WACANA
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Wacana multikulturalisme, jika dilihat ke dalam pokok pemikirannya
maka, ia adalah nama lain dari pluralisme agama. Hal ini terbukti bahwa pada tahun
2005 Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham
Pluralisme Agama, dan kalangan Pluralis Agama mengakui bahwa fatwa MUI cukup
berpengaruh di kalangan masyarakat muslim. Karena itu, sepertinya ada upaya
untuk mengurangi penggunaan istilah Pluralisme Agama, khususnya ketika kaum
liberal berhadapan dengan komunitas Muslim yang kental agamanya. Salah satu
cara, dimunculkanlah istilah lain yang bermakna sejenis, yaitu istilah
“multikulturalisme”.[1] Salah
satu kelompok yang aktif menyebarkan paham ini adalah International Center
for Islam and Pluralism (ICIP).[2] Lebih
jelas lagi bahwa pluralisme Agama dalam tataran kehidupan sosial digunakan
istilah multikulturalisme.[3] Artinya
Istilah Pluralisme Agama dan Multikulturalisme, secara filosofis, memiliki arti,
tujuan dan ideologi yang sama.
Pada gilirannya, Ideologi
tersebut diwacanakan kedalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran agama.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh penggiat pendidikan multikulturalisme bahwa, yang
dicari dalam paradigma pendidikan multikulturalisme adalah “mendapatkan titik-titik
pertemuan yang dimungkinkan secara teologis, kemudian membandingkan
konsep-konsep ideal yang dimiliki oleh masing-masing agama”. Selain itu,
suatu kenyataan dapat kita lihat pernyataan tentang ideologi Pluralisme Agama
dan multikulturalisme bahwa, landasan filosofis pelaksanaan pendidikan Islam multikulturalisme
di Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman adanya fenomena bahwa “Satu
Tuhan banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia
sekarang.[4] Pernyataan
di atas sekaligus menjadi wacana pokok dalam pendidikan multikulturalisme,
khususnya dalam reorientasi pembelajaran agama di sekolah. Sehingga peserta
didik diharapkan dapat melakukan “jelajah agama, untuk berziarah spritual
kedalam jantung spritual agama lain sehingga, bertambah wawasan intelektual dan
memperkaya pemahaman agama lain secara fenomenologis”.[5]
Oleh karena itu, pendidikan multikulturalisme bukan hanya menyentuh wilayah
sosiologis-kultural tetapi, telah masuk kedalam ranah teologis.
Oleh para penggiatnya, wacana pendidikan multikulturalisme merupakan
pendekatan yang dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia. Menurut mereka,
wacana ini seiring dengan pengembangan “demokrasi” yang dijalankan di Indonesia,
sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
(otoda).[6] Semua
warga negara Indonesia mengakui tentang keberagaman budaya, suku, ras dan
agama, dan secara yuridis keragaman tersebut diakui oleh negara, dan dilindungi
undang-undang yang berlandaskan demokrasi, keadilan, dan menjamin hak asasi
manusia. Kemudian pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Otonomi Daerah, guna
sentralisasi dan terciptanya masyarakat yang otonom. Sehingga dengan segala
bentuk keragaman tersebut dapat terakomodir dan dijadikan ciri khas serta aset
budaya masing-masing daerah yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu, dengan
adanya otonomi daerah, pemerintah ingin melestarikan keragaman budaya dan agama
di Indonesia, dan pandangan inilah yang ingin dibongkar oleh kaum multikulturalisme
melalui pendidikan multikulturalisme.
Untuk merealisasikan wacananya, penggiat multikulturalisme, ingin mendekonstruksi
kurikulum pendidikan agama yang isinya tidak sesuai dengan ideologi mereka.
Sebagaimana yang ditulis oleh Choirul Mahfud dalam bukunya Pendidikan
Multikultural bahwa didalam aplikasi pendidikan multikultural diperlukan
untuk merevisi buku-buku teks, agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi
yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya,
dan etnis. Kemudian diperlukan adanya reformasi
dalam sistim pembelajaran, affirmative action dalam seleksi siswa sampai
rekrutmen tenaga pengajar, seperti yang dilakukan oleh Amerika sebagai salah
satu strategi dalam perbaikan sistim pendidikan.[7] Dapat
dipahami bahwa, doktrin pendidikan multikulturalisme telah menyentuh salah satu
aspek penting dalam pendidikan, yaitu kurikulum, dengan merubah materi dan metode pembelajaran, sehingga mengandung
nilai multikulturalisme.
Lebih jauh lagi Paul Gorski mengemukan wacana baru, dengan
melakukan perubahan atau transformasi untuk memasukkan ide multikulturalisme di
dalam pendidikan khususnya pendidikan Agama. Ia memformulasikan idenya kedalam
tiga jenis transformasi, yaitu: Transformasi diri. Transformasi sekolah dan
proses belajar mengajar. Kemudian transformasi masyarakat.[8]
tujuannya. Pertama: membangun wacana pendidikan multikultural
dikalangan guru, dosen, ahli mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa
umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai pendidikan multikultural yang
baik maka, kelak mereka mampu untuk menjadi transformator pendidikan
multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan
demokrasi[9]
secara langsung di sekolah kepada peserta didik. Kedua: peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi pelajran yang dipelajari, namun memiliki karakter yang kuat
untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.[10] Melalui ide Paul Groski dapat dilihat bahwa
pendidikan multikulturalisme memiliki muatan ideologi demokrasi, pluralisme dan
humanisme yang ingin ditanamkan pada diri peserta didik melalui upaya
mereorientasi pembelajaran Agama di sekolah ataupun di perguruan tinggi.
Ide Paul Groski ini diadopsi oleh Ngainun Naim dalam memasukkan ideologi
multikulturalisme ke dalam pendidikan Islam. Menurutnya, ada beberapa aspek
yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam multikulturalisme, pertama:
menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman, dengan harapan akan timbul
kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada, kedua: sebuah
usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak
didik terhadap pulralis-multikultural, ketiga: menerima anak didik dari
segala macam latarbelakang suku, agama, ras dan golongan, kemudian memposisikan
mereka secara egaliter, dan memberikan medium untuk mengekspresikan
karakteristik yang mereka miliki, sehingga tidak ada yang lebih unggul dari
yang lainnya, memiliki posisi dan perlakuan yang sama. Kemudian yang keempat:
memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada
setiap anak didik.[11]
Wacana multikulturalisme, bertujuan menanamkan
nilai-nilai pluralisme Agama, humanisme dan demokrasi, sehingga secara fundamental
dan sistemik akan merusak dan menghancurkan sendi-sendi pendidikan Agama Islam,
terutama dalam pembelajaran Agama.
[1] Dr. Adian Husaini, Virus
Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2009) Cet.
I., h. 184-185. Lihat juga, The Thirt Wave: Demokrasi in the Late
Twentieth Centuri, karya P. Huntington. Tahun (Pustaka Grafiti, 1995) dengan judul Gelombang Demokrasi Ketiga,
h. 386, 396, dan 398.
[2] Ibid,
h, 186
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan
Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (ISID Demangan Siman
Ponorogo Jawa Timur: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) 2010)
Cet. X, h. 107
[4] Ngainun Naim,........... h. 55
[5] Ibid, h. 179, penomenologi atau penomenalisme secara harfiah
merupakan aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah
sumber pengetahuan dan kebenaran. Tokohnya adalah Edmund Husserl (1859-1938) ia
selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen,
konsep-konsep atau teori umum, mendeskripsikan realitas apaadanya. Setiap objek
memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima. Lebih lanjut baca Ali Maksum, Pengantar
filsafat dari Masa Klasik Hingga Posmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2009) Cet ke II, h, 368-369
[6] Op. Cit, h. 198
[7] Khoiril Mahfud, Pendidikan Multikultural....... h. 200
[8] Op. Cit. h. 200
[9] Pengertian Demokrasi secara politis filosofis adalah semua
kekuasaan rakyat dikembalikan kepada rakyat sebagai sumyek asali otoritas, semua warga Negara mampu menggunakan rasionya
dan mempunyai suara hati, berperan serta dalam mengambil keputusan masalah
politik dengan bebas dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan. Lihat, Lorens
Bagus, Kamus........ h. 154
[10] M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pular Media, 2005), h. 26
[11] Ngainun Naim dan Acmad sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep
dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2008), h: 53-54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar