Senin, 15 Agustus 2016

APA ITU WORLDVIEW



APA ITU WORLDVIEW

A.    Islamic Worldview.

1)      Definisi WorldView
Worldview dapat dikatakan sebagai kepercayaan dan pikiran seseorang yang berfungsi sebagai asas atau motor bagi segala perilaku manusia. Jadi worldview adalah istilah netral yang dapat diaplikasikan ke dalam berbagai dinominasi agama, kepercayaan, atau lainnya. Sebab ia adalah faktor dominan dalam diri manusia yang manjadi penggerak dan landasan bagi aktivitas seluruh kegiatan kehidupan manusia.[1]
Dalam tradisi pemikiran Islam sebenarnya juga terdapat faktor dominan dalam menentukan keberagaman dan juga kehidupan seseorang, tapi tidak memakai istilah worldview secara eksplisit. Islam sebagai agama dan peradaban sebenarnya dapat ditangkap dari konsep din yang secara sistemik mirip dengan worldview. Namun, ketika konsep tersebut masuk ke dalam cara berfikir seseorang dan mempengaruhi tingkah laku, belum ada istilahnya yang baku. Para ulama abad kedua puluh mengemukakan istilah berbedabeda untuk menggambarkan worldview, antara lain:
Menurut al-Maududi istilah untuk Islamic worldview adalah Islami Nazariyat yaitu pandangan hidup yang dimulai dari konsep keEsaan Tuhan (syahadad) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan manusia di dunia. Sebab shahadad adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan secara menyeluruh. 
Pengertian Islamic worldview menurut Atif al-Zayn adalah adalah alMabda’ al-Islami, yaitu aqidah fikriyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal, sebab setiap muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah SWT, kenabian Muhammad SAW, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang gaib berdasarkan dengan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai din yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan
lainnya. 
Menurut Sayyid Qutb istilah yang tepat untuk Islamic worldview adalah al-Tasawwur al-Islami, yaitu akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamic worldview adalah visi tentang realitas dan kebenaran, yang terbaca oleh mata hati kita dan yang menerangkan tentang hakikat wujud yang sesungguhnya, sebab totalitas dunia wujud itulah yang diproyeksikan Islam. Oleh sebab itu, istilah worldview ini diterjemahkan oleh al-Attas ke dalam terminologi Islam (bahasa Arab) sebagai Ru’yat al-Islam li al-Wujud yang berarti pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta.
pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.[2] Menurutnya, pandangan hidup Islam (Islamic worldview) mempunyai elemen penting yang menjadi karakter utamanya. Elemen penting pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:
Pertama: Dalam pandangan hidup Islam (Islamic worldview), realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak visible world dan yang tidak nampak invisible world. Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran, terbentuk beradasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai, dan berbagai fenomena sosial. Meskipun pandangan ini tersusun secara koheren, tapi sejatinya bersifat artificial. Pandangan ini juga terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan pemenuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada antithesis, dan kemudian synthesis. Juga dalam konsep tentang dunia, mula-mula bersifat God centered, kemudian God world centered, berubah lagi menjadi world centered. Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya worldview yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama, dan tradisi intelektual Barat.
Kedua: Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) bercirikan pada metode berfikir yang tauhid integral. Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam (Islamic worldview) menggunakan metode yang tidak dikotomi, yang membedakan antara objektif dan subjektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi, dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman inderawi, serta dunia imajnasi. Karena worldview yang seperti itulah, tradisi intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya berbagai sistem pemikiran yang berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang didukung oleh pendekatan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, relisme, naominalisme, pragmatisme, dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode pencarian kebenaran tidak pernah ketemu dan terjadilah cul de sac.
Ketiga: Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Subtansi agama seperti; nama, keimanan, dan pengalamannya, ritus-ritus, doktrin serta sistem teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistem dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Sedangkan ciri pandangan hidup Islam (Islamic worldview) adalah otentisitas dan finalitas. Lalu apa yang Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesisasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern, dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam. Periodesisasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam worldview dan sistem nilai mereka.
Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup Islam (Islamic worldview) terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan-Nya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang kontekstual inilah yang menentukan bentuk change (perubahan), development (perkembangan) dan pogress (kemajuan) dalam Islam. Elemenelemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistem makna, standar tata kehidupan, dan nilai dalam suatu kesatuan sistem yang koheren dalam bentuk worldview.
Kelima: Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain, seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme, tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa elemen tentang konsep Tuhan antara Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa kepada kesimpulan adanya satu Tuhan universal, sebab sistem konsetualnya berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah absurd.
Dari teori Sayyid Qutb pandangan hidup Islam (Islamic worldview) digambarkan secara menyeluruh seakan-akan ia tidak memberi ruang bagi masuknya pandangan hidup lain. Sedangkan dari teori al-Attas, pandangan hidup Islam (Islamic worldview) berfungsi secara aktif dalam proses epistemologis.  
B.     Definisi Agama.
Di barat agama bisa dipahami sebagai fanatisme, kata para psikiolog. Bahkan ketika seorang selebriti mengatakan “My religion is song, sex, sand and champage” juga masih di anggap waras, memang dari tahun ke tahun definisi agama di barat masih mengalami beberapa problematic, bertahun-tahun mereka gagal dalam mendefinisikan religion bahkan mereka tidak mampu dalam menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agam didefinisikan sebagai kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Super Being).
Dalam hal ini F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu dokriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang abslut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula whithehead, agama adalah “apa yang dilakukan dalam kesendirian”. Bagi pakar psikologi, agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual.
Namun dalam pandangan islam Prof Al-Attas sangat jitu bahwa Islam, sebagai agama telah sempurna sejak diturunkan, konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa mengubah konsep asalnya. Sedang di barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima oleh akal manusia.[3]
a)      Makna Din
Makna agama (dīn) dimulai dengan menguraikan terlebih dahulu makna kata dīn yang berasal dari bahasa Arab. Sebab, menurut Al-Attas, makna dasar yang terkandung di dalam kata dīn membentuk suatu sistem makna semantik yang saling terkait. Istilah dīn (دين) berasal dari akar kata DYN dalam bahasa Arab yang memiliki banyak pemaknaan. Makna utama dalam kata dīn dapat disimpulkan menjadi empat makna: (1) keadaan berutang; (2) penyerahan diri; (3) kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami. Pada penjelasan berikut ini akan dijelaskan makna-makna tersebut secara singkat dan kemudian menempatkannya dalam konteks yang sesuai. Hal tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna sesuai dengan yang dimaksud, di mana ia membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun umat yang keseluruhannya terjelma sebagai agama yang disebut dengan Islām. (Al-Attas, 2011: 63-64)
Makna dari dīn kemudian semakin dikuatkan oleh pengibaratan Al-Quran mengenai kehidupan dunia. Al-Quran mengibaratkan dunia sebagai suatu perdagangan atau modal (at-tijārah), dan manusia sebagai orang yang berdagang yang menunaikan amanah jual beli (bai’at). Sedangkan beruntung atau ruginya (khusr) perdagangan terebut tergantung kepada pengenalannya terhadap Ilmu yang sebenarnya mengenai diri manusia, serta penunaian perjanjianya kepada Tuhan, yang sering kali disebut sebagai Pembalas (Ad-Dayyān), yang akan melakukan pengadilanNya pada Hari Pembalasan (Yaum ad-Dīn). Manusia senantiasa dalam keadaan merugi (khusr), kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh yang disebut juga dengan pinjaman yang baik (qardhān hasanah). Pengibaratan tersebut membayangkan keadaan manusia yang berada dalam suasana berperadaban (tamaddun); lengkap dengan undang-undang dan hukum, ada pemerintah dan keadilan, norma, akhlak dan ilmu. (Al-Attas, 2001: 33)
b)     Makna Religion.
Uraian yang dikemukakan di atas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa istilah agama (dīn) dalam Islam tidak sepadan dengan agama dalam Kebudayaan Barat, atau kebudayaan lain. Istilah Religion berasal dari bahasa latin Religiō yang bermakna ‘mengikat’, akan tetapi kenyataan terhadap sikap “diikat” dan dasar-dasar “pengikatan” itu semua tidak jelas terkandung dalam istilah tersebut. Akan tetapi dalam sejarah agama Barat, yang menjelaskan sifat agamanya sebagaimana dialaminya, “pengikatan” itu dilakukan secara memaksa. Oleh sebab demikian, maka agama dianggap sebagai belenggu yang menafikan “kebebasan”. Pengikatan yang berlaku di dalam sejarah agama yang dialami kebudayaan Barat sebenarnya pengikatan manusia kepada manusia, dan penerimaan pengikatan tersebut bukanlah berdasarkan pada kerelaan diri sendiri. Oleh karena itu yang diikat akan senantiasa berontak dan menuntut kebebasannya. Dengan keadaan demikian manusia Barat menjadikannya sebagai salah satu faktor pelanggeng sekularisasi. (Al-Attas, 2001: 36)
Sejarah agama Kristen di Barat turut andil dalam memberikan pemaknaan terhadap istilah religi. Perlakuan otoriter Gereja yang membelenggu menjadi bukti pengikatan manusia dengan manusia, dan bentuk penerimaan pengikatan yang berdasarkan pada ketidakrelaan diri. Kebudayaan Barat juga memaknai agama (religion) sebagai kebudayaan, karena pada dasarnya agama yang mereka anut merupakan agama kebudayaan yakni agama yang terbentuk atas buatan manusia yang terbina dari pengalaman sejarah, yang dilahirkan, dan dibesarkan oleh sejarah. Kalau begitu agama di dunia ini selain Islam pada hakikatnya adalah agama kebudayaan (Al-Attas, 2001: 37). Hanyalah Islam satu-satunya agama (dīn) yang berdasarkan tanzīl (wahyu).
Oleh karena itu, tidak dapat dipadankan kata religi dengan dīn. Begitu juga memandang Islam sebagai sebuah religi seperti pandangan Barat. Seringkali istilah religi dihadirkan sebagai suatu yang universal yang bersumber dari tradisi Kristen Barat. Akibatnya, ketika diterapkan kepada Islam, Joachim Mattes menyebutnya sebagai “kristenisasi kultural secara tersembunyi” terhadap Dunia Muslim karena Islam di sini telah dipandang sebagai sebuah religi (Al-Attas, 2010: xviii). Islam adalah sebuah Ad-Dīn bukan Religi.





[1] Hamid Fahmy Zarkasy, “Islam Sebagai Pandangan Hidup”, dalam Tantangan
Sekularisasi,  4.
[2] Hamid Fahmy Zarkasy, “Islam Sebagai Pandangan Hidup”, dalam Tantangan
Sekularisasi,9.
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar