PANCA INDRA DAN EMPIRIK SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM
DAN BARAT
Salah satu potensi yang
Allah anugerahkan kepada manusia adalah rasa ingin tahu. Rasa tersebutlah yang
mendorongnya untuk berpikir, melakukan penelitian dan menemukan hal-hal baru.
Hal itu juga seiring dengan perintah untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
terhadap diri manusia dan alam sekitarnya. Allah SWT menyebutkan,
Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Ankabut: 20).
Di ayat yang lain Allah
menyebutkan,
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi...(QS. Yunus: 101)"
Ayat yang pertama
menyebutkan perintah Allah untuk memperhatikan bagaimana proses ke-hadiran
manusia di bumi. Dari mana, mau apa, dan hendak ke mana. Tiga pertanyaan sangat
filosofis karena berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap diri mereka
sendiri. Dengan adanya cara pandang, maka selanjutnya akan lahir sikap dan
perbuatan.
Sedangkan pada ayat kedua,
perintah Allah untuk memperhatikan apa yang berada di luar diri manusia.
Apa yang ada di langit dan di bumi. Ayat ini mengisyaratkan perlunya
pengetahuan terhadap apa yang menjadi fasilitas Allah atas manusia sebagai
khalifah.
Dua cara pandang tersebut
akan menghasilkan konsep berpikir dan pijakan dalam bersikap dan berperilaku.
Jika cara pandangnya salah, yang terjadi adalah kelalaian tugas manusia dalam
mengemban tugasnya sebagai khalifah. Bumi akan rusak, dan kedzaliman akan
terjadi di mana-mana. Karena itulah, manusia membutuhkan ilmu. Dengan semangat
ingin tahu, manusia mampu mengembangkan kualitas hidupnya. Dengan ilmu pula,
manusia akan sampai pada puncak peradaban. Dan yang jauh lebih penting dari itu
adalah manusia dapat mengenal tuhannya.
Di ayat yang lain, Allah
menyatukan pandangan itu dalam dua ayat secara berurutan,
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam ayat di atas, Allah
SWT menyebutkan yadzkuru untuk merujuk pada hubungan vertikal dan yatafakkaru
untuk hubungan horisontal. Sehingga dengan jelas, kita bisa melihat bagaimana
konsep Islam dalam memandang sumber ilmu. Berkaitan dengan hubungan vertikal
dan horisontal ini, dominasi peradaban barat sekarang terdapat kesalahan dalam
menginterpretasi konstelasi tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga terjadi mis-management
yang berujung pada rusaknya ekosistem, tata nilai, dan segi kebudayaan manusia.
Budi Handrianto
menulis “Saat ini peradaban Barat yang berlandaskan paham sekulerisme,
rasionalisme, uitilitarianismem dan meterialisme telah membawa dunia menuju
ambang kehancuran. Memang tidak menutup mata berbagai keberhasilan dan kemajuan
dihasilkan oleh peradaban ini. Namun juga, tidak dimungkiri peradaban Barat
telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimpangan sosial,
kerusakan lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial
atau standar etika diri)”.
Peradaban Barat dinyatakan
oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama
yang tragis (a tragic drama). Hal itu diamini oleh Naquib Al-Attas
karena peradaban barat tidak lagi menganggap alam sebagai sesuatu kejadian yang
kudus, sehingga membolehkannya untuk bertindak bebas terhadap alam tabi’i (disenchantment
of nature), memanfaatkannya mengikuti keperluan dan rancangannya.
Salah satu penyebabnya
adalah terjadinya kekeliruan worldview terhadap sumber ilmu. Yang
selanjutnya dalam bidang kajian filsafat disebut epistemologi. Bagi pandangan
keilmuwan barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional, dan
membuang wahyu. Al-Attas menulis, “Barat merumuskan pandangannya terhadap
kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar
keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat
dasar-dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan
(spekulasi) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada
manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya
kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya
dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi
perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan
mengatur kehidupannya”[5].
Dalam kajian epistemologi
di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu
rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Keberatan Islam terhadap ketiga
mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya
terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.
Defenisi Sumber Ilmu
Kata sumber dalam bahasa
arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu
wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Menurut
Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber
pengambilan. Kata ilmu berasal dari kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan,
lawan dari kata al-jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Kata
ilmu juga disepadankan dengan kata arab lainnya yaitu ma’rifah
(pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur
(perasaan). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar
adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu digali atau diambil. Berdasarkan
hal tersebut, sumber ilmu adalah segala sesuatu yang menjadi tempat digali dan
diambilnya.
Sumber Ilmu Menurut Barat
Sebagaimana disinggung di
muka, kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh
tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.Madzhab
Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes,
Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran
filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber
dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat
ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam.
Ide bawaan tersebut terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi).
Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari
ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal
melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka,
karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas
kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh
aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera
adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan
sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada
fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal. Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman
sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis
Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan
pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David
Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut
David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding
terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini berpandangan bahwa seluruh isi
pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan
persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions)
dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui
akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah
persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang
diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal
ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka
justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak
generalisasi.
Menurut Hobbes, segala
yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak
bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian
adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat
bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia
luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang
atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang
justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan
tentang gerak.
Aliran ketiga adalah
kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya;
rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant.
Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang
terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang
diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant
berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran
filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir.
Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan
batas-batasnya.
Dari ketiga madzhab di
atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat
hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitikberatkan
pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek
nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak
memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahu
an dan nilainilai etika dan moral,
yang diatur oleh rasio manusia, terus
menerus berubah[14]
Sumber Ilmu Menurut Islam
Pengetahuan Islam yang
lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk melihat kerangka epistemologinya,
bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti
kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan
adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai
untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan dan cara (method).
Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun (40)
ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini bukan hanya
menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut dengan
metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan epistemologi.
Melihat ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini secara implisit tentu
memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk mendapat suatu
pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam hal ini itu
memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di
mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar
adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an. Bangunan epistemologi ini
bisa dipelajari dan dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu
tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin
keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme)
nya.
Dalam sub tema “Filsafat
Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif menjelaskan tentang
sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya, ada tiga sumber
ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta
intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
“Persepsi indrawi meliputi
lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang
disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya
ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan
daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr)
dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi,
menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik
kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap
pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan
sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang
berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam
urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan
diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir
zaman.
3. Indera
Saeful Anwar mengutip
al-Ghazali menyebutkan, panca indera merupakan sarana penangkap pertama yang
muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka
bentuk susunan, dari partikular-partikular yang ditangkap indera kemudian tamyiz
(daya pembeda), yang menangkap sesuatu di atas alam empirik sensual di
sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum-hukum
akal yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Panca indera diumpamakan sebagai
tentara kalbu yang disebar ke dunia fisis-sensual, dan beroperasi di wilayahnya
masing-masing dan laporannya berguna bagi akal.
Pengetahuan inderawi
dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan itu diperoleh manusia
sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia dapat mengetahui apa yang
terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit
material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera
dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera
merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.
Proses sekularisasi ilmu ini dimulai ketika
seorang filsuf barat, Rene Descartes (m. 1650), yang memformulasikan sebuah
prinsip, aku berfikir maka aku ada (cagito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes
telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untk mengukur kebenaran. Penekanan
terhadap rasio dan pancaindra sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para
filsuf lain seperti Thomas Hobbes (m.1679), Benedict Spinoza (m.1677), John
Locke (m.1704) George Berkeley (m. 1753), Francois Marie Voltaire (m.1778),
Jean Jacques Rousseau (m.1778), David Hume (m.1776) dan lain-lain
Hal
ini dapat dibandingkan antara epistemologi Barat dengan filsafat Islam. Dalam
hal ini dapat digambarkan pada skema dibawah ini.
Gambar I Gambar II
(Epistemologi barat) (Epistemologi Qur’anic)


Dari
sketsa kedua bentuk epistemologi tersebut, bahwa sumber pengetahuan menurut
al-Qur’an (pengetahuan Islam), akal
merupakan sumber pengetahuan, akan tetapi tidak menjadi sumber yang paling
mutlak, menurut al-Qur’an kalam tuhan (wahyu) adalah sumber pengetahuan yang
paling mutlak.
Empirisme
Kata
ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya,
pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin
karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.
John
Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan dengan teori
tabula rasa yang
secara bahasa berarti meja lilin.
Maksudnya
ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lamakelamaan ruwet, lalu
tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya
pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera.
Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar.
Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah
metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.[1]
Pengetahuan
yang diperoleh yaitu hasil hubungan antara subyek dengan obyek melalui
pengalaman, sehingga hal ini mudah dibuktikan dan diuji kebenarannya. Dalam hal
ini John Locke membedakan bahwa pengalaman itu bisa dibedakan menjadi dua,
yaitu pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batin (relfexion), yang keduanya saling berhubungan, karena segala sesuatu yang
berada di luar diri kita dapat menimbulkan ide-ide dalam diri kita[2].
Dalam
hal ini empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan
mengecilkan peranan akal. Sehingga aliran pengetahuan yang diperoleh melalui
data empiric itulah yang dianggap paling benar.[3]
Sebagaimana David Hume ia mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai alat
ukur.[4]
Menurutnya semua pengetahuan itu dimulai dari pengalaman indera sebagai dasar.
Baginya kesan (impression) sama dengan pengindraan (sensation), sebagaimana Locke hal ini adalah basis pengetahuan. 37
Pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman maupun indera itu ternyata memiliki
kelemahan. Kelemahan pertama ialah indera teratas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil?
Tidak. Keterbatasan kemampuan dalam melihat, dari sini akan terbentuk
pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua ialah indera tertipu.
Pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas
dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
Kelemahan ketiga ialah obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi,
obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia
membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi yang salah.
Kelemahan keempat berasal dari indera clan obyek sekaligus. Dalam hal ini
indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan
kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika
kita melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau
pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.
Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan in dera manusia. Oleh
karena itu, muncul aliran rasionalisme. Ada aliran lain yang mirip dengan empirisme: sensasionalisme. Sensasi artinya rangsangan inderawi. Secara kasar, sensasi sama
dengan pengalaman inderawi.[5]
Pengetahuan
inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan itu diperoleh
manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia dapat mengetahui apa
yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang
konkrit material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan
indera dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena
indera merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.[6]
Dalam
aliran empirisme dijelaskan, bahwa inderalah satu-satunya instrumen yang dapat
menghubungkan kita dengan suatu obyek. Tanpa panca indera, kemungkinan kita
memandang suatu obyek dalam satu ketiadaan. Kalau panca indera tersebut salah
maka ia tahu kesalahan tersebut dengan cara eksperimen dan akal hanya
mengikutinya. Akal sendiri tanpa melalui panca indera bahkan tanpa ini hakekat
tidak dapat diresapi. Sesuai apa yang dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak
ada sesuatu sebelum itu ada pada alat indera.[7]
Pengetahuan
indera adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui kelima inderanya,
yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan lidah. Pengetahuan inderawi
disebut sebagai pengetahuan empiris. Dalam sejarah epistemologi Barat
sebagaimana yang dipelopori Roger Bacon, John Locke, David Hume dan sejumlah
pengikutnya.
Pengetahuan
empiris diperoleh melalui pengetahuan pribadi, yang di dapat melalui, melihat,
mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa, yakni apa saja yang
didapat melalui pengalaman inderanya, yaitu dari apa yang dilihat, dirasakan,
sesuai dengan bentuknya.
Dalam
pengalaman ada dua macam sensasi, pertama yaitu sensasi dalam yang bersifat
subyektif seperti keinginan, rasa dan pikiran. Yang kedua sensasi kita terhadap
dunia luar seperti penglihatan, bau dan cicipan, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, untuk mengetahui jenis pengetahuan indera dalam Islam, perlu
dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki manusia. bentuk manusia itu terdiri
dari Jasmani dan Rohani, jasmani dalam tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai
bentuk panca indera seperti, hidung, mata, perasaan (kulit), tangan dan
telinga. Islam memandang, panca indera manusia terdiri dari indera dalam dan
indera luar, keduanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. [8]
Dari
proses penginderaan itu kiranya diambil suatu pengertian, bahwa indera
menangkap kesan dan masukan dalam pikirannya, kemudian diproses oleh ketiga
indera lainnya dikeluarkan untuk menjadi pengertian oleh indera pengikat.
Seperti halnya akal, indera juga mempunyai kelemahan. Pengalaman menipakan
pengetahuan yang telah samar dijadikan dasar bagi teori pengetahuan yang
sistematis. Sebuah teori yang menitik beratkan pada persepsi panca indera,
kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna.
Walaupun
indera terbatas dalam memperoleh pengetahuan; namun kedudukannya sebagai metode
untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui perantara
indera, pengetahuan ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman
Allah: Dan sesungguhnya kami tinggalkan dari padanya
satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal. (al-Ankabut: 29). Ayat ini mengandung pengertian, bahwa Tuhan
menyeru kepada manusia yang berakal supaya memikirkan apa-apa yang ada di alam
sejauh yang dia ketahui. Dalam ayat lain yang menjelaskan bagaimana fungsi
indera untuk memperoleh pengetahuan, hal ini sesuai firman Allah dalam Surat
Al-Ghassiyah: 17-20):
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia
diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
Pengetahuan
yang bersumber dari pengalaman, banyak sekali tersirat dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat al-Mu’minun: 80, asSyuara’: 28, al-Furqon:
44, QS. al-Baqarah: 170, QS. al-Anfal: 22, QS. Yunus: 36, QS. Al-Furqon: 45,
QS. As-Syamy: 1, QS. An-Naba’: 13, QS. Nuh: 16, QS. Ibrahim: 33, dan masih
banyak lagi ayat-ayat lain yang menyerukan bahwa pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman, yang bisa dipakai sebagai petunjuk, inovasi untuk kemajuan
ilmu pengetahuan.
Dari
ketiga sumber pengetahuan di atas. Teori pengetahuan, menurut al-Qur’an atau
disebut sebagai pengetahuan qur’anik (epistemology
qurqnic). Dalam hal ini Muhammad Iqbal
menggambarkan bagaimana proses terjadinya pengetahuan, menurutnya adalah
mengangkat ketiga potensi manusia: yaitu serapan panca indera, kemampuan akal,
dan kemampuan. intuisi secara serempak. Dengan demikian menurutnya ketiga hal
tersebut sama-sama penting dan sama-sama dapat digunakan untuk mencari dan
memperoleh pengetahuan, walaupun memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap
pengetahuan. Hal ini tampak berbeda sebagaimana yang digambarkan dalam
epistemologi Barat, yang memisah-misahkan ketiga potensi tersebut (akal, indera
(pengalaman), dan intuisi). sebagaimana
dipahami Danusiri, yang ia pahami dari pemikiran Iqbal bahwa proses terjadinya
pengetahuan yang benar yaitu sebagaimana ia gambarkan dibawah

Proses
pengetahuan sebagaimana skema di atas menggambarkan bahwa, pengetahuan Islam
itu berangkat dari kesadaran uluhiyyat, yakni pengetahuan islam itu selalu
mengacu pada wahyu Tuhan (al-Qur’an) ataupun ilham/ intuisi, kemudian menuju ke
indera, selanjutnya menuju ke akal, dan berakhir kepada kesadaran uluhiyyat
kembali, yakni berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan, yang pada gilirannya
akan melahirkan pengetahuan yang saraf akan nilai (moral, etika, ibadah dan
lain sebagainya).[9]
[1]
Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat,
terj. Sujono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 137.
[2]
Harun Haddieijon, Seri Sejarah Filsafat
Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 36.
[3]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Hati
Sejak Thales Sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm.
138.
[4]
Ibid., hlm. 142. 37 Ibid.
[5] Ibid., hlm. 12-13.
[6] Anton
Bakker dan Kharis Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 1990), hlm. 21.
[7]
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan
Aksiology Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Rosda Karya, 1989),
hlm. 15.
[8]
Sidi Gazalba, Asas Agama Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 123.
[9]
Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf
Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 63-66.