Rabu, 24 Agustus 2016

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN




ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Formulasi sistematis dari islamisasi ilmu pengetahuan dicapai oleh Al-Attas dengan hasil yang jelas pada paruh dua abad ke-20. Meskipun pada dasarnya praktek islamisasi ilmu pengetahuan telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi jelas menegaskan semangat islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Tuhan menekankan bahwa Dia adalah Sumber asli Asal ilmu pengetahuan manusia.
Dalam surah Al-‘Alaq (96): 1-5, Allah memerintahkan Nabi Muhammad: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah! Dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Di sini, tampak bahwa ayat-ayat itu telah mengislamkan pandangan dunia pra-Islam dari aspek ontologis dan epistemologis yang mendasar. Pertanyaan ontologis yang mendasar dan isu lain yang berkaitan, seperti apakah manusia itu sendirian di alam raya ini, dan apakah manusia harus menemukan segala sesuatu problem, secara otomatis telah terjawab. Secara epistemologis, khususnya isu-isu mengenai Tuhan sebagai Sumber segala ilmu pengetahuan dan sebagai Guru umat manusia juga sangat signifikan. Yang juga penting adalah implikasi bahwa karena Sumber ilmu pengetahuan adalah Tuhan Universal yang tidak terikat dengan batasan nasional, etnis, atau bahkan berhubungan dengan masalah gender, maka ilmu pengetahuan itu ketika datang dari Sumber Ilahi dengan sendirinya bersifat universal dan tidak dirasuki oleh ciri-ciri nasional, etnik, atau gender. Perintah untuk membaca dan tindakan membaca, yang merupakan aspek mendasar dari belajar, harus berpijak atas Nama Allah, Yang Esa, yang pada gilirannya akan menjiwai dan menyakralkan kegiatan membaca dan pendidikan secara umum. Jadi, yang ditekankan di sini adalah membaca (mencerap) dan menulis (menggunakan pena) sebagai aspek ganda komunikasi ilmu pengetahuan.[1]

Mengapa ilmu pengetahuan harus “diislamkan”, karena ilmu di tangan Barat sudah menjadi sekular (secularized). Ilmu menurut saintis Barat tidak dibangun di atas “wahyu”, melainkan spekulasi rasional, akal dan pengelaman empirik.[2] Setidaknya ada lima poin konsep ilmu Barat yang dikritik oleh Al-Attas dan harus diislamkan: (1) peradaban Barat dimulai dari worldview metafisis; (2) worldview tersebut dikonstruk oleh materialisme; (3) peradaban Barat yang menekankan rasio (reason) dan menolak spiritual; (4) peradaban Barat menolak kesatuan jasad dan ruh; dan (5) peradaban Barat menerima “misteri” sebagai kepercayaan yang absolut.[3]
Oleh karena itu, ilmu-ilmu masa kini (modern) inilah yang pertama kali harus mengalami islamisasi. Meskipun pada masa silam, ilmu-ilmu telah mengalami islamisasi di tangan para ilmuan Muslim, diantaranya para filosof, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Meskipun mereka disinyalir kurang berhasil mengintegrasikan aspek-aspek tertenu dalam elemen-elemen filsafat Yunani ke dalam pandangan hidup Islam. Yang kemudian orang semacam al-Ghazali, berusaha menolak ide-ide ini. Ini kemudian diikuti oleh Fakhr al-Din al-Razi. Yang paling berhasil dalam mengislamkan ilmu kontemporer pada zaman mereka, menurutt Al-Attas, adalah para teolog dan khususnya para filosof sufi atau sufi tingkat tinggi. Namun, yang paling menonjol dan prestasi yang masih belum tertandingi, jika tidak digantikan, adalah kemampuan umat Islam mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami oleh Islam, seperti ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hukum (fiqih) oleh Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i; kritik hadits oleh tradisionis seperti Muslim dan Al-Bukhari; teologi (kalam) oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi; perbandingan agama oleh Al-Biruni; Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, dan lain-lain; dan sosiologi-antropologi integral oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain.[4]
Untuk menegaskan bagaimana Al-Qur’an “mengislamkan” istilah dan konsep lain pandangan dunia pra-Islam, beberapa contoh konkret dapat diketengahkan di sini. Kehormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam) adalah dua dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia dan kehidupan pra-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak harta, kekayaan, dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur’an mengubah ini semua dengan suatu cara yang fundamental, yaitu dengan cara memperkenalkan faktor kunci, yaitu takwa; dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa yang paling mulia diantara kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.[5]
Selanjutnya, Arab pra-Islam tidak pernah mengaitkan kemuliaan dengan kitab-kitab, kata-kata, atau ucapana (qaul karim), meskipun mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kemampuan untuk mengarang dan membaca puisi (syair). Di sini, Al-Qur’an juga memengaruhi perubahan semantik dasar, yaitu kemuliaan diasosiasikan dengan Al-Qur’an: kitab karim atau ucapan kepada orangtua (qaul karim).[6] Contoh lain mungkin cukup memperkuat argumen ini. Ide persaudaraan, yang merupakan fondasi bagi kekuatan suku, kelangsungan hidup, dan kebanggaannya, pada mulanya dikaitkan dengan hubungan darah, dan tidak pernah dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Lagi-lagi, Al-Qur’an mengubah ini dengan memperkenalkan ide persaudaraan (ikhwah) berdasarkan iman, yang tinggi dari hubungan berdasarkan pertalian darah.[7]

Dengan adanya islamisasi itu maka lahirlah konsep ilmu yang merasuk ke dalam relung hati dan jiwa. Dan pada gilirannya, ilmu itu lahir ke permukaan sebagai amal saleh, sebagai konsekuensi yang tak terpisahkan dari buah ilmu.



[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terjemah: Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 340.
[2] Kajian luas dan mendalam tentang perjalanan sains di Barat hingga menjadi sekular dapat disimak dalam Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September 2005), hlm. 9-12.
[3] Eko Nurcahyo, op.cit, hlm. hlm. 66-67.
[4] Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., hlm. 343-344.
[5] Qs. Al-Hujurat [49]: 13.
[6] Qs. Al-Isra’ [17]: 23 dan al-Naml [27]: 29.
[7] Wan Daud, op.cit., hlm. 341-342. Ayat tentang ukhuwah tersebut di atas adalah: Qs. Al-Naml [27]: 29 dan Qs. Al-Hasyr [59]: 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar