ISLAMISASI
ILMU PENGETAHUAN
Formulasi sistematis dari islamisasi ilmu
pengetahuan dicapai oleh Al-Attas dengan hasil yang jelas pada paruh dua abad
ke-20. Meskipun pada dasarnya praktek islamisasi ilmu pengetahuan telah
berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat pertama
yang diwahyukan kepada Nabi jelas menegaskan semangat islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Tuhan menekankan bahwa Dia adalah Sumber
asli Asal ilmu pengetahuan manusia.
Dalam surah Al-‘Alaq (96): 1-5, Allah
memerintahkan Nabi Muhammad: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah! Dan
Tuhamulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam;
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Di sini, tampak bahwa ayat-ayat itu telah
mengislamkan pandangan dunia pra-Islam dari aspek ontologis dan epistemologis
yang mendasar. Pertanyaan ontologis yang mendasar dan isu lain yang berkaitan,
seperti apakah manusia itu sendirian di alam raya ini, dan apakah manusia harus
menemukan segala sesuatu problem, secara otomatis telah terjawab. Secara
epistemologis, khususnya isu-isu mengenai Tuhan sebagai Sumber segala ilmu
pengetahuan dan sebagai Guru umat manusia juga sangat signifikan. Yang juga
penting adalah implikasi bahwa karena Sumber ilmu pengetahuan adalah Tuhan
Universal yang tidak terikat dengan batasan nasional, etnis, atau bahkan
berhubungan dengan masalah gender, maka ilmu pengetahuan itu ketika datang dari
Sumber Ilahi dengan sendirinya bersifat universal dan tidak dirasuki oleh
ciri-ciri nasional, etnik, atau gender. Perintah untuk membaca dan tindakan
membaca, yang merupakan aspek mendasar dari belajar, harus berpijak atas Nama
Allah, Yang Esa, yang pada gilirannya akan menjiwai dan menyakralkan kegiatan
membaca dan pendidikan secara umum. Jadi, yang ditekankan di sini adalah
membaca (mencerap) dan menulis (menggunakan pena) sebagai aspek ganda
komunikasi ilmu pengetahuan.[1]
Mengapa ilmu pengetahuan harus
“diislamkan”, karena ilmu di tangan Barat sudah menjadi sekular (secularized).
Ilmu menurut saintis Barat tidak dibangun di atas “wahyu”, melainkan spekulasi
rasional, akal dan pengelaman empirik.[2] Setidaknya ada lima poin
konsep ilmu Barat yang dikritik oleh Al-Attas dan harus diislamkan: (1)
peradaban Barat dimulai dari worldview metafisis; (2) worldview tersebut
dikonstruk oleh materialisme; (3) peradaban Barat yang menekankan rasio (reason)
dan menolak spiritual; (4) peradaban Barat menolak kesatuan jasad dan ruh; dan
(5) peradaban Barat menerima “misteri” sebagai kepercayaan yang absolut.[3]
Oleh karena itu, ilmu-ilmu masa kini
(modern) inilah yang pertama kali harus mengalami islamisasi. Meskipun pada
masa silam, ilmu-ilmu telah mengalami islamisasi di tangan para ilmuan Muslim,
diantaranya para filosof, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Meskipun
mereka disinyalir kurang berhasil mengintegrasikan aspek-aspek tertenu dalam
elemen-elemen filsafat Yunani ke dalam pandangan hidup Islam. Yang kemudian
orang semacam al-Ghazali, berusaha menolak ide-ide ini. Ini kemudian diikuti
oleh Fakhr al-Din al-Razi. Yang paling berhasil dalam mengislamkan ilmu
kontemporer pada zaman mereka, menurutt Al-Attas, adalah para teolog dan
khususnya para filosof sufi atau sufi tingkat tinggi. Namun, yang paling
menonjol dan prestasi yang masih belum tertandingi, jika tidak digantikan,
adalah kemampuan umat Islam mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami oleh
Islam, seperti ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hukum (fiqih) oleh Malik,
Abu Hanifah, dan Syafi’i; kritik hadits oleh tradisionis seperti Muslim
dan Al-Bukhari; teologi (kalam) oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi;
psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi; perbandingan agama oleh
Al-Biruni; Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, dan lain-lain; dan
sosiologi-antropologi integral oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain.[4]
Untuk menegaskan bagaimana Al-Qur’an
“mengislamkan” istilah dan konsep lain pandangan dunia pra-Islam, beberapa
contoh konkret dapat diketengahkan di sini. Kehormatan (muruwwah) dan
kemuliaan (karam) adalah dua dari sejumlah elemen penting dalam
pandangan dunia dan kehidupan pra-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan
kepemilikan banyak harta, kekayaan, dan karakter tertentu yang dianggap
mencerminkan kejantanan. Al-Qur’an mengubah ini semua dengan suatu cara yang
fundamental, yaitu dengan cara memperkenalkan faktor kunci, yaitu takwa; dalam
Al-Qur’an dikatakan bahwa yang paling mulia diantara kamu di hadapan Allah
adalah yang paling bertakwa.[5]
Selanjutnya, Arab pra-Islam tidak pernah
mengaitkan kemuliaan dengan kitab-kitab, kata-kata, atau ucapana (qaul karim),
meskipun mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kemampuan untuk
mengarang dan membaca puisi (syair). Di sini, Al-Qur’an juga memengaruhi
perubahan semantik dasar, yaitu kemuliaan diasosiasikan dengan Al-Qur’an:
kitab karim atau ucapan kepada orangtua (qaul karim).[6] Contoh lain mungkin cukup
memperkuat argumen ini. Ide persaudaraan, yang merupakan fondasi bagi kekuatan
suku, kelangsungan hidup, dan kebanggaannya, pada mulanya dikaitkan dengan
hubungan darah, dan tidak pernah dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Lagi-lagi,
Al-Qur’an mengubah ini dengan memperkenalkan ide persaudaraan (ikhwah)
berdasarkan iman, yang tinggi dari hubungan berdasarkan pertalian darah.[7]
Dengan adanya islamisasi itu maka lahirlah konsep
ilmu yang merasuk ke dalam relung hati dan jiwa. Dan pada gilirannya, ilmu itu
lahir ke permukaan sebagai amal saleh, sebagai konsekuensi yang tak
terpisahkan dari buah ilmu.
[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terjemah: Hamid Fahmy, M. Arifin
Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 340.
[2] Kajian luas dan mendalam tentang perjalanan sains
di Barat hingga menjadi sekular dapat disimak dalam Adnin Armas, “Westernisasi
dan Islamisasi Ilmu”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September
2005), hlm. 9-12.
[3] Eko Nurcahyo, op.cit, hlm. hlm. 66-67.
[4] Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., hlm.
343-344.
[5] Qs. Al-Hujurat [49]: 13.
[6] Qs. Al-Isra’ [17]: 23 dan al-Naml [27]: 29.
[7] Wan Daud, op.cit., hlm. 341-342. Ayat
tentang ukhuwah tersebut di atas adalah: Qs. Al-Naml [27]: 29 dan Qs.
Al-Hasyr [59]: 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar