Selasa, 13 September 2016

PANCA INDRA DAN EMPIRIK SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM DAN BARAT



PANCA INDRA DAN EMPIRIK SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM DAN BARAT

Salah satu potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia adalah rasa ingin tahu. Rasa tersebutlah yang mendorongnya untuk berpikir, melakukan penelitian dan menemukan hal-hal baru. Hal itu juga seiring dengan perintah untuk melakukan penelitian dan penyelidikan terhadap diri manusia dan alam sekitarnya. Allah SWT menyebutkan,
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Ankabut: 20).
Di ayat yang lain Allah menyebutkan,
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi...(QS. Yunus: 101)"
Ayat yang pertama menyebutkan perintah Allah untuk memperhatikan bagaimana proses ke-hadiran manusia di bumi. Dari mana, mau apa, dan hendak ke mana. Tiga pertanyaan sangat filosofis karena berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap diri mereka sendiri. Dengan adanya cara pandang, maka selanjutnya akan lahir sikap dan perbuatan.
Sedangkan pada ayat kedua, perintah Allah untuk memperhatikan apa yang berada di luar diri manusia.  Apa yang ada di langit dan di bumi. Ayat ini mengisyaratkan perlunya pengetahuan terhadap apa yang menjadi fasilitas Allah atas manusia sebagai khalifah.
Dua cara pandang tersebut akan menghasilkan konsep berpikir dan pijakan dalam bersikap dan berperilaku. Jika cara pandangnya salah, yang terjadi adalah kelalaian tugas manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah. Bumi akan rusak, dan kedzaliman akan terjadi di mana-mana. Karena itulah, manusia membutuhkan ilmu. Dengan semangat ingin tahu, manusia mampu mengembangkan kualitas hidupnya. Dengan ilmu pula, manusia akan sampai pada puncak peradaban. Dan yang jauh lebih penting dari itu adalah manusia dapat mengenal tuhannya.
Di ayat yang lain, Allah menyatukan pandangan itu dalam dua ayat secara berurutan,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menyebutkan yadzkuru untuk merujuk pada hubungan vertikal dan yatafakkaru untuk hubungan horisontal. Sehingga dengan jelas, kita bisa melihat bagaimana konsep Islam dalam memandang sumber ilmu. Berkaitan dengan hubungan vertikal dan horisontal ini, dominasi peradaban barat sekarang terdapat kesalahan dalam menginterpretasi konstelasi tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga terjadi mis-management yang berujung pada rusaknya ekosistem, tata nilai, dan segi kebudayaan manusia.
Budi Handrianto menulis  “Saat ini peradaban Barat yang berlandaskan paham sekulerisme, rasionalisme, uitilitarianismem dan meterialisme telah membawa dunia menuju ambang kehancuran. Memang tidak menutup mata berbagai keberhasilan dan kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun juga, tidak dimungkiri peradaban Barat telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar etika diri)”.
Peradaban Barat dinyatakan oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Hal itu diamini oleh Naquib Al-Attas karena peradaban barat tidak lagi menganggap alam sebagai sesuatu kejadian yang kudus, sehingga membolehkannya untuk bertindak bebas terhadap alam tabi’i (disenchantment of nature), memanfaatkannya mengikuti keperluan dan rancangannya.
Salah satu penyebabnya adalah terjadinya kekeliruan worldview terhadap sumber ilmu. Yang selanjutnya dalam bidang kajian filsafat disebut epistemologi. Bagi pandangan keilmuwan barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional, dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, “Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya”[5].
Dalam kajian epistemologi di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.

Defenisi Sumber Ilmu
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Menurut Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan. Kata ilmu berasal dari kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan, lawan dari kata al-jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Kata ilmu juga disepadankan dengan kata arab lainnya yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu digali atau diambil. Berdasarkan hal tersebut, sumber ilmu adalah segala sesuatu yang menjadi tempat digali dan diambilnya.



Sumber Ilmu Menurut Barat
Sebagaimana disinggung di muka, kajian pokok tentang sumber ilmu dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal. Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini  berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak generalisasi.
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi  terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya,   ilmu  pengetahu an  dan  nilai­nilai  etika  dan  moral,   yang  diatur   oleh  rasio   manusia,   terus  menerus  berubah[14]

Sumber Ilmu Menurut Islam
Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan epistemologi.
Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an.  Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.
Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya,  ada tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
“Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.

3.      Indera
Saeful Anwar mengutip al-Ghazali menyebutkan, panca indera merupakan sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari partikular-partikular yang ditangkap indera kemudian tamyiz (daya pembeda), yang menangkap sesuatu di atas alam empirik sensual di sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang menangkap hukum-hukum akal yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Panca indera diumpamakan sebagai tentara kalbu yang disebar ke dunia fisis-sensual, dan beroperasi di wilayahnya masing-masing dan laporannya berguna bagi akal.
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.
        
Proses sekularisasi ilmu ini dimulai ketika seorang filsuf barat, Rene Descartes (m. 1650), yang memformulasikan sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cagito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan pancaindra sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filsuf lain seperti Thomas Hobbes (m.1679), Benedict Spinoza (m.1677), John Locke (m.1704) George Berkeley (m. 1753), Francois Marie Voltaire (m.1778), Jean Jacques Rousseau (m.1778), David Hume (m.1776) dan lain-lain
Hal ini dapat dibandingkan antara epistemologi Barat dengan filsafat Islam. Dalam hal ini dapat digambarkan pada skema dibawah ini.
                    Gambar I                                                   Gambar II

          (Epistemologi barat)                                    (Epistemologi Qur’anic)

                                                                                  

Dari sketsa kedua bentuk epistemologi tersebut, bahwa sumber pengetahuan menurut al-Qur’an  (pengetahuan Islam), akal merupakan sumber pengetahuan, akan tetapi tidak menjadi sumber yang paling mutlak, menurut al-Qur’an kalam tuhan (wahyu) adalah sumber pengetahuan yang paling mutlak.

Empirisme

Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.
John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan dengan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin.
Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lamakelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.[1]
Pengetahuan yang diperoleh yaitu hasil hubungan antara subyek dengan obyek melalui pengalaman, sehingga hal ini mudah dibuktikan dan diuji kebenarannya. Dalam hal ini John Locke membedakan bahwa pengalaman itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batin (relfexion), yang keduanya saling berhubungan, karena segala sesuatu yang berada di luar diri kita dapat menimbulkan ide-ide dalam diri kita[2]. 
Dalam hal ini empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Sehingga aliran pengetahuan yang diperoleh melalui data empiric itulah yang dianggap paling benar.[3] Sebagaimana David Hume ia mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai alat ukur.[4] Menurutnya semua pengetahuan itu dimulai dari pengalaman indera sebagai dasar. Baginya kesan (impression) sama dengan pengindraan (sensation), sebagaimana Locke hal ini adalah basis pengetahuan. 37 
Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman maupun indera itu ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan pertama ialah indera teratas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan dalam melihat, dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua ialah indera tertipu. Pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga. Kelemahan ketiga ialah obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi yang salah. Kelemahan keempat berasal dari indera clan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika kita melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan in dera manusia. Oleh karena itu, muncul aliran rasionalisme. Ada aliran lain yang mirip dengan empirisme: sensasionalisme. Sensasi artinya rangsangan inderawi. Secara kasar, sensasi sama dengan pengalaman inderawi.[5]
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.[6]
Dalam aliran empirisme dijelaskan, bahwa inderalah satu-satunya instrumen yang dapat menghubungkan kita dengan suatu obyek. Tanpa panca indera, kemungkinan kita memandang suatu obyek dalam satu ketiadaan. Kalau panca indera tersebut salah maka ia tahu kesalahan tersebut dengan cara eksperimen dan akal hanya mengikutinya. Akal sendiri tanpa melalui panca indera bahkan tanpa ini hakekat tidak dapat diresapi. Sesuai apa yang dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak ada sesuatu sebelum itu ada pada alat indera.[7]   
Pengetahuan indera adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui kelima inderanya, yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan lidah. Pengetahuan inderawi disebut sebagai pengetahuan empiris. Dalam sejarah epistemologi Barat sebagaimana yang dipelopori Roger Bacon, John Locke, David Hume dan sejumlah pengikutnya. 
Pengetahuan empiris diperoleh melalui pengetahuan pribadi, yang di dapat melalui, melihat, mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa, yakni apa saja yang didapat melalui pengalaman inderanya, yaitu dari apa yang dilihat, dirasakan, sesuai dengan bentuknya.
Dalam pengalaman ada dua macam sensasi, pertama yaitu sensasi dalam yang bersifat subyektif seperti keinginan, rasa dan pikiran. Yang kedua sensasi kita terhadap dunia luar seperti penglihatan, bau dan cicipan, dan lain sebagainya. Selanjutnya, untuk mengetahui jenis pengetahuan indera dalam Islam, perlu dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki manusia. bentuk manusia itu terdiri dari Jasmani dan Rohani, jasmani dalam tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai bentuk panca indera seperti, hidung, mata, perasaan (kulit), tangan dan telinga. Islam memandang, panca indera manusia terdiri dari indera dalam dan indera luar, keduanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. [8]
Dari proses penginderaan itu kiranya diambil suatu pengertian, bahwa indera menangkap kesan dan masukan dalam pikirannya, kemudian diproses oleh ketiga indera lainnya dikeluarkan untuk menjadi pengertian oleh indera pengikat. Seperti halnya akal, indera juga mempunyai kelemahan. Pengalaman menipakan pengetahuan yang telah samar dijadikan dasar bagi teori pengetahuan yang sistematis. Sebuah teori yang menitik beratkan pada persepsi panca indera, kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Walaupun indera terbatas dalam memperoleh pengetahuan; namun kedudukannya sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui perantara indera, pengetahuan ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah: Dan sesungguhnya kami tinggalkan dari padanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal. (al-Ankabut: 29). Ayat ini mengandung pengertian, bahwa Tuhan menyeru kepada manusia yang berakal supaya memikirkan apa-apa yang ada di alam sejauh yang dia ketahui. Dalam ayat lain yang menjelaskan bagaimana fungsi indera untuk memperoleh pengetahuan, hal ini sesuai firman Allah dalam Surat Al-Ghassiyah: 17-20):
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
Pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, banyak sekali tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat al-Mu’minun: 80, asSyuara’: 28, al-Furqon: 44, QS. al-Baqarah: 170, QS. al-Anfal: 22, QS. Yunus: 36, QS. Al-Furqon: 45, QS. As-Syamy: 1, QS. An-Naba’: 13, QS. Nuh: 16, QS. Ibrahim: 33, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menyerukan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, yang bisa dipakai sebagai petunjuk, inovasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Dari ketiga sumber pengetahuan di atas. Teori pengetahuan, menurut al-Qur’an atau disebut sebagai pengetahuan qur’anik (epistemology qurqnic). Dalam hal ini Muhammad Iqbal menggambarkan bagaimana proses terjadinya pengetahuan, menurutnya adalah mengangkat ketiga potensi manusia: yaitu serapan panca indera, kemampuan akal, dan kemampuan. intuisi secara serempak. Dengan demikian menurutnya ketiga hal tersebut sama-sama penting dan sama-sama dapat digunakan untuk mencari dan memperoleh pengetahuan, walaupun memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap pengetahuan. Hal ini tampak berbeda sebagaimana yang digambarkan dalam epistemologi Barat, yang memisah-misahkan ketiga potensi tersebut (akal, indera (pengalaman), dan intuisi).  sebagaimana dipahami Danusiri, yang ia pahami dari pemikiran Iqbal bahwa proses terjadinya pengetahuan yang benar yaitu sebagaimana ia gambarkan dibawah
Proses pengetahuan sebagaimana skema di atas menggambarkan bahwa, pengetahuan Islam itu berangkat dari kesadaran uluhiyyat, yakni pengetahuan islam itu selalu mengacu pada wahyu Tuhan (al-Qur’an) ataupun ilham/ intuisi, kemudian menuju ke indera, selanjutnya menuju ke akal, dan berakhir kepada kesadaran uluhiyyat kembali, yakni berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan, yang pada gilirannya akan melahirkan pengetahuan yang saraf akan nilai (moral, etika, ibadah dan lain sebagainya).[9]  


[1] Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Sujono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 137.
[2] Harun Haddieijon, Seri Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 36.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 138. 
[4] Ibid., hlm. 142. 37 Ibid.
[5] Ibid., hlm. 12-13.
[6] Anton Bakker dan Kharis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:  Kanisisus, 1990), hlm. 21. 
[7] Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiology Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Rosda Karya, 1989), hlm. 15.
[8] Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 123. 
[9] Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 63-66.