EPISTEMOLOGI
ISLAM
Epistemologi sejatinya merupakan teori yang berada
dalcam hirarki ilmu Filsafat
yang memusatkan pada pengkajian ilmu pengetahuan yang terbenam dalam pikiran
manusia. Teori ini diharapkan mampu menguji kebenaran sebuah konsep atau gagasan.
Konsep atau gagasan ini adalah ilmu pengetahuan yang hadir dari sebuah
pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban seorang individu. Epistemologi
dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ilmu
pengetahuan diantaranya, ‘apakah manusia dapat mengetahui?’, ‘darimanakah
pengetahuan itu muncul?’ Di dalam Islam, epistemologi berkaitan dengan
metafisika dasar Islam. Metafisika dasar dalam hal ini, sebagaimana dikatakan
Al-Attas dalam A Commentary on the Hujat al-Ssidiq of Nur al-Din al-Raniri
yang dikutip oleh Hamid, mencakup di dalamnya wahyu, hadits, akal, pengalaman
dan intusisi.[1]
Otentisitas wahyu sebagai perkataan Tuhan
dapat dengan mudah diidentifikasi dengan menyimak dan mentadabburi kebesaran-Nya
melalui penciptaan alam semesta dan segala isinya. Nabi Muhammad s.a.w. selain
sebagai penyampai pesan-pesan wahyu, ia pun manifestasi akhlak Qur’ani dimana
tidak ada yang dapat menafikan kesempuranaan dan kemuliaannya. Perkataan dan
prilaku juga menjadi teladan yang baik (qudwah hasanah) bagi umat
manusia yang mana sudah terekam dalam catatan-catatan para sahabat, tabi’in,
dan ta’bi-tabi’in berupa hadith. Tidak sampai disitu saja, hadith-hadith nabi
yang disampaikan perlu juga di verifikasi terlebih dahulu agar terhidar dari kepalsuan.
Disinilah tokoh-tokoh perawi hadits melalui sanad akan diuji kapabilitas
dan kredibilitasnya serta isi pesan yang disampaikannya. Sedikit ada cacat pada
diri atau teksnya akan memengaruhi otentisitas hadith. Dari sini bisa kita
tegaskan bahwa epistemologi Islam tidak lahir dari suatu yang lemah tapi
terbangun dari fondasi yang kuat.
Keterkaitan dengan metafisika dasar Islam
ini ditandai dengan terbetuknya worldview Islam yang di atasnya berdiri
fondasi-fondasi epistemologi Islam yang selanjutnya diikuti lahirnya
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam.[2] Lahirnya disiplin-disiplin
ilmu dalam Islam tidaklah mudah. Ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati
sebagai bentuk ketelitian. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah pertama,
jika tidak mustahil adanya menurut akal sehat (la yastahil
wujuduhu fi al-‘aql), kedua, jika tidak menyalahi secara
kontradiktif keterangan nash yang jelas (an la yakunaa mukhalifan li-nass
maqtu’ bihi ‘ala wajhin la yumkin al-jam’u baynahuma), dan ketiga,
jika tidak menyalahi apa yang telah disepakati oleh umat Islam (an la
yakuna mukhalifan li-ijma’ al-ummah).[3]
Dalam tradisi intelektual Islam, ilmu
adalah hasil dari pemahaman (tafaqquh) atas pesan-pesan Allah berupa
wahyu yang diterjemahkan secara langsung oleh Rasulullah kepada kaum muslimin.
Di sinilah aktivitas keilmuan Islam tidak steril dari nilai-nilai ketuhanan
tapi tidak juga mengenyampingkan peran rasionalitas. Kondisi ini menjadikan
Islam memiliki konsep keilmuan yang holistis, menyeluruh, dan mencakup
kehidupan kini (dunia) dan yang akan datang (akhirat). Konsep keilmuan inilah
yang telah mendasari peradaban Islam. Lain halnya dengan tradisi keilmuan
Barat, selain disebabkan sejarah konflik antar agama dan ilmu (sains),
peradabannya berlandaskan pada materialisme humanistis yang anti Tuhan yang
pada akhirnya Barat sepakat bahwa ilmu tidak bisa disandingkan dengan nilai.[4]
Karena wahyu menjadi starting point
bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam, maka konsekuensinya adalah
orientasi keilmuan Islam yang menitiberetkan pada penyerahan diri dan
ketaatan kepada ajaran Allah SWT yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Wan Mohd
Nor Wan Daud mengekspresikan bahwa kewajiban setiap muslim untuk mencari ilmu
pengetahunan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aqidah Islam.[5] Oleh karena itu, Islam
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan untuk memenuhi keperluan spiritual dan
meraih kebahagianaan. Konsep kebahagiaan ini melampaui kehidupan duniawi, yakni
kehidupan ukrawi yang disana terdapat kebahagiaan yang abadi. Hal ini jauh berbeda dalam konsep kebahagiaan dalam
peradaban Barat yang hanya sebatas pada kebahagiaan duniawi karena karakternya
yang matrealistik deterministik. Akibat dari karakter tersebut, pembacaan Barat
terhadap alam adalah objek eksplorasi tanpa memikirkan dampak global, seperti
pemanasan global atau krisis ekosistem.
Karena ilmu di tangan peradaban Barat sudah menjadi demikian
“materialistis” karena pengaruh “materalisme”, Islam mengajukan satu konsep
yang luar biasa: Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu akan
kembali mewujud sebagai satu yang inheren dengan Sang Sumber Ilmu, Allah s.w.t.
Dengan begitu, ilmu tidak akan menjadi sekular.
[1] Hamid
Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai
Asas Epitemologi Islam”, ISLAMIA, Thn II No 5, April – Juni 2005
[2] Hamid menjelaskan periodik kelahiran ilmu dalam
Islam dengan, (1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, (2) Adanya
struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an dan Hadith, (3) Lahirnya tradisi
keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin Ilmu-ilmua Islam. Ibid. Hal.
15
[3] Imam as-Syawkani, Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah,
dalam Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, ISLAMIA,
(Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm.
34
[4] Anis Malik mengatakan bahwa konflik tersebut
adalah konflik tentang kebenaran, kebenaran agama (religious truth) dan
kebenaran ilmiah atau saintifik (scientific truth), “Problem Agama dan
sains di Dunia Kristen dan Barat”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 21
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas, terjemah : Hamid Fahmi Zarkasyi, M.
Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, Mizan Bandung 2003: Cet. Pertama, Hal.
121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar