Rabu, 24 Agustus 2016

EPISTEMOLOGI ISLAM



EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi sejatinya merupakan teori yang berada dalcam hirarki ilmu Filsafat yang memusatkan pada pengkajian ilmu pengetahuan yang terbenam dalam pikiran manusia. Teori ini diharapkan mampu menguji kebenaran sebuah konsep atau gagasan. Konsep atau gagasan ini adalah ilmu pengetahuan yang hadir dari sebuah pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban seorang individu. Epistemologi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ilmu pengetahuan diantaranya, ‘apakah manusia dapat mengetahui?’, ‘darimanakah pengetahuan itu muncul?’ Di dalam Islam, epistemologi berkaitan dengan metafisika dasar Islam. Metafisika dasar dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Al-Attas dalam A Commentary on the Hujat al-Ssidiq of Nur al-Din al-Raniri yang dikutip oleh Hamid, mencakup di dalamnya wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intusisi.[1]
Otentisitas wahyu sebagai perkataan Tuhan dapat dengan mudah diidentifikasi dengan menyimak dan mentadabburi kebesaran-Nya melalui penciptaan alam semesta dan segala isinya. Nabi Muhammad s.a.w. selain sebagai penyampai pesan-pesan wahyu, ia pun manifestasi akhlak Qur’ani dimana tidak ada yang dapat menafikan kesempuranaan dan kemuliaannya. Perkataan dan prilaku juga menjadi teladan yang baik (qudwah hasanah) bagi umat manusia yang mana sudah terekam dalam catatan-catatan para sahabat, tabi’in, dan ta’bi-tabi’in berupa hadith. Tidak sampai disitu saja, hadith-hadith nabi yang disampaikan perlu juga di verifikasi terlebih dahulu agar terhidar dari kepalsuan. Disinilah tokoh-tokoh perawi hadits melalui sanad akan diuji kapabilitas dan kredibilitasnya serta isi pesan yang disampaikannya. Sedikit ada cacat pada diri atau teksnya akan memengaruhi otentisitas hadith. Dari sini bisa kita tegaskan bahwa epistemologi Islam tidak lahir dari suatu yang lemah tapi terbangun dari fondasi yang kuat. 
Keterkaitan dengan metafisika dasar Islam ini ditandai dengan terbetuknya worldview Islam yang di atasnya berdiri fondasi-fondasi epistemologi Islam yang selanjutnya diikuti lahirnya disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam.[2] Lahirnya disiplin-disiplin ilmu dalam Islam tidaklah mudah. Ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati sebagai bentuk ketelitian. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah pertama, jika tidak mustahil adanya menurut akal sehat (la yastahil wujuduhu fi al-‘aql), kedua, jika tidak menyalahi secara kontradiktif keterangan nash yang jelas (an la yakunaa mukhalifan li-nass maqtu’ bihi ‘ala wajhin la yumkin al-jam’u baynahuma), dan ketiga, jika tidak menyalahi apa yang telah disepakati oleh umat Islam (an la yakuna mukhalifan li-ijma’ al-ummah).[3]
Dalam tradisi intelektual Islam, ilmu adalah hasil dari pemahaman (tafaqquh) atas pesan-pesan Allah berupa wahyu yang diterjemahkan secara langsung oleh Rasulullah kepada kaum muslimin. Di sinilah aktivitas keilmuan Islam tidak steril dari nilai-nilai ketuhanan tapi tidak juga mengenyampingkan peran rasionalitas. Kondisi ini menjadikan Islam memiliki konsep keilmuan yang holistis, menyeluruh, dan mencakup kehidupan kini (dunia) dan yang akan datang (akhirat). Konsep keilmuan inilah yang telah mendasari peradaban Islam. Lain halnya dengan tradisi keilmuan Barat, selain disebabkan sejarah konflik antar agama dan ilmu (sains), peradabannya berlandaskan pada materialisme humanistis yang anti Tuhan yang pada akhirnya Barat sepakat bahwa ilmu tidak bisa disandingkan dengan nilai.[4]
Karena wahyu menjadi starting point bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam, maka konsekuensinya adalah orientasi keilmuan Islam yang menitiberetkan pada penyerahan diri dan ketaatan kepada ajaran Allah SWT yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Wan Mohd Nor Wan Daud mengekspresikan bahwa kewajiban setiap muslim untuk mencari ilmu pengetahunan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aqidah Islam.[5] Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan untuk memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagianaan. Konsep kebahagiaan ini melampaui kehidupan duniawi, yakni kehidupan ukrawi yang disana terdapat kebahagiaan yang abadi. Hal ini  jauh berbeda dalam konsep kebahagiaan dalam peradaban Barat yang hanya sebatas pada kebahagiaan duniawi karena karakternya yang matrealistik deterministik. Akibat dari karakter tersebut, pembacaan Barat terhadap alam adalah objek eksplorasi tanpa memikirkan dampak global, seperti pemanasan global atau krisis ekosistem.

Karena ilmu di tangan peradaban Barat sudah menjadi demikian “materialistis” karena pengaruh “materalisme”, Islam mengajukan satu konsep yang luar biasa: Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu akan kembali mewujud sebagai satu yang inheren dengan Sang Sumber Ilmu, Allah s.w.t. Dengan begitu, ilmu tidak akan menjadi sekular.


[1]  Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epitemologi Islam”, ISLAMIA, Thn II No 5, April – Juni 2005
[2] Hamid menjelaskan periodik kelahiran ilmu dalam Islam dengan, (1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, (2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an dan Hadith, (3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin Ilmu-ilmua Islam. Ibid. Hal. 15
[3] Imam as-Syawkani, Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah, dalam Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 34
[4] Anis Malik mengatakan bahwa konflik tersebut adalah konflik tentang kebenaran, kebenaran agama (religious truth) dan kebenaran ilmiah atau saintifik (scientific truth), “Problem Agama dan sains di Dunia Kristen dan Barat”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 21
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas, terjemah : Hamid Fahmi Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, Mizan Bandung 2003: Cet. Pertama, Hal. 121 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar