kaya. Bentuk pendidikan dengan konsep ta’dib atau akhlak ini telah diaplikasikan pada masa dinasti Umayyah sampai dinasti Usmaniyyah, dan telah berhasil memproduksi pemimpin-pemimpin  yang bermutu dalam berbagai bidang.
Dengan demikian, untuk mengantisipasi dampak buruk dari konsep pendidikan multikulturalisme yang diwacanakan dalam pendidikan Agama Islam maka, sebagai solusi adalah konsep ta’dib, sangatlah cocok untuk dijadikan konsep pengajaran yang komprehensif.[17] Dalam konsep tersebut sudah mencakup pendidikan dan pengajaran. Adapun keistimewaan konsep pendidikan berbasis adab adalah lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak al-karimah sebagai tolak ukur hasil pendidikan.



[1] QS. Al-Ikhlas:1-3
[2] Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta,: Gema Insani, 2009), hlm.179
[3] QS. al-Shaffat: 36-37
[4] QS. Thaha: 14
[5] Jamaludin Al-Qosimi, Buku Putih Ihya Ulumuddin Imam Al-Gozali, diterjemah oleh Drs. Asmuni, (Bekasi: PT. Darul Falah, 2011), cet, ke II h. 11
[6] Prof. Dr. H. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam.......h. 53
[7] Dr. Zakiah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), cet, ke X, h. 19-21
[8] Al-Alamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Penerjemah Masturi Irham, Lc dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012) cet, III, h. 1003
[9] Al-Imam Burhan al-Islam Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim ‘ala Thariiqa Ta’allum, (Surabaya: Al-Hidayah Bankul Indah, 1367 H), p. 5.
[10] Kp.id bin Hamid al-Hazimi, Ushulu at-Tarbiyah al-Islamiyyah, (Madinah Munawwarah: Daarul ‘Alam al-Kutub, 2000), p.. 136.
[11] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, (Riyadh: Maktabah Salafiyah), p. 456.
[12] Naquib al-Attas, Aims and objectives, p. 1
[13] Naquib al-Attas, Risalah untuk kaum muslimin, (monograph tidak diterbitkan), Mei, 1973, p. 54
[14] Naquib al-Attas, Conference on Muslim Education, Islamabad, Pakistan (CEII), 1980, CEII, p.27
[15] Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raf: 172)
[16] Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), p. 180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar