Uang adalah benda yang sangat besar fungsinya bagi kehidupan kita
semua. Tanpa uang pastilah kita akan sangat kesulitan untuk melakukan jual beli.
Coba bayangkan apabila tidak ada uang, mungkinkah kita tetap seperti zaman
dahulu yang masih menggunakan system barter. Namun dengan adanya uang yang
telah kita pakai sampai dengan saat ini, ada beberapa permasalahan tersendiri
bahkan sampai menimbulkan krisis moneter yang berkelanjutan. Namun dalam hal
ini imam al-Ghazali sudah membahas permasalahan serta evolusi uang dan berbagai
fungsinya. Ia juga menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang
timbul dari system barter, ia juga membahas berbagai akibat negative dari
pemasluan dan penurunan nilai mata uang, yang kemudian hasil penelitian beliau
dipelajari oleh Nicholas oresme, Thomas Gresham, dan Richad Cantillon. Maka
dalam essay ini akan dijelaskan
bagaimana pandangan Imam Al-Ghazali mengenai uang.
Dalam pandangan al-Ghazali menyatakan bahwa fungsi Uang adalah sebagai
media alat tukar, salah satunya adalah mengenai analisis terhadap fungsi uang
(khususnya uang emas dan perak). Menurut beliau, fungsi uang sangat sederhana,
yaitu hanya sebagai media alat tukar. Contohnya, seseorang memiliki sekarung
kunyit. Sementara dia lebih membutuhkan seekor unta yang akan dia tunggangi.
Sementara itu, ada seseorang yang memiliki seekor unta, tetapi dia mem-butuhkan
kunyit yang akan dia konsumsi. Di sini diperlukan alat tukar sebagai pengukur
nilai dari satuan unit komoditas yang berbeda-beda. Lebih jauh Al - Ghazali
menjelaskan, sangat sulit mempertukarkan dua komoditas yang berbeda
antara seekor unta dan sekarung kunyit, karena pemilik unta dipastikan tidak
akan mau menukarkan untanya dengan sekarung kunyit. Dalam hal ini, maka fungi
uang menjadi penting, yang akan digunakan sebagai alat ukur yang paling mudah
dan adil dari perbedaan nilai dua komoditas yang berbeda. Maka dari itu dalam
esai ini akan membahas lebih dalam mengenai konsep uang imam al-Ghazali dalam
perspektif ekonomi islam.
Didalam buku ihya’ Ulum al Din, beliau telah mendiskusikan
kerugian dari system barter dan pentingnya uang sebagai alat tukar (means of
exchange) dan pengukur nilai (unit of account). Dalam karnyanya
Al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berungsi
sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai
nilai sebagai barang (nilai instrinsik). Oleh karenanya, ia
mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu
merefleksikan semua jenis warna.[1]
Menurut imam Al-Ghazali, uang hanya sebagai standart harga barang atau benda
maka uang tidak memiliki nilai instrinsik. Atau lebih tepatnya nilai
instrinsik suatu mata uang yang di tunjukkan oleh real existence-nya
dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai
instrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar perintaan
terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang. Maka dalam hal ini ada beberapa
pendapat dari seorang ilmuan ternama yaitu Bernand Lewis (1993) yang menegaskan
bahwa konsep keuangan al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat
kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh dari ilmu tasawufnya.
Namun dalam hal ini, yang menarik dari konsep uang al-Ghazali
adalah bahwa al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofisnya
melainkan menunjukkan perpaduan antara nilai-nilai filosofis tersebut dengan
disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih. Kearifan lain
dari uang menurut
Al-Ghazali adalah bahwa uang itu memberikan kemudahan bagi
setiap individu dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang
dia diperlukan. Seseorang yang memiliki
uang dengan mudah dapat membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian, makanan
yang dia perlukan. Jadi, beliau berkeyakinan di sinilah diperlukannya uang yang
berfungsi sebagai media alat tukar. Dalam hal lain Al-Ghazali tidak
mempermasalahkan penerapan uang bukan emas dan perak, tetapi,dengan catatan
pemerintah mampu menjaga stabilitas mata uang tersebut sebagai alat pembayaran
yang sah dalam transaksi yang digunakan masyarakat.
Oleh karena itu ada beberapa pandangan al-Ghazali mengenai konsep
uang dalam perspektif system ekonomi Islam, diantaranya adalah: (a).Larangan
menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep islam, uang adalah
benda public yang memiliki peran yang sangar signifikan dalam perekonomian masyarakat.
Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, maka akan hilang fungsi
penting didalamnya. Maka dari itu praktik menimbun uang dalam islam dilarang
keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat. Menurut
al-Ghazali alasan dasar melarang untuk menimbun uang adalah karena tindakan
tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana
disebutkan bahwa tujuan dibuatnya uang adalah agar beredar dimasyarakat sebagai
sarana transaksi dan bukan untuk memonopoli oleh golongan tertentu, bahkan
dampak buruk dari praktik menimun uang ini adalah inflasi. Sebaliknya jika
jumlah uang yang beredar lebih sedikit daripada barang yang tersedia maka akan
terjadi deflasi. Kedua-duanya sama penyakit ekonomi yang harus dihindari
sehingga jumlah barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.[2] (b).
Jual Beli Mata Uang, Jual beli mata uang adalah salah satu hal yang masuk
dalam kategori riba, maka dalam menyikapi hal ini al-Ghazali melarang praktik
yang demikian ini. Baginya, jika paktik jual beli mata uang diperbolehkan maka
sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang
akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan
uang hanya akan beredar dikalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini adalah
tindakan yang sangat dzalim. (c). Pendapat yang ke tiga adalah mengenai
Probelmatika Riba, dalam konsep uang menurut imam Ghazali alasan dasar dalam
mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif
dicetaknya uang itu sendiri, yaitu hanya sebagai alat tukar dan standar nilai
barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan ribadenagn cara
tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tahun awal
penciptaan uang yang dilarang oleh agama.[3]
[1] Al-Imam
al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t), juz 4, 96.
[2] Adi Warman
Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: Karim
Business Consulting, 2001), 6.
[3] Rais Amalia, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, dari masa klasik hingga modern. (Jakarta: Pustaka
Asatrus, 2005). Hal 129-130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar