Senin, 12 September 2016

WACANA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA



WACANA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Wacana multikulturalisme, jika dilihat ke dalam pokok pemikirannya maka, ia adalah nama lain dari pluralisme agama. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2005 Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham Pluralisme Agama, dan kalangan Pluralis Agama mengakui bahwa fatwa MUI cukup berpengaruh di kalangan masyarakat muslim. Karena itu, sepertinya ada upaya untuk mengurangi penggunaan istilah Pluralisme Agama, khususnya ketika kaum liberal berhadapan dengan komunitas Muslim yang kental agamanya. Salah satu cara, dimunculkanlah istilah lain yang bermakna sejenis, yaitu istilah “multikulturalisme”.[1] Salah satu kelompok yang aktif menyebarkan paham ini adalah International Center for Islam and Pluralism (ICIP).[2] Lebih jelas lagi bahwa pluralisme Agama dalam tataran kehidupan sosial digunakan istilah multikulturalisme.[3] Artinya Istilah Pluralisme Agama dan Multikulturalisme, secara filosofis, memiliki arti, tujuan dan ideologi yang sama.
 Pada gilirannya, Ideologi tersebut diwacanakan kedalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran agama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh penggiat pendidikan multikulturalisme bahwa, yang dicari dalam paradigma pendidikan multikulturalisme adalah “mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis, kemudian membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki oleh masing-masing agama”. Selain itu, suatu kenyataan dapat kita lihat pernyataan tentang ideologi Pluralisme Agama dan multikulturalisme bahwa, landasan filosofis pelaksanaan pendidikan Islam multikulturalisme di Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman adanya fenomena bahwa “Satu Tuhan banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang.[4] Pernyataan di atas sekaligus menjadi wacana pokok dalam pendidikan multikulturalisme, khususnya dalam reorientasi pembelajaran agama di sekolah. Sehingga peserta didik diharapkan dapat melakukan “jelajah agama, untuk berziarah spritual kedalam jantung spritual agama lain sehingga, bertambah wawasan intelektual dan memperkaya pemahaman agama lain secara fenomenologis”.[5] Oleh karena itu, pendidikan multikulturalisme bukan hanya menyentuh wilayah sosiologis-kultural tetapi, telah masuk kedalam ranah teologis.
Oleh para penggiatnya, wacana pendidikan multikulturalisme merupakan pendekatan yang dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia. Menurut mereka, wacana ini seiring dengan pengembangan “demokrasi” yang dijalankan di Indonesia, sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otoda).[6] Semua warga negara Indonesia mengakui tentang keberagaman budaya, suku, ras dan agama, dan secara yuridis keragaman tersebut diakui oleh negara, dan dilindungi undang-undang yang berlandaskan demokrasi, keadilan, dan menjamin hak asasi manusia. Kemudian pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Otonomi Daerah, guna sentralisasi dan terciptanya masyarakat yang otonom. Sehingga dengan segala bentuk keragaman tersebut dapat terakomodir dan dijadikan ciri khas serta aset budaya masing-masing daerah yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, pemerintah ingin melestarikan keragaman budaya dan agama di Indonesia, dan pandangan inilah yang ingin dibongkar oleh kaum multikulturalisme melalui pendidikan multikulturalisme.
Untuk merealisasikan wacananya, penggiat multikulturalisme, ingin mendekonstruksi kurikulum pendidikan agama yang isinya tidak sesuai dengan ideologi mereka. Sebagaimana yang ditulis oleh Choirul Mahfud dalam bukunya Pendidikan Multikultural bahwa didalam aplikasi pendidikan multikultural diperlukan untuk merevisi buku-buku teks, agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, dan  etnis. Kemudian diperlukan adanya reformasi dalam sistim pembelajaran, affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar, seperti yang dilakukan oleh Amerika sebagai salah satu strategi dalam perbaikan sistim pendidikan.[7] Dapat dipahami bahwa, doktrin pendidikan multikulturalisme telah menyentuh salah satu aspek penting dalam pendidikan, yaitu kurikulum, dengan merubah materi  dan metode pembelajaran, sehingga mengandung nilai multikulturalisme.
Lebih jauh lagi Paul Gorski mengemukan wacana baru, dengan melakukan perubahan atau transformasi untuk memasukkan ide multikulturalisme di dalam pendidikan khususnya pendidikan Agama. Ia memformulasikan idenya kedalam tiga jenis transformasi, yaitu: Transformasi diri. Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar. Kemudian transformasi masyarakat.[8] tujuannya. Pertama: membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai pendidikan multikultural yang baik maka, kelak mereka mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi[9] secara langsung di sekolah kepada peserta didik. Kedua:  peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajran yang dipelajari, namun memiliki karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.[10] Melalui ide Paul Groski dapat dilihat bahwa pendidikan multikulturalisme memiliki muatan ideologi demokrasi, pluralisme dan humanisme yang ingin ditanamkan pada diri peserta didik melalui upaya mereorientasi pembelajaran Agama di sekolah ataupun di perguruan tinggi.
Ide Paul Groski ini diadopsi oleh Ngainun Naim dalam memasukkan ideologi multikulturalisme ke dalam pendidikan Islam. Menurutnya, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam multikulturalisme, pertama: menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman, dengan harapan akan timbul kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada, kedua: sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap pulralis-multikultural, ketiga: menerima anak didik dari segala macam latarbelakang suku, agama, ras dan golongan, kemudian memposisikan mereka secara egaliter, dan memberikan medium untuk mengekspresikan karakteristik yang mereka miliki, sehingga tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya, memiliki posisi dan perlakuan yang sama. Kemudian yang keempat: memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik.[11]
Wacana multikulturalisme, bertujuan menanamkan nilai-nilai pluralisme Agama, humanisme dan demokrasi, sehingga secara fundamental dan sistemik akan merusak dan menghancurkan sendi-sendi pendidikan Agama Islam, terutama dalam pembelajaran Agama.  


[1]  Dr. Adian Husaini, Virus Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2009) Cet. I., h.  184-185. Lihat juga,  The Thirt Wave: Demokrasi in the Late Twentieth Centuri, karya P. Huntington. Tahun (Pustaka Grafiti, 1995)  dengan judul Gelombang Demokrasi Ketiga, h.  386, 396, dan 398.
[2]  Ibid, h, 186
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (ISID Demangan Siman Ponorogo Jawa Timur: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) 2010) Cet. X, h. 107
[4] Ngainun Naim,........... h. 55 
[5] Ibid, h. 179, penomenologi atau penomenalisme secara harfiah merupakan aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Tokohnya adalah Edmund Husserl (1859-1938) ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum, mendeskripsikan realitas apaadanya. Setiap objek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Lebih lanjut baca Ali Maksum, Pengantar filsafat dari Masa Klasik Hingga Posmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009) Cet ke II, h, 368-369 
[6] Op. Cit, h. 198
[7] Khoiril Mahfud, Pendidikan Multikultural....... h. 200
[8] Op. Cit. h. 200
[9] Pengertian Demokrasi secara politis filosofis adalah semua kekuasaan rakyat dikembalikan kepada rakyat sebagai sumyek asali otoritas,  semua warga Negara mampu menggunakan rasionya dan mempunyai suara hati, berperan serta dalam mengambil keputusan masalah politik dengan bebas dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan. Lihat, Lorens Bagus, Kamus........ h. 154
[10]  M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pular Media, 2005), h. 26
[11] Ngainun Naim dan Acmad sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2008), h: 53-54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar