APA ITU WORLDVIEW

A. Islamic Worldview.
1)
Definisi WorldView
Worldview
dapat dikatakan sebagai kepercayaan dan pikiran seseorang yang berfungsi
sebagai asas atau motor bagi segala perilaku manusia. Jadi worldview adalah istilah netral yang dapat diaplikasikan ke dalam
berbagai dinominasi agama, kepercayaan, atau lainnya. Sebab ia adalah faktor
dominan dalam diri manusia yang manjadi penggerak dan landasan bagi aktivitas
seluruh kegiatan kehidupan manusia.[1]
Dalam tradisi pemikiran Islam sebenarnya juga
terdapat faktor dominan dalam menentukan keberagaman dan juga kehidupan seseorang,
tapi tidak memakai istilah worldview
secara eksplisit. Islam sebagai agama dan peradaban sebenarnya dapat ditangkap
dari konsep din yang secara sistemik mirip dengan worldview. Namun, ketika konsep tersebut masuk ke dalam cara
berfikir seseorang dan mempengaruhi tingkah laku, belum ada istilahnya yang
baku. Para ulama abad kedua puluh mengemukakan istilah berbedabeda untuk
menggambarkan worldview, antara lain:
Menurut al-Maududi istilah untuk Islamic worldview adalah Islami Nazariyat yaitu pandangan hidup yang
dimulai dari konsep keEsaan Tuhan (syahadad) yang berimplikasi pada
keseluruhan kegiatan manusia di dunia. Sebab shahadad adalah pernyataan
moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan secara
menyeluruh.
Pengertian Islamic worldview menurut Atif al-Zayn adalah adalah alMabda’
al-Islami, yaitu aqidah fikriyah (kepercayaan yang rasional) yang
berdasarkan pada akal, sebab setiap muslim wajib beriman kepada hakikat wujud
Allah SWT, kenabian Muhammad SAW, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada
hal-hal yang gaib berdasarkan dengan cara penginderaan yang diteguhkan oleh
akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai din
yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan dirinya dan
lainnya.
Menurut Sayyid Qutb istilah yang tepat untuk Islamic worldview adalah al-Tasawwur
al-Islami, yaitu akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk
dalam pikiran dan hati setiap muslim yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik
itu.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamic worldview adalah visi tentang
realitas dan kebenaran, yang terbaca oleh mata hati kita dan yang menerangkan
tentang hakikat wujud yang
sesungguhnya, sebab totalitas dunia wujud
itulah yang diproyeksikan Islam. Oleh sebab itu, istilah worldview ini diterjemahkan oleh
al-Attas ke dalam terminologi Islam (bahasa Arab) sebagai Ru’yat
al-Islam li al-Wujud yang berarti pandangan Islam terhadap hakikat
dan kebenaran tentang alam semesta.
pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.[2]
Menurutnya, pandangan hidup Islam (Islamic
worldview) mempunyai elemen penting yang menjadi karakter utamanya. Elemen
penting pandangan hidup Islam (Islamic
worldview) itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:
Pertama:
Dalam pandangan hidup Islam (Islamic
worldview), realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian
metafisika terhadap dunia yang nampak visible
world dan yang tidak nampak invisible
world. Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran, terbentuk
beradasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai, dan
berbagai fenomena sosial. Meskipun pandangan ini tersusun secara koheren, tapi
sejatinya bersifat artificial. Pandangan
ini juga terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan pemenuan
ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak
dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada antithesis, dan kemudian
synthesis. Juga dalam konsep tentang dunia, mula-mula bersifat God centered, kemudian God world centered, berubah lagi menjadi world centered. Perubahan-perubahan ini
tidak lain dari adanya worldview yang
berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial,
tata nilai, agama, dan tradisi intelektual Barat.
Kedua:
Pandangan hidup Islam (Islamic worldview)
bercirikan pada metode berfikir yang tauhid integral. Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan
hidup Islam (Islamic worldview) menggunakan
metode yang tidak dikotomi, yang membedakan antara objektif dan subjektif,
historis-normatif, tekstual-kontekstual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia
itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi, dan intelgensinya ia
berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman
inderawi, serta dunia imajnasi. Karena worldview
yang seperti itulah, tradisi intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya
berbagai sistem pemikiran yang berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang
didukung oleh pendekatan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, relisme,
naominalisme, pragmatisme, dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode
pencarian kebenaran tidak pernah ketemu dan terjadilah cul de sac.
Ketiga:
Pandangan hidup Islam (Islamic worldview)
bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama dan didukung oleh
prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak
awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk
menentukan posisi dan peranan historisnya. Subtansi agama seperti; nama,
keimanan, dan pengalamannya, ritus-ritus, doktrin serta sistem teologisnya
telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia
muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistem dan
tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi
yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Sedangkan ciri pandangan hidup
Islam (Islamic worldview) adalah
otentisitas dan finalitas. Lalu apa yang Barat disebut sebagai klasifikasi dan
periodesisasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern, dan
postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam. Periodesisasi itu
sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam worldview dan sistem nilai mereka.
Keempat:
Elemen-elemen pandangan hidup Islam (Islamic
worldview) terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep
penciptaan-Nya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep
kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen
mendasar yang kontekstual inilah yang menentukan bentuk change (perubahan), development
(perkembangan) dan pogress (kemajuan) dalam Islam.
Elemenelemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistem
makna, standar tata kehidupan, dan nilai dalam suatu kesatuan sistem yang
koheren dalam bentuk worldview.
Kelima:
Pandangan hidup Islam (Islamic worldview)
memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan.
Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep
yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain, seperti dalam tradisi filsafat
Yunani dan Hellenisme, tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan
Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa elemen tentang konsep Tuhan antara
Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa kepada kesimpulan adanya satu Tuhan
universal, sebab sistem konsetualnya berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah
absurd.
Dari teori Sayyid Qutb pandangan hidup Islam (Islamic worldview) digambarkan secara
menyeluruh seakan-akan ia tidak memberi ruang bagi masuknya pandangan hidup
lain. Sedangkan dari teori al-Attas, pandangan hidup Islam (Islamic worldview) berfungsi secara aktif dalam proses
epistemologis.
B. Definisi Agama.
Di barat
agama bisa dipahami sebagai fanatisme, kata para psikiolog. Bahkan ketika
seorang selebriti mengatakan “My religion is song, sex, sand and champage”
juga masih di anggap waras, memang dari tahun ke tahun definisi agama di barat
masih mengalami beberapa problematic, bertahun-tahun mereka gagal dalam
mendefinisikan religion bahkan mereka tidak mampu dalam menjangkau hal-hal yang
khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agam
didefinisikan sebagai kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Super Being).
Dalam
hal ini F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu
dokriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang abslut” (feeling of
absolute dependence). Demikian pula whithehead, agama adalah “apa yang
dilakukan dalam kesendirian”. Bagi pakar psikologi, agama justru harus
diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan
intelektual.
Namun
dalam pandangan islam Prof Al-Attas sangat jitu bahwa Islam, sebagai agama
telah sempurna sejak diturunkan, konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan
lain-lain dalam islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya
menjelaskan konsep-konsep itu tanpa mengubah konsep asalnya. Sedang di barat
konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa
diterima oleh akal manusia.[3]
a) Makna Din
Makna
agama (dīn) dimulai dengan menguraikan terlebih dahulu makna kata dīn yang
berasal dari bahasa Arab. Sebab, menurut Al-Attas, makna dasar yang terkandung
di dalam kata dīn membentuk suatu sistem makna semantik yang saling terkait.
Istilah dīn (دين) berasal dari akar kata DYN dalam bahasa
Arab yang memiliki banyak pemaknaan. Makna utama dalam kata dīn dapat
disimpulkan menjadi empat makna: (1) keadaan berutang; (2) penyerahan diri; (3)
kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami. Pada penjelasan berikut ini akan
dijelaskan makna-makna tersebut secara singkat dan kemudian menempatkannya
dalam konteks yang sesuai. Hal tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna
sesuai dengan yang dimaksud, di mana ia membawa maksud keyakinan, kepercayaan,
perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun
umat yang keseluruhannya terjelma sebagai agama yang disebut dengan Islām. (Al-Attas,
2011: 63-64)
Makna
dari dīn kemudian semakin dikuatkan oleh pengibaratan Al-Quran mengenai
kehidupan dunia. Al-Quran mengibaratkan dunia sebagai suatu perdagangan atau
modal (at-tijārah), dan manusia sebagai orang yang berdagang yang menunaikan
amanah jual beli (bai’at). Sedangkan beruntung atau ruginya (khusr) perdagangan
terebut tergantung kepada pengenalannya terhadap Ilmu yang sebenarnya mengenai
diri manusia, serta penunaian perjanjianya kepada Tuhan, yang sering kali
disebut sebagai Pembalas (Ad-Dayyān), yang akan melakukan pengadilanNya pada
Hari Pembalasan (Yaum ad-Dīn). Manusia senantiasa dalam keadaan merugi (khusr),
kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh yang disebut juga dengan pinjaman
yang baik (qardhān hasanah). Pengibaratan tersebut membayangkan keadaan manusia
yang berada dalam suasana berperadaban (tamaddun); lengkap dengan undang-undang
dan hukum, ada pemerintah dan keadilan, norma, akhlak dan ilmu. (Al-Attas,
2001: 33)
b) Makna Religion.
Uraian
yang dikemukakan di atas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa istilah agama
(dīn) dalam Islam tidak sepadan dengan agama dalam Kebudayaan Barat, atau
kebudayaan lain. Istilah Religion berasal dari bahasa latin Religiō yang
bermakna ‘mengikat’, akan tetapi kenyataan terhadap sikap “diikat” dan
dasar-dasar “pengikatan” itu semua tidak jelas terkandung dalam istilah
tersebut. Akan tetapi dalam sejarah agama Barat, yang menjelaskan sifat
agamanya sebagaimana dialaminya, “pengikatan” itu dilakukan secara memaksa.
Oleh sebab demikian, maka agama dianggap sebagai belenggu yang menafikan
“kebebasan”. Pengikatan yang berlaku di dalam sejarah agama yang dialami
kebudayaan Barat sebenarnya pengikatan manusia kepada manusia, dan penerimaan
pengikatan tersebut bukanlah berdasarkan pada kerelaan diri sendiri. Oleh
karena itu yang diikat akan senantiasa berontak dan menuntut kebebasannya.
Dengan keadaan demikian manusia Barat menjadikannya sebagai salah satu faktor
pelanggeng sekularisasi. (Al-Attas, 2001: 36)
Sejarah
agama Kristen di Barat turut andil dalam memberikan pemaknaan terhadap istilah
religi. Perlakuan otoriter Gereja yang membelenggu menjadi bukti pengikatan
manusia dengan manusia, dan bentuk penerimaan pengikatan yang berdasarkan pada
ketidakrelaan diri. Kebudayaan Barat juga memaknai agama (religion) sebagai
kebudayaan, karena pada dasarnya agama yang mereka anut merupakan agama
kebudayaan yakni agama yang terbentuk atas buatan manusia yang terbina dari
pengalaman sejarah, yang dilahirkan, dan dibesarkan oleh sejarah. Kalau begitu
agama di dunia ini selain Islam pada hakikatnya adalah agama kebudayaan
(Al-Attas, 2001: 37). Hanyalah Islam satu-satunya agama (dīn) yang berdasarkan
tanzīl (wahyu).
Oleh
karena itu, tidak dapat dipadankan kata religi dengan dīn. Begitu juga
memandang Islam sebagai sebuah religi seperti pandangan Barat. Seringkali
istilah religi dihadirkan sebagai suatu yang universal yang bersumber dari
tradisi Kristen Barat. Akibatnya, ketika diterapkan kepada Islam, Joachim
Mattes menyebutnya sebagai “kristenisasi kultural secara tersembunyi” terhadap Dunia
Muslim karena Islam di sini telah dipandang sebagai sebuah religi (Al-Attas,
2010: xviii). Islam adalah sebuah Ad-Dīn bukan Religi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar